Search This Blog

sponsor

Monday, May 14, 2018

al ahkamal hakim mahkum alaih


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sekedar menyinggung konsep dalam Islam, bahwa Islam menilai hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat, karena putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi, disamping berhubungan dengan manusia secara langsung, juga berhubungan dengan Allah SWT, maka manusia disamping ia mengadopsi hokum-hukum yang langsung wahyu Allah SWT yang berbentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula kebenaran yang berserakan dalam kehidupan masyarakat, yaitu suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, dan hukum tersebut haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan keadilan yang nyata.
Syari’at Islam yang datang kepada kita dasarnya ialah Alquran. Kemudian Alquran dijelaskan Rasulullah Saw., baik dengan kata-kata maupun perbuatan beliau yang perbuatan dan kata-kata itulah yang dinamakan sunnah atau hadis. Setelah Islam meluas dan bangsa Arab sudah bergaul dengan bangsa-bangsa lain, sementara para ulama pun tersebar di berbagai negeri, akhirnya  mereka pun melakukan ijtihad dengan cara masing-masing. Keadaan seperti ini menyebabkan banyaknya perbedaan pendapat.
Kemudian timbullah pikiran untuk membuat peraturan-peraturan dalam ijtihad dan pengambilan hukum, agar dengan peraturan-peraturan ini dapat diperoleh pendapat yang benar dan dapat pula dikompromikan perbedaan tersebut. Atas dasar kepentingan ushul fikih inilah, perlunya kita memahami terlebih dahulu dan lebih mendalam tentang hal-hal yang terkait ushul fikih, salah satunya al-Ahkam dan al-Hakim yang akan diuraikan pada bab selanjutnya.
B.     Rumusan Masalah
1.       Apakah pengertian al-ahkam, al-hakim dan mahkum ‘alaih ?
2.      Bagaimana hubungan mahkum ‘alaih dengan hakim?
3.      Apa saja macam-macam hukum ?
C.     Tujuan masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian al-ahkam, al-hakim dan mahkum ‘alaih.
2.      Untuk mengetahui hubungan mahkumm ‘laih dengan hakim.
3.      Untuk mengetahui macam-macam hukum.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Ahkam (Hukum)
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut :
خِطَابُ اللهُ المُتَعَلِّقً بِأَفْغَالِ المُكَلَّفِيْنَ إِقْتِضَاءً أَوْ تَخْيِيْرًا أَوْ وَضْغًا
         “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang.”]
Yang dimaksud Khitab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik Al-Qur’an, As-Sunnah maupun yang lainnya, seperti ijma’ dan qiyas.
Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan  oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan lisan.
Yang dimaksud dengan imperatif (iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu, yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkankanya yakni melarang, baik tuntutan itu bersifat memaksa maupun tidak.
Sedangkan yang dimaksud fakultatif  (Tahyir) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meningggalkannya dengan posisi yang sama.
Dan yang dimaksud wadh’i (mendudukkan sesuatu) adalah memposisikan sesuatu sebeagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang.
Definisi hukum tersebut merupakan definisi hukum sebagai kaidah, yakni patokan prilaku manusia.
  
B.     Pengertian Al-Hakim (Hakim)
Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai arti. yaitu:
وَاضِعُ الأحْكَامِ وَمُثْبِتُهَا وَمُنْشِئُهَا وَمَصْدَرُهَا
 Artinya: “Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”

yang dimaksud al-hakim adalah Allah SWT. Dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum syar’i bagi seluruh perbuatan mukallaf.
Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah) maupun yang berkaitan dengan hukum wad’i (sebab, syarat, halangan, sihhah, batal, ‘azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum diatas bersumber dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyâs, ijma’ dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah:
إلَّا ِللهِ لَاحُكْمَ
Artinya:  “Tidak hukum kecuali bersumber dari Allah.”

1.         Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan Ahlussunnah wal jama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’: sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT dan menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT. Namun akal pun sudah mampu menemukan hukum-hukum Allah SWT dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’.
2.         Setelah Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul dan menyebarkan dakwah Islam
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT, yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Serta disepakati bahwa sesuatu yang halal itu adalah disebut hasan (baik), sedangkan segala sesuatu yang yang diharamkan itu disebut qabih (buruk) karena di dalamnya terdapat kemudharatan bagi manusia.

C.     Pengertian Mahkum ‘Alaih ( Subyek Hukum )
Mahkum ‘Alaih adalah seseorang yang tindakan atau perbuataannya dikenai hukum-hukum syariat. Mahkum alaih dapat juga dikatakan sebagai subyek dari hukum atau orang yang dibebani hukum, dalam kajian ushul fiqh ini juga disebut dengan Mukallaf. Perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (Balligh) meliputi seluruh gerak geriknya, pembicaraannya, maupun niatnya. Mahkum Alaih adalah subyek hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan Taklif (hukum yang menuntun manusia untuk melakukan, meninggalkan, atau memilih antara berbuat atau meninggalkannya.
1.    Syarat-syarat Taklif
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa seseorang itu dikenai hukum apabila orang tersebut memenuhi dua syarat, yaitu:
a.       Orang itu telah mampu memahami khitab syari’ (tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain, karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan disuruh atau dilarang tergantung pada pemahamannya terhadap suruhan dan larangan yang menjadi khitab syari’. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syari’ tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
Kemampuan untuk memahami taklif tersebut hanya bisa dicapai dengan akal manusia, karena akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dikerjakan atau ditinggalkan.
b.      Seseorang tersebut harus cakap dalam bertindak hukum, yang dalam istilah ushul fiqih disebut dengan ahliyyah. Apabila seseorang belum atau tidak cakap dalam bertindak hukum, maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
D.    Hubungan antara hakim dengan mahkum ‘alaih
Hubungan antara hakim dengan mahkum alaih adalah bahwa hakim adalah sang pembuat hukum sedangkan mahkum alaih adalah subjek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya hakim maka mahkum alaih tidak akan nyata, dan apabila orang mahkum alaih melakukan suatu pelanggaran baik berkaitan dengan Allah (hakim) langsung atau berkaitan dengan sesama mahkum alaih maka yang menghukumi adalah hakim.

E.     Macam-macam hukum
1.         Hukum Taklifi
Hukum taklif ialah khitab Allah Swt atau sabda Nabi Muhammad saw, yang mengandung tuntutan, baik perintah melakukan atau larangan.
Hukum taklif ada lima:
a.         Ijab, artinya mewajibkan atau khitab (firman Allah) yang meminta mengerjakan dengan tuntutan yang pasti ((جَازِم
b.        Nadab (anjuran) artinya menganjurkan atau khitab yang mengandung perintah yang tidak wajib dituruti ( (غير جازم
c.         Tahrim (mengharamkan), yaitu khitab yang mengandung larang yang harus di jauhi ((جَازِم
d.        Karahah (memakruhkan), yaitu khitab yang mengandung larangan, tetapi tidak wajib kita jauhi ( (غير جازم
e.         Ibahah (membolehkan), yaitu khitab yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan (  
(تخيير

2.         Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i, ialah khitab yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabab), atau sebagai syarat  yang lain. Karena itu, hukum wadh’i dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) sebab , (2) Syarat , dan (3) man’i ( Penghalang).
a.         Sebab, ialah sesuatu (khitab) yang menjadikan adanya sesuatu hukum dan dengan tidak adanya sesuatu itu menjadi lenyapnya sesuatu yang lain (hukum).
b.        Syarat, ialah sesuatu yang karenanya  baru ada hukum dan dengan ketiadaannya, tidak akan ada hukum.
c.         Man’i (penghalang), yaitu menerangkan bahwa ada hal yang menghalangi berlakunya sesuatu hukum.













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.         Mayoritas ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai Kalam/khitab Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imferatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang.
2.         Yang dimaksud Khitab Allah adalah semua bentuk dalil, baik Al-Qur’an, As-Sunnah maupun yang lainnya, seperti ijma’ dan qiyas.
3.         Hakim adalah Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.
4.         Al-Hakim yang muthlaq hanyalah Allah SWT. Namun, dengan adanya manusia maka untuk menegakkan hukum-Nya, Allah mengutus Rasul untuk menyampaikan risalah tersebut. Kemudian setelah Nabi tiada, tugas itu menjadi tugas para mujtahid, ulama’, serta umat muslim itu sendiri untuk menegakkan hukum Allah SWT.
5.         mahkum ‘alaihi adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, atau yang disebut mukallaf
6.         Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’.
7.         Hukum terbagi atas dua bagian, yaitu: Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i













DAFTAR PUSTAKA
majid, Ahmad abdul. 2009. ushul fiqh. Yogyakarta: Teras Komplek POLRI Gowok blok D2 No. 186.
Rachmat Stafe’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqih, cet. 3. Bandung: Pustaka Setia.
Syafei, Rachmad. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung, Pustaka Setia.
Efendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana.
http://mahasiswa-tarbiyah.blogspot.co.id/2013/03/makalah-ushul-fiqih.html Diakses pada hari; Rabu 10/02/2016 pukul; 12:46
Hanafie, A., Usul Fiqh, cet. iv, Jakarta: Widjaya, 1965
Rifa’i, Moh., Ushul Fiqih, Bandung: PT Alma’arif, tt.
Syarifuddin, Amir , Ushul Fiqh Jilid 1, cet. i, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Umam, Chaerul, dkk., Ushul Fiqih 1, Pustaka Setia, tt.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i, cet. i, Jakarta: Almahira, 2008.


No comments:

Post a Comment

sponsor