BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
ISLAM adalah agama yang universal,
sempurna, dinamis, lentur, elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi
dan kondisi. Islam dikenal sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap
tradisi lokal dan ikhtilāf ulama dalam memahami ajaran agamanya. Islam dibawa
oleh Nabi Muhammad saw. kepada seluruh manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk
dalam bidang sosial politik. Beliau membebaskan manusia dari kegelapan
peradaban menuju cahaya keimanan.
Universalisme Islam yang dimaksud adalah
bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta
untuk semua lapisan masyarakat (al-Islam Shalih li Kulli Zamān wa Makān). Ia
bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa mereka bangsa yang
terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam
adalah hidayah dan rahmat Allah untuk segenap manusia.
Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S.
al-Anbiyā/21 : 107.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Demikian pula dalam Q.S. al-Furqān/25 : 1.
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى
عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan
(Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam (jin dan manusia).
Universalisme Islam merupakan suatu ajaran
yang diterima oleh seluruh umat Islam sebagai akidah. Persoalan universalisme
Islam dapat dipahami secara lebih jelas melalui sifat al-Waqi’iyyah (berpijak
pada kenyataan obyektif manusia).
Ajaran universal Islam mengenai aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial, tanpa
menekankan simbol ritual dan tekstual. Ajaran Islam bukanlah agama “baru”,
melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang
zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrahnya sendiri. Islam sebagai
agama yang benar, agama yang sejati dan mengutamakan perdamaian. Sebagai agama
Rahmatan Li al-‘Ālamīn, agama Islam mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan
perabadan manusia di seluruh dunia.
Meskipun Indonesia merupakan salah satu
negara muslim mayoritas di dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh
Arabisasi, dibandingkan dengan negara-negara muslim besar lainnya. Dua ciri
paling utama dalam kesenian Islam yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit
mempengaruhi budaya Indonesia.
Selain itu, dalam proses Islamisasi di
nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan
lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal
itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan secara damai melalui jalur
perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan. Islamisasi juga terjadi
melalui proses politik, khususnya pada pemikiran politik Soekarno yang membuka
lebar bagi golongan Islam untuk mengislamkan negara dengan wilayah pengaruh
yang relatif besar.
Untuk mengetahui hal itu, harus dipahami
dalam konteks budaya Indonesia mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara
budaya keraton dan budaya populer di tingkat bawah (masyarakat). Dua jenis
kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional.
A.Mustofa Bisri atau Gus Mus (Rais ‘Aam
PBNU) mengungkapkan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi
keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini
masih terjadi banyak keributan. “Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang
Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang
juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa
non-Islam dengan non-Islam ?”. Kita dibingungkan oleh kondisi Islam di Timur
Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi
kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia.
Atas dasar hal itulah kemudian para Ulama
di Indonesia membuat konsep sebagai refleksi pemahaman atas Islam dengan
sebutan “ Islam Nusantara “.
B.
Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini tidak
melebar ke hal lain – lainnya, penyusun merumuskan beberapa hal sebagai titik
fokus pembahasan dalam makalah ini, yaitu :
1.
Apa Sebenaarnya Definisi Islam Nusantara ?
2.
Apa Ajaran / Konsep Islam Nusantara
3.
Adakah alasan logis mengapa Islam Nusantara patut di kembangkan ?
C.
Tujuan Penulisan
Makalah ini di susun dengan tujuan sebagai
berikut :
1.
Sebagai Literatur / Referensi Dasar bagi Mahasiswa hususnya semester I
STAIMA Cirebon dalam memahami perkembangan NU dan Ke-Nu an.
2.
Ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan Islam Nusantara.
3.
Ingin mengetahui Ajaran / Konsep Islam Nusantara
4.
Ingin mengetahui alasan Islam Nusantara patut di kembangkan.
D.
Metode dan Teknik Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan
makalah ini adalah metode Deskriptif Analitik, yakni dengan mengungkapkan
masalah – masalah yang dikaji kemudian di analisis bedasarkan teori – teori
yang ada dan pengetahuan penyusun.
Adapun teknik penulisan yang digunakan
dalam menyusun makalah ini adalah kajian kepustakaan dan diskusi.
E.
Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini menggunakan
sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB
I PENDAHULUAN
Dalam Bab ini di uraikan tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode dan teknik
penulisan makalah serta sistematika penulisan makalah.
BAB
II PEMBAHASAN
Dalam Bab ini di uraikan tentang pengertian
Islam Nusantara, Misi atau Konsep Islam Nusantara, dan alasan mengembangkan
Islam Nusantara.
BAB
III PENUTUP
Dalam Bab ini di uraikan tentang kesimpulan
dari pembahasan – pembahasan pada Bab sebelumnya serta saran – saran bagi para
pembaca umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Islam Nusantara
Ada beberapa pendapat para ahli tentang
definisi Islam Nusantara, di antaranya adalah :
1.
Definisi dari Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif
Hidayatullah Azyumardi Azra. Beliau mendefinisikan “Islam Nusantara adalah
Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan
vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di
Indonesia”
2.
Definisi dari Katib Syuriah PBNU yang juga pengajar di Ma’had Aly Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus Situbondo K.H. Afifuddin Muhajir
mendefinsikan “Islam Nusantara” sebagai “faham dan praktik keislaman di bumi
Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan
budaya setempat”, (NU Online, 27/6).
3.
Definisi dari Intelektual muda NU yang produktif menulis, yakni Ahmad
Baso, menurutnya “Islam Nusantara” adalah “ma’rifatul ulama-i-l-Indonesiyyin
bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah”
atau “majmu’atu ma’arifil -l- ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah
al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah” (al-Quran, Hadits,
Ijma’ dan Qiyas).
4.
Definisi dari Gus Mus ( KH. Musthofa Bisyri ), secara sederhana beliau
menjelaskan maksud Islam Nusantara, yakni Islam yang ada di Indonesia dari dulu
hingga sekarang yang di ajarkan Wali Songo, “ Islam ngono iku seng digleki wong
kono ( Islam seperti itu yang di cari orang sana ), Islam yang damai, guyub (
Rukun ), ora petentengan ( tidak mentang – mentang ), dan yang rahmatan lil
‘alamin.” Terangnya.
5.
Prof Isom Yusqi (Direktur Program Pascasarjana STAINU Jakarta )
menjelaskan bahwa Islam Nusantara merupakan “istilah yang digunakan untuk
merangkai ajaran dan paham keislaman dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara
yang secara prinsipil tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran
Islam”. (NU Online, 25/6).
B.
Misi atau Konsep Islam Nusantara
1.
Asal Usul Islam Nusantara
Dalam Islam, rujukan beragama memang satu,
yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam
adalah banyak. Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas
sendiri-sendiri dalam praktek dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu
sudah menjadi kewajaran, sunatullah, dan bahkan suatu rahmat. Quraish Shihab
mencatat bahwa ;
“Keanekaragaman dalam kehidupan merupakan
keniscayaan yang dikehendaki Alah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan
keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan
manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta
bentuk pengamalannya”.
Yang menjadi permasalahan adalah dapatkah
dari yang berbeda tersebut dapat saling menghormati, tidak saling menyalahkan,
tidak menyatakan paling benar sendiri (Truth Claim), dan bersedia berdialog,
sehingga tercermin bahwa perbedaan itu benar-benar rahmat. Jika ini yang
dijadikan pijakan dalam beramal dan beragama, maka inilah sebenarnya makna
konsep “Islam moderat”. Artinya, siapa pun orangnya yang dalam beragama dapat
bersikap sebagaimana kriteria tersebut, maka dapat disebut berpaham Islam yang
moderat. Walaupun dalam Islam sendiri konsep “Islam moderat” tidak ada
rujukannya secara pasti, akan tetapi untuk membangun ber-Islam yang santun dan
mau mengerti golongan lain, tanpa mengurangi prinsip-prinsi Islam yang
sebenarnya, konsep “Islam moderat” tampaknya patut diaktualisasikan.
Berpaham Islam moderat sebagaimana
disebutkan, sebenarnya tidaklah sulit mencari rujukannya dalam sejarah
perkembangan Islam, baik di wilayah asal Islam itu sendiri maupun di Indonesia.
Lebih tepatnya, Islam moderat dapat merujuk, jika di wilayah tempat turunnya
Islam, kepada praktek Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para
sahabatnya, khususnya al-Khulafa al-Rashidin, sedangkan dalam konteks Indonesia
dapat merujuk kepada para penyebar Islam yang terkenal dengan sebutan
Walisongo.
Menurut catatan Abdurrahman Mas’ud,
Walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV-XVI yang mampu memadukan
aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam
kehidupan sosio-kultural dan religius di Jawa begitu memikat hingga bisa
dikatakan Islam tidak pernah menjadi the religion of Java, jika sufisme yang
dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri
ini menunjukkan ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di Tanah Jawa hadir
dengan penuh kedamaian, walaupun terkesan lamban tetapi meyakinkan. Berdasarkan
fakta sejarah, bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya
ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama
baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di
pesisir utara.
Tampaknya Walisongo sadar, bagaimana
seharusnya Islam dibumikan di Indonesia. Mereka paham bahwa Islam harus
dikontekstualisasikan, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran,
sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang
kemudian dikenal dengan konsep “pribumisasi Islam”. Gagasan ini dimaksudkan
untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang normatif dan
praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam “pribumisasi Islam”
tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan
diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan
identitasnya masing-masing. Lebih konkritnya, kontekstual Islam dipahami
sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu
dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan ijtihad.
Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam
merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam dengan dinamis/lentur mampu
berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu
ke sudut yang lain. Kemampuan beradaptasi secara kritis inilah yang
sesungguhnya akan menjadikan Islam dapat benar-benar Shalih Li kulli Zaman wa
Makan (cocok untuk setiap zaman dan
tempat).
Generasi pengusung Islam moderat di
Indonesia berikutnya, hanya sekedar miniatur, mungkin dapat merujuk kepada
praktek Islam yang dilakuakan organisasi semacam Muhammadiyah dan NU (Nahdatul
Ulama). Ber-Islam dalam konteks Indonesia semacam ini lebih cocok diungkapkan,
meminjam konsepnya Syafi’i Ma’arif, dengan ber-“Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan”. Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam moderat
merupakan karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara.
Sebagaimana dikatakan, ketika sudah
memasuki wacana dialog peradaban, toleransi, dan kerukunan, sebenarnya ajaran
yang memegang dan mau menerima hal tersebut lebih tepat disebut sebagai
moderat. Jadi, ajaran yang berorientasi kepada perdamaian dan kehidupan
harmonis dalam keberbagaian/kebhinekaan, lebih tepat disebut moderat, karena
gerakannya menekankan pada sikap menghargai dan menghormati keberadaan “yang
lain” (the other). Term moderat adalah sebuah penekanan bahwa Islam sangat
membenci kekerasan, karena berdasarkan catatan sejarah, tindak kekerasan akan
melahirkan kekerasan baru. Padahal, Islam diturunkan Allah adalah sebagai
rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia).
Dalam perjalanan sejarah, NU adalah
organisasi Islam yang paling produktif membangun dialog di kalangan internal
masyarakat Islam, dengan tujuan membendung gelombang radikalisme. Dengan
demikian, agenda Islam moderat tidak bisa dilepas dari upaya membangun
kesaling-pahaman (mutual understanding) antar peradaban.
Sikap moderasi NU pada dasarnya tidak
terlepas dari akidah Ahlusunnah waljama’ah (Aswaja) yang dapat digolongkan
paham moderat. Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah
Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Ahlussunah waljamaah dengan
mengakui mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Penjabaran
secara terperinci, bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunah
waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, dan Imam Abu Mansyur
Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) dari
Mazhab Abu Hanifah Al-Nu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris
Al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain
Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam yang lain.
Model keberagamaan NU, sebagaimana
disebutkan, mungkin tepat apabila dikatakan sebagai pewaris para wali di
Indonesia. Diketahui, bahwa usaha para wali untuk menggunakan berbagai unsur
non-Islam merupakan suatu pendekatan yang bijak. Bukankah al-Qur’an
menganjurkan sebuah metode yang bijaksana, yaitu “serulah manusia pada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan nasehat yag baik” (QS. An-Nahl: 125).32. Dalam mendinamiskan
perkembangan masyarakat, kalangan NU selalu menghargai budaya dan tradisi
lokal. Metode mereka sesuai dengan ajaran Islam yang lebih toleran pada budaya
lokal. Hal yang sama merupakan cara-cara persuasif yang dikembangkan Walisongo
dalam meng-Islam-kan pulau Jawa dan menggantikan kekuatan Hindu-Budha pada abad
XVI dan XVII. Apa yang terjadi bukanlah sebuah intervensi, tetapi lebih
merupakan sebuah akulturasi hidup berdampingan secara damai. Ini merupakan
sebuah ekspresi dari “Islam kultural” atau “Islam moderat” yang di dalamnya
ulama berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas telah
memelihara dan menghargai tradisi lokal (local wisdom) dengan cara mensubordinasi
budaya tersebut ke dalam nilai-nilai Islam.
KH A Mustofa Bisri mengungkapkan, saat ini
dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi
melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak
keributan. Ungkap Rais ‘Aam PBNU itu saat menyampaikan tausiyah di Pengajian
Pitulasan Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Ahad
(12/7) malam.
“Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang
Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang
juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa
non-Islam dengan non-Islam ?”
Kiai yang akrab disapa Gus Mus itu merasa
bingung karena kondisi Islam di Timur Tengah selama ini sebagai kiblat Islam,
khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok
dengan Saudi Arabia. “Kacau balau,
antara politik dan agama sudah campur aduk ora karu-karuan. Akhirnya terjadi di
negara-negara yang penduduknya mayoritas tidak muslim timbul Islamophobia.
Ketika melihat orang Islam, pada ketakutan karena takut dibunuh, takut dibom,”
sindir Gus Mus.
Untuk itulah, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama
(NU) membuat tema pada muktamar ke-33 lalu tentang Islam Nusantara “Meneguhkan
Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
2.
Dasar – dasar Islam Nusantara
Sebagai pencetus Wacana Islam Nusantara, NU
merumuskan dasar – dasar dari Konsep Islam Nusantara, sebagaimana yang di
jelaskan oleh Amin Rais Aam PBNU, Dr KH Ma’ruf Amin dalam Halaqah Kebangsaan
bertajuk Islam Nusantara yang digelar oleh Fraksi PKB DPR RI, Rabu (19/8) di
Kantor FPKB Gedung Nusantara I lantai 18 Senayan, Jakarta.
Beliau memaparkan ada tiga rumusan ( Dasar
/ Rukun ) yang perlu dipahami oleh masyarakat terkait Islam Nusantara, yakni :
a)
Fikroh
Aspek fikrah, yaitu cara berfikir yang
moderat, artinya tidak tekstual, tetapi juga tidak liberal. Tekstual hanya
berpegang pada nash. Cara berfikir seperti ini menurut Qaraafi, al-Jumud alal
manqullat abadan dholalun fiddin, wajahlun bi maqhosidi ulama amilin.
“Islam Nusantara tidak tekstual. Tidak
hanya pada aspek tertulis, namun juga aspek yang bersifat ijtihadiyah. Ketika
kita meghadapi masalah yang tidak ada teks, mereka menganggap seudah selesai.
Kalau NU, melihat dulu, ia bertentangan dengan nash atau tidak. Karena selain
nash al-Qur’an dan Hadits, ulama NU juga menggunakan metode istihsan atau
maslahah,” terangnya yang juga diampingi narasumber lain, Syafiq Hasyim PhD dan
AkhmadSahal.
Dia menjelaskan, jika sebuah amalan tak ada
di nash, tetapi ia membawa kebaikan di tengah masyarakat, maka hal itu justru
harus dilestarikan. “Idza wujida nash fatsamma maslahah. Idza wujidal maslahah
fasyar’ullah, sesuatu yang baik dan tidak menyimpang dari agama, tidak apa-apa.
Kalau menurut muslim baik, Insya Allah menurut Allah juga baik,” paparnya.
b)
Harokah
Dalam aspek ini terdapat upaya ishlahiyyah
dalam diri Islam Nusantara, yaitu melakukan perbaikan. NU jamiyyah perbaikan
dan reformasi. Karena itu, ada paradigma menjaga tradisi dan mengembangkan inovasi.
“Jangan cuma mengambil hal baik, karena itu pasif, tidak inovatif, Al-Islah ila
ma hual ashlah wah ashlah. Inovatif,aktif,kritis,”tegasnya.
Aspek Islam Nusantara sebagai sebuah
gerakan ini, menurut Kiai Ma’ruf harus bersifat harakah tawazuniyyah, yaitu
seimbang di segala bidang. Selain itu, Tathowwiiyyan, sukarela. Tidak ada
pemaksaan, namun bukan tidak berbuat apa-apa. Kemudian santun dan toleran,
sepakat untuk tidak sepakat. Karena menurutnya, memang pasti ada masalah ketika
proses menyosialisasikannya.
“Oleh sebab itu, ada dua yang harus
diperjuangkan, yaitu tatbiqiyyan (ajaran agama menjadi sumber inspirasi, kaidah
berfikir) dan taqririyyan (ada yang hanya substansi, ada yang harus formal).
Kalau saya silahkan saja kedua-duanya, sepanjang tidak menimbulkan konflik.
Kalau dibutuhkan formal ya boleh, sepanjang tidak menyebabkan konflik,”
jelasnya.
c)
Amaliyah
Amaliyah yang dilakukan oleh NU lahir dari
dasar pemikirannya yang melandaskan diri ushul fiqh dan fiqh. Seperti
tradisi-tradisi dan budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah
masyarakat, tidak begitu saja diberangus, namun dirawat sepanjang tidak
menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam.
“Islam Nusantara harus lebih digali lagi
sebagai perilaku bangsa. Supaya tidak ada lagi Islam radikal,” pungkasnya.
(Sumber: NU Online)
3.
Penanda Islam Nusantar
Ada lima penanda Islam Nusantara, yakni
1)
Reformasi (islahiyyah). Artinya, pemikiran, gerakan, dan amalan yang
dilakukan para Nahdliyin selalu berorientasi pada perbaikan. Pada aspek
pemikiran, misalnya, selalu ada perkembangan di sana (tatwir al-fikrah), dan
karena itu, pemikiran Islam Nusantara adalah pemikiran yang ditujukan untuk
perbaikan terus. Cara berpikirnya adalah tidak statis dan juga tidak kelewat
batas.
2)
Tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Jika sebuah
gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan
pertimbangan. Tawazunniyyah ini menimbang dengan keadilan.
3)
Tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Satu hal yang harus
dipegang dalam kesukarelaan ini adalah dalam menjalankan pemikiran, gerakan dan
amalan, Nahdliyin tidak boleh memaksakan pada pihak lain (lã ijbãriyyah).
Artinya, orang NU harus memperhatikan hak-hak orang di luar NU. Secara
internal, warga NU juga tak boleh bersikap fatalistik (jabbãriyyah), harus
senantiasa berusaha dan berinovasi menegakkan tiga pilar Islam Nusantara di
atas. Dengan kata lain, tidak ada pemaksaan, tetapi bukan tidak berbuat
apa-apa.
4)
Santun (akhlaqiyyah), yaitu segala bentuk pemikiran, gerakan, dan amalan
warga Islam Nusantara dilaksanakan dengan santun. Santun di sini berlaku sesuai
dengan etika kemasyarakatan dan kenegaraan serta keagamaan.
5)
Tasamuh, yang berarti bersikap toleran, respek kepada pihak lain. Sikap
toleran ini tidak pasif, tetapi kritis dan inovatif. Dalam bahasa keseharian
warga NU adalah sepakat untuk tidak sepakat.
Secara konseptual, kelima penanda Islam
Nusantara tersebut mudah diucapkan, tetapi sulit direalisasikan. Sulit di sini
berbeda dengan tidak bisa melaksanakan. Misalnya, sikap Islam Nusantara dalam
menyikapi dua arus formalisme keagamaan dan substansialisasi keagamaan berada
di tengah. Kedua arus boleh diperjuangkan selama tidak menimbulkan konflik.
Prinsip yang harus dipegang dalam hal ini adalah kesepakatan (konsensus),
demokratis, dan konstitusional.
4.
Ijtihad Islam Nusantar
Hal penting lain yang ingin penulis
sampaikan adalah persoalan ijtihad. Apakah model ijtihad Islam Nusantara?
Ijtihad Islam Nusantara adalah ijtihad yang selama ini dipraktikkan oleh NU.
Prinsipnya, Islam tak hanya terdiri pada aspek yang bersifat tekstual, tetapi
juga aspek yang bersifat ijtihadiyah. Ketika kita menghadapi masalah yang tak
ada di dalam teks, maka kita menganggap masalah selesai, artinya tidak
dicarikan jawaban.
Islam Nusantara tidak berhenti di sini,
tetapi melihat dan mengkajinya lebih dulu lewat mekanisme-mekanisme pengambilan
hukum yang disepakati di kalangan Nahdliyin. Hasil dari mekanisme metodologi
hukum ini (proses istinbãt al-hukm) harus dibaca lagi dari perspektif Al Quran
dan Sunah. Mekanisme metodologi hukum yang biasa dipakai Nahdliyin di sini
misalnya adalah maãlahah (kebaikan).
Ilustrasinya, jika sebuah amalan tak ada di
rujukan tekstualnya, tetapi ia membawa kebaikan di tengah masyarakat, hal itu
justru harus dilestarikan: ”idhã wujida nass fathamma masslahah, idhã wujida
al-maslahah fathamma shar’ al-Lãh—jika ditemukan teks, maka di sana ada
kebaikan, dan jika ditemukan kebaikan, maka di sana adalah hukum Allah”. Ini uraian
singkat dan pokoknya saja. Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan di ruang yang
lebih luas.
Pada akhir tulisan pendek ini saya ingin
mengatakan Islam Nusantara harus lebih digali lagi sebagai perilaku bangsa agar
tidak ada lagi hal-hal yang tidak kita inginkan justru terjadi.
C.
Alasan Mengembangkan Islam Nusantara
Islam Nusantara patut didukung. Selain
punya landasan dan perangkat kukuh untuk mengembangkannya, Islam Nusantara bisa
menjadi model alternatif di tengah gejolak instabilitas politik dan kecamuk
konflik serta perang di beberapa negara berbasis Islam.
Berbagai harapan itu tentu punya alasan dan
landasan yang menopangnya. Achmad Rifki memberikan 10 alasan kenapa perlu
mengembangkan Islam Nusantara.Yaitu :
1.
Islam Agama untuk Manusia
Islam adalah agama yang Allah turunkan
untuk manusia, bukan malaikat. Karena itu, Islam mesti berpijak di bumi. Ia
mesti bersentuhan dengan budaya dan kondisi sosial manusia. Mengakar dengan
persoalan masyarakat. Seperti kata pepatah, di mana bumi dipijak, di situ
langit dijunjung.
Nabi Muhammad diutus Allah untuk dakwah
kultural sesuai dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat
setempat. Allah menegaskan dalam Al-Quran: “Dan Kami tidak mengutus seorang
rasul pun melainkan dengan lisan kaumnya (bi lisani qaumihi) supaya ia memberi
penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. Ibrahim [14]: 4). Bagi sebagian
ulama, lisan itu lebih luas dari bahasa (bi lughati qaumihi). Mencakup di
dalamnya budaya, adat-istiadat, tradisi, dan peri kehidupan manusia itu
sendiri.
Nilai dan keagungan Islam takkan luntur
hanya cuma karena bersentuhan dengan budaya manusia. Alih-alih luntur, Islam
itu sangat lentur. Kelenturan itu yang kian meneguhkan bahwa Islam itu rahmat
bagi semua (rahmatan lil ‘alamin). Karena itu, Islam itu selalu relevan di tiap
ruang dan waktu. Tak lekang waktu dan cocok di segala tempat (shalihun li kulli
zaman wa makan).
2.
Islam Murni Hanya Milik Allah
Hanya Allah pemilik kebenaran hakiki. Hanya
Dia yang paling tahu mana Islam yang murni. Hanya Allah yang paling berhak
untuk menentukan mana Islam yang murni. Tak ada jaminan bahwa Islam yang
dijalankan di Arab lebih murni ketimbang Islam di belahan dunia lain. Termasuk
Islam Nusantara.
Berbagai model keislaman yang berkembang di
berbagai negara dan penjuru dunia adalah hasil tafsir ulama dan masyarakat
setempat. Mereka mencoba untuk menghidupkan nilai-nilai Islam di tengah
identitas kultural mereka juga dalam menghadapi gempuran globalisasi. Mereka
ikut berperan dalam perkembangan Islam di berbagai belahan dunia. Masing-masing
menampilkan wajah Islam yang khas. Sesuai dengan karakter dan budaya yang hidup
dan berkembang di kawasan itu.
Islam itu satu. Secara akidah dan ibadah
umat Islam di seluruh dunia seragam. Karena itu pembedaan Islam Nusantara bukan
dalam hal teologis. Tapi dalam konteks sosiologis. Ajaran universalnya sama,
tapi wajah tampilannya yang berbeda.
3.
Islam Bukan Hanya Milik Arab
Islam bukan hanya untuk orang Arab, tapi untuk
seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin). Semua di hadapan Allah setara.
Baik Islam orang Arab maupun Islamnya masyarakat Nusantara. Dengan begitu,
Islam Nusantara bukan pinggiran. Kedudukannya setara.
Dalam berbagai ayat dan hadis, acapkali
kita diinggatkan bahwa Allah hanya melihat isi (hati) dan ketakwaan seseorang.
Bukan tampilan luarnya. Dengan menginsyafi itu kita dengan sendirinya
merealisasikan tauhid secara utuh.
Islam memang tumbuh dan berkembang di
jazirah Arab. Nabi telah membangun fondasi masyarakat beradab di sana, khususnya
di Madinah. Tapi perkembangan Islam kemudian, yang disebut-sebut masa
kejayaan/keemasan dan peradaban Islam, malah terjadi di daerah lain seperti
Andalusia, Spanyol, Eropa. Dengan begitu, Islam Nusantara punya potensi yang
sama dengan wilayah lain untuk mengembangkan peradaban Islam di masa mendatang.
4.
Akulturasi Budaya Hasilkan Peradaban
Masa keemasan Islam yang ditandai dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan tak dapat disangkal hasil akulturasi
antara ajaran Islam dan budaya falsafah Yunani. Alih-alih menghancurkan Islam,
akulturasi budaya itu menghasilkan peradaban Islam yang luhung.
Berbagai ranah ilmu pengetahuan berkembang
pesat. Mulai dari falsafah, tafsir, psikologi, kedokteran, astronomi,
arsitektur, matematika, geologi, dan lain sebagainya.
Perkembangan berbagai ranah ilmu
pengetahuan yang dikembangkan para filsuf dan ilmuwan muslim itu kemudian jadi
referensi sekaligus inspirasi dunia. Bahkan peradaban Barat kini “berhutang”
pada peradaban Islam kala itu.
5.
Islam-Arab Tak Identik
Islam Nusantara bukan untuk menabuh
genderang konflik rasial dan ingin
mengkotak-kotakkan umat Islam. Tujuan
utama Islam Nusantara adalah menjaga esensi dan substansi ajaran Islam.
Islam dan Arab tak identik. Islam adalah
agama yang Allah turunkan pada Nabi Muhammad. Arab adalah bangsa yang mempunyai
budaya tertentu. Dengan prinsip tauhid, kita mesti memisahkan mana wilayah yang
sakral dan kudus serta mana yang tak suci.
Tiap masyarakat punya budaya dan
karakteristik masing-masing. Karakteristik penduduk sahara tentu berbeda dengan
budaya kepulauan atau bahari. Yang pertama, lebih keras. Yang terakhir seperti
air, mengalir. Membaur. Tanpa menghilangkan jati diri dan tak keluar dari
koridor esensi ajaran Islam. Dengan ini, Islam Nusantara berkembang dan sudah
teruji tahan banting dan sanggup menjaga kemaslahatan umat.
6.
Bukan Aliran Baru
Islam Nusantara bukan aliran, ajaran,
mazhab, apalagi agama baru. Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah bahwa
penyebaran Islam dan praktik keislaman di wilayah kepulauan ini dilakukan
dengan pendekatan budaya. Bukan dengan doktrin yang kaku dan keras. Karena itu
Islam mudah diterima di hati masyarakat. Bahkan kini menjadi mayoritas di
negeri ini.
Dakwah Wali Songo, khususnya di Jawa,
membuktikan bahwa keislaman dan kenusantaraan atau keindonesiaan bukan untuk
saling dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan harmonis dan bahkan saling
memperkuat. Banyak kearifan lokal masyarakat Indonesia dan Nusantara sejalan
dengan nilai-nilai Islam. Budaya terbukti dapat menjadi papan selancar dakwah
Islam yang efektif.
Islam Nusantara sendri berpedoman dan
mengacu pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Setidaknya ada tiga unsur utama Islam
Nusantara. Pertama, teologi (kalam) Asy’ariyah. Kedua, fikih Syafi’i. Ketiga,
tasawuf al-Ghazali dan al-Syadzili.
7.
Ejawantah “Negara” Madinah
Islam Nusantara adalah ejawantah dari apa
yang Nabi Muhammad lakukan di Madinah. Di “negara” Madinah itu Rasulullah
membuat kontrak sosial yang berbentuk Piagam Madinah. Bukan hanya dengan
umatnya sendiri, tapi juga dengan kalangan Yahudi dan Nasrani. Di
Nusantara/Indonesia, Piagam Madinah itu berwujud Pancasila.
Sebagai payung hukum, Piagam Madinah dan
Pancasila melindungi warganya secara setara dan tanpa diskriminasi. Tanpa
memandang ras, etnis, dan agama. Sebagaimana juga di Madinah, tiap warga negara
wajib berpartisipasi dalam menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Kecintaan pada bangsa dan negara tak
mengurangi sekecil pun kecintaan kita pada Islam. Bahkan mempertahankan NKRI
dan mengamalkan Pancasila merupakan realisasi dari ibadah umat Islam Indonesia.
8.
Islam Nusantara itu Rahmat
Umat Islam Indonesia atau Nusantara dikenal
sebagai masyarakat yang terbuka, moderat, toleran, rukun, dan harmonis. Ramah,
cinta damai, terbiasa serta berpengalaman dengan menggelola perbedaan, dan suka
dialog serta gotong royong. Tentu masih banyak yang bolong di sana-sini, tapi
secara keseluruhan semua itu berjalan relatif baik.
Dalam Islam, perbedaan itu rahmat. Islam
sebagai rahmat (rahmatan lil ‘alamin) bagi semesta raya begitu kentara di sini.
Karena itu ekstremisme dan terorisme selain bertentangan dengan kultur
Nusantara juga tak laku di sini. Esktrimisme hanya akan menimbulkan disharmoni
bahkan chaos.
Islam Nusantara dapat berperan sebagai
penyeimbang tindakan intoleran dan aksi kekerasan berbasis agama. Tindakan
macam ini alih-alih memperjuangkan dan mengharumkan nama Islam agama,
sebaliknya malah hanya akan merusak agama. Sebaliknya, Islam Nusantara memberi
contoh bagaimana dakwah Islam yang menghasilkan keberislaman yang jauh lebih kokoh daripada cara-cara kekerasan
dan instimidasi dan mudah merasuk ke sanubari masyarakat.
9.
Hilangkan Islamophobia
Dengan karakteristik seperti di atas, Islam
Nusantara akan mampu mengikis sedikit demi sedikit fobia masyarakat Barat dan
umat non-muslim kepada Islam. Kecurigaan dan prototipe terhadap Islam yang
sangar lambat laun akan menghilang.
Sebagai gantinya, masyarakat Barat dan umat
non-muslim mengenal Islam secara lebih jelas dan jernih. Dan terbangun dialog
yang sehat. Dakwah model ini tentu lebih efektif ketimbang dengan kekerasan.
10.
Islam Alternatif
Beberapa kalangan berharap besar pada
kontribusi Islam Indonesia/Nusantara pada dunia. Baik dari kalangan dalam
negeri maupun luar negeri. Di antaranya, Presiden Amerika Serikat Barrack Obama
dan mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Bahkan cendekiawan Muslim Indo-Pakistan,
Fazlur Rahman (1919-1988), dalam sebuah kesempatan pernah menyampaikan
optimismenya bahwa kebangkitan peradaban Islam akan dipelopori Indonesia.
Dengan syarat umat Islam negeri ini meningkatkan kualitas ilmu-ilmu keislaman
dan menguasai teknologi.
Berbagai harapan itu tentu punya landasan
yang menopangnya. Di antaranya, seperti yang sudah disebutkan di atas. Karena
itu, Islam Nusantara bisa menjadi model alternatif di tengah instabilitas
politik yang terus bergejolak dan kecamuk konflik dan perang di beberapa negara
berbasis Islam.
Seperti kata pendiri NU, Hadratus Syeikh KH
Hasyim Asyari, ikhtiar menghadirkan Islam Nusantara di tengah masyarakat dunia
pada prinsipnya upaya mewujudkan tata dunia yang kondusif bagi persemaian
keadilan, perlindungan hak, perbaikan kualitas hidup, dan kemakmuran
masyarakat. (http://www.madinaonline.id ).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Banyak para ahli memberikan definisi berbeda tentang Islam Nusantara,
secara sederhana definisi Islam Nusantara adalah sebuah praktik keislaman di
Bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan
budaya setempat, bukan faham atau agama baru tapi agama yang ada di Nusantara
yang di bawa oleh Wali Songo dari dulu sampai sekarang.
2.
Islam Nusantara muncul dilatar belakangi atas sebuah pemikiran bahwa
Islam adalah agama damai, agama kemanusiaan dan saling menghargai ( Moderat ),
sementara di timur tengah sebagai wilayah turunnya Islam selalu bergelut dengan
suasana konflik, yang justeru tidak mencerminkan ruh Islam yang sebenarnya.
Dan Islam yang dibawa Wali Songo sampai
sekarang ( yang diamalkan oleh NU ) dapatlah kiranya dijadikan acuan sebagai
alternatif menunjukkan ruh Islam yang sebenarnya, yang kemudian menjadi cikal
bakal munculnya istilah Islam Nusantara.
KH.Ma’ruf Amin merumuskan ada 3 pilar (
Rukun ) dalam konsep Islam Nusantara
yaitu : a). Fikroh b). Harokah, dan c). Amaliyah,
dengan ditandai 5 (
Lima ) ciri, yaitu : 1). Reformasi ( Ishlahiyyah ), 2). Tawazzuniyah 3). Tatawwu’iyyah, 4). Santun ( Akhlaiyyah ), dan 5). Tasamuh.
Menurut beliau, Islam tidak hanya terdiri
dari aspek tekstual, tapi juga ada aspek yang bersifat Ijtihadiyyah, artinya
jika ada hal yang tidak ditemukan dalam teks agama, maka permasalahan tidak
berhenti disini, melainkan dicari solusinya dengan metode dan mekanisme yang
disepakati ( Istinbath al-hukmi ).
3.
Ada 10 alasan mengapa Islam Nusantara harus dikembangkan, yaitu : 1).
Islam Agama untuk manusia, 2). Islam murni milik Alloh, 3). Islam bukan hanya
milik Bangsa Arab, 4). Akulturasi Budaya menghasilkanperadaban, 5). Islam dan
Arab tidak identik, 6). Bukan aliran baru, 7). Ejawantah “ Negara “ Madinah,
8). Islam Nusantara itu rahmat, 9). Hilangkan Islamophobia dan 10). Islam
alternatif.
B.
Saran
Kritik dan saran dari semua pihak terutama
Dosen Pengampu sangat penyusun harapkan demi perbaikan – perbaikan pada makalah
ini, karena penyusun menyadari keterbatasan pengetahuan dalam hal ini.
Dan bagi generasi muda NU hendaklah
mensosialisasikan Islam Nusantara agar masyarakat luas mengerti dan faham
seputar Islam Nusantara, supaya tujuan dan misi para kiyai sepuh terkait
keberlangsungan keagamaan dalam bingkai NKRI dapat dipertahankan selamanya, dan
Islam Indonesia mampu menjadi referensi bagi Muslim di penjuru dunia dalam
mengamalkan agama Islam sebagai keyakinannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas’ud, (2006), “Dari Haramain
ke Nusantara : Jejak Intelektual Arsitek Pesantren”, Jakarta: Kencana, hlm.
54-58.
Abdurrahman Mas’ud, (2004), Intelektual
Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS, hlm. 9.
Bruce Lawrence, The Quran: A Biography,
diterj. Aditya Hadi Pratama, Al-Qur’an : Sebuah Biografi (Cet. I; Bandung:
Semesta Inspirasi, 2008), h. 2-4.
Departemen Agama Republik Indonesia,
Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang : Toha Putra, 2007), h. 461.
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet.
I; Bandung: Pustaka Islamika, 2008), h. 275-276.
Hamka, Islam: Rahmah untuk Bangsa (Cet. I;
Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2009), h. 29-31.
http://www.madinaonline.id/k
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara:
Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid (Cet. I; Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2004), h. 175.
M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran:
Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Cet. I; Jakarta : PSAP Muhammadiyah,
2005), h. 132-133.
M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Quran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. I; Bandung:
Mizan, 2007), h. 330-331.
M. Quraish Shihab, (2007), Secercah Cahaya
Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, Bandung: Mizan, hlm.52.
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur’an Membangun
Tradisi Kesalehan Hakiki (Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 287-288.
Shāfī al-Rahmān al-Mubār Kafūrī, al-Rahīq
al-Makhtūm: Bahts fī al-Sīrah al-Nabawiyyah ‘alā Shahibihā Afadal al-Shalah wa
al-Salām (Cet. XXI; Mesir: Dār al-Wafā, 2010), h. 21.
‘Umar ‘Abd al-Jabbār, Khulāshah Nūr al-Yaqīn
fī Sīrah Sayyid al-Mursalīn (Surabaya : Sālim Nabhān, t. th.), h. 5. Lihat
pula: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Cet. I ; Jakarta:
Paramadina, 1992), h. 425.
Maman Sulaeman di 15.51
Berbagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
‹
›
Beranda
Lihat versi web
Mengenai Saya
Foto saya
Maman Sulaeman
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.
No comments:
Post a Comment