BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Balakang Masalah
Tasawuf
merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan
diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan
oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.
defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup
pengertian tasawuf secara menyeluruh.
Tinjauan
analitis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran
yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju
Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu
secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada
Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak
dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui
amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk
menemukan pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah
untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi
sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Perjalanan
menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah)
yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai
penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah
orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam
antara iman secara aqliyah atau
logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman
Asy-syu’uri Ad-dzauqi).
Lingkup
‘Irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi
melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan
atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus
dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun
perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya
ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat
dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam
akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam
akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya.
Untuk itu penulis akan membahas tentang maqam dan ahwal dalam
tasawuf.
B.
Rumusan
Masalah
1 .
Apa
yang dimaksud dengan maqamat dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf ?
2 .
Apa
yang dimaksud dengan ahwal dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf?
C.
Tujuan
Pembahasan
1 .
Untuk
mengetahui penjelasan dari maqamat dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf.
2.
Untuk
mngetahui penjelasan dari ahwal dan tahapan-tahapannya dalam tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Maqamat
Secara harfiah,
maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat
berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan
istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat
berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah
diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di
samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam
dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan
sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang
hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam
sebelumnya.[1][1]
Tentang berapa
jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai
menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai
dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada
sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’,
al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu
Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah
maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr,
al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat
itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud,
al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan
tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda,
namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu,
al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.
Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah
dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat,
dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud
rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan
dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Penjelasan atas masing-masing
istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:[2][2]
1.
Taubat
Taubat berasal
dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”.
Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas
segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh
untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan
kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Taubat menurut
Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat
dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat
Allah dan (3) orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Dari ketiga tingkatan taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam
tasawuf adalah upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
Bagi orang
awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi. Sedangkan
bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadah
dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat
ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.
Lain halnya
dengan Ibnu Taimiyah. Ia membedakan taubat menjadi dua: taubat wajib dan taubat
sunnah. Taubat wajib adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan
perkara-perkara wajib, atau menyesal karena melakukan perkara-perkara haram.
Sedangkan taubat sunnah adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan
perkara-perkara sunnah, atau karena menyesali perbuatan melakukan
perkara-perkara makruh. Berkaitan dengan dua macam taubat ini, Ibnu Taimiyah
menjelaskan tingkatan/derajat orang yang bertaubat menjadi dua. Pertama, al-abrar
al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi pertengahan), yaitu
orang-orang yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu taubat wajib.
Kedua, as-sabiqun al-awwalun. Mereka adalah orang yang melakukan jenis
taubat wajib dan taubat sunnah.[3][3]
Taubat seperti
dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah
sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah
unsur yang pertama, kemudian yang kedua hal, dan ketiga amal. Ia berkata: yang
pertama mewajibkan yang kedua, dan yang kedua mewajibkan yang ketiga.
Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan) Allah SWT yang berlangsung dalam
kerajaan dan malakut-Nya.
Ia berkata:
"Sedangkan ilmu adalah, mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah
penghalang antara hamba dan seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui
itu dengan yakin dan sepenuh hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam
hatinya dan ia merasakan kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena
hati, ketika ia merasakan hilangnya yang dia cintai, ia akan merasakan
kepedihan, dan jika kehilangan itu diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia
akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai
itu dinamakan penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh
dalam hatinya dan menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya
perasaan lain, yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya
pada saat ini, kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini
adalah meninggalkan dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah
dengan bertekad untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang
dia cintai hingga sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus
apa yang ia lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama
adalah ilmu. Dialah pangkal pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku maksudkan
dengan ilmu ini adalah keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran
bahwa dosa adalah racun yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan
pembenaran ini, tidak meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman
dalam hati ini ketika bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati
merasakan kepedihan. Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini,
karena dosanya itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang
diterangi cahaya matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu
menghilangkan penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia
cintai. Dan ketika ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam
hatinya bergejolak, dan api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan
dirinya serta mengejar yang dia cintai itu.
Ilmu dan
penyesalan, serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan
datang, serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang
berkaitan dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak
pula taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu
dijadikan sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai
buah dan konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah
Saw : " Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij
hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah,
Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu
Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas
r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena
penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan
penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka
penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang
membuahkannya.[4][4]
Berkaitan
dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang
menjelaskan masalah ini, di antaranya adalah ayat yang berbunyi:
šúïÏ%©!$#ur #sŒÎ) (#qè=yèsù ºpt±Ås»sù ÷rr& (#þqßJn=sß öNæh|¡àÿRr& (#rãx.sŒ ©!$# (#rãxÿøótGó™$$sù öNÎgÎqçRä‹Ï9 `tBur ãÏÿøótƒ šUqçR—%!$# žwÎ) ª!$# öNs9ur (#r•ŽÅÇム4’n?tã $tB (#qè=yèsù öNèdur šcqßJn=ôèt (ال عمران: 135)
Artinya: Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.(Ali
Imron: 135).
(#þqçqè?ur ’n<Î)
«!$# $·èŠÏHsd tm•ƒr&
šcqãZÏB÷sßJø9$#
÷ä3ª=yès9
cqßsÎ=øÿè? (النّور:
31)
Artinya: ...dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.(An-Nur: 31)[5][5]
2 .
Zuhud
Secara
etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[6][6]
Menurut
pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya
adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa.
Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid.
Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah
tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada
kesenangan duniawi.
Mengenai
pengertian zuhd ini terdapat berbagai variasi. Al-Junaidi berkata: “Zuhd
ialah keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai.”
Ali bin Abi Talib ketika ditanya tentang zuhd, menjawab: “Zuhd berarti
tidak peduli, siapa yang memanfaatkan benda-benda duniawi ini, baik seorang
yang beriman atau tidak.” Dan al-Syibli ketika ditanya tentang zuhd, berkata:
“Dalam kenyataannya zuhd itu tidak ada. Jika seseorang bersikap zuhd pada
sesuatu yang tidak menjadi miliknya, maka itu bukan zuhd, dan jika
seseorang bersikap zuhd pada sesuatu yang menjadi miliknya, bagaimana
bisa dikatakan bahwa itu zuhd, sedangkan sesuatu itu masih ada padanya
dan dia masih memilikinya? Zuhd berarti menahan nafsu, bermurah hati dan
berbuat kebaikan.” Hal ini seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia mengartikan zuhd
sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang tidak menjadi miliknya. Dan jika
sesuatu itu tidak menjadi milik seseorang, maka tidak dapat dikatakan bahwa
orang itu meninggalkannya, sebab sesuatu memang telah tertinggalkan, sedangkan
jika sesuatu itu menjadi milik seseorang, maka tidak mungkin orang itu
meninggalkannya. Namun, betapapun bervariasinya pengertian yang diberikan,
tekanan utama pada sikap zuhd adalah mengurangi keinginan terhadap
kehidupan duniawi.
Untuk lebih
memperjelas pengertian pengertian dan rumusan zuhd di atas, masih dirasa
perlu untuk mencantumkan beberapa pengertian lagi. Zuhd menurut Ibn
Qudamah al-Muqaddasi ialah “pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu
yang lebih baik.” Menurut Imam Al-Ghazali, “zuhd ialah mengurangi
keinginan kepada dunia dan menjauh daripadanya dengan penuh kesadaran dan dalam
hal yang mungkin dilakukan.” Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd ialah
tidak merasa bangga dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan
tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.[7][7]
Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang
menjelaskan hal itu, di antaranya:
ö@è%
፯tFtB
$u‹÷R‘‰9$#
×@‹Î=s%
äotÅzFy$#ur
׎öyz
Ç`yJÏj9
4’s+¨?$#
Ÿwur
tbqßJn=ôàè?
¸x‹ÏGsù
(النّساء:
77)
Artinya: Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan
dianiaya sedikitpun. (An-Nisa’: 77).
$tBur
äo4qu‹ysø9$#
!$uŠ÷R‘$!$#
žwÎ)
Ò=Ïès9
×qôgs9ur
(
â‘#¤$#s9ur
äotÅzFy$#
׎öyz
tûïÏ%©#Ïj9
tbqà)Gtƒ
3
Ÿxsùr&
tbqè=É)÷ès?
(الأنعام
: 32)
Artinya: Dan
Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan
sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka
tidakkah kamu memahaminya?(Al-An’am: 32).
Ayat-ayat di atas secara singkat menjelaskan bahwa kehidupan dunia yang
kita rasakan hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap dan musnah dalam
seketika, dibandingkan dengan kehidupan akhirat yaitu kehidupan yang ditempuh
sesudah kita mati merupakan alam yang kekal dan abadi dan merupakan kehidupan
yang lebih baik daripada kehidupan dunia.
Zuhud berdasarkan maksudnya dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud
menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, zuhud menjauhi dunia
dengan mengharap imbalan di akhirat. Ketiga, zuhud meninggalkan kesenangan
dunia bukan karena berharap atau takut, akan tetapi karena kecintaan terhadap
Allah semata. Pada tingkatan ketiga inilah yang mampu membukakan tabir antara
seorang hamba dan Allah.
Selain ketiga zuhud tersebut, al-Ghazali juga mengklasifikasikan zuhud
menjadi beberap a tingkatan, yaitu:
a . Zuhud yang
dikaitkan dengan jiwa orang yang berzuhud. Tingkatan ini dibedakan kembali
menjadi tiga bagian berdasarkan kuat lemahnya zuhud, yaitu:
1 ) As-sufla, yaitu derajat zuhud yang paling rendah, dimana orang meninggalkan kemewahan
dunia tetapi sebenarnya hatinya masih cenderung dan menginginkannya.
2) Derajat zuhud
orang yang meninggalkan kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat
dunia sebagai kehinaan.
3) A-‘Ulya, yaitu derajat yang paling tinggi. Maksudnya, di sini adalah menjauhi
kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat dunia tidak mempunyai nilai
apa-apa dan tidak sepadan dengan sesuatu apapun.
b. Zuhud yang
dikaitkan dengan sesuatu yang dicintai. Zuhud ini dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1) Zuhudnya orang
takut, dimana seorang hamba melakukan zuhud dikarenakan takut akan siksa
neraka, azab kubur dan lain-lain.
2) Zuhud orang yang
mengharapkan pahala, nikmat Allah dan kelezatan yang telah dijanjikan di dalam
surga.
3) Derajat yang
tertinggi, yaitu zuhudnya para arif di mana zuhud mereka bukan dikarenakan
suatu apapun selain Allah, tetapi hanya ingin berjumpa dengan Allah.
c. Zuhud yang
dikaitkan dengan sesuatu yang harus ditinggalkan. Tingkatan ini dibagi menjadi:
1) Meninggalkan
sesuatu selain Allah.
2) Meninggalkan
segala sesuatu yang dikarenakan nafsu, seperti marah, sombong, pangkat, harta,
dan lain-lain.
d. Zuhud dengan
meninggalkan harta, pangkat dan segala sesuatu yang menyebabkan seseorang
mendapatkannya. Meninggalkan dirham, pangkat, dan segala kesenangan dunia.[8][8]
3.
Sabar
Sabar, secara
harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan
jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut
pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan
menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran.
Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian
diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar
tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang
sungguh-sungguh.[9][9]
Sabar, menurut
Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah,
dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan
terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani).
Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan
nafsu makan dan seks yang berlebihan.[10][10]
4.
Wara’
Wara’, secara harfiah,
berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan
pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu
yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun
persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’
dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’
lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan
meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak
menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’
dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang
yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di
dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati
nurani.[11][11]
5.
Faqr
Secara harfiah
fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin.
Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang
telah ada pada diri kita.[12][12] Tidak meminta
rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta
sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi
tidak menolak.[13][13]
6.
Tawakkal
Secara harfiah
tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya
tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di
hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak
dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah
berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi
lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya
gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal
itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada
ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian
itu sebenarnya takdir Allah.
Pengertian
tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution.
Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika
mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak
memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau
makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada
dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan
karena Allah.[14][14]
7.
Ridha
Ridha, secara
harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum
adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan
qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga
yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang
menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta
surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini
merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar.
Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan
kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan
oleh Allah Swt.
Menurut
Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan
ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa
seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya,
sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa
saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.[15]
8.
Mahabbah
Mahabbah berasal dari
kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah
pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat
rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah.
Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak dasar
mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi
kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang
tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana dalam syair
Rabi’ah yang berbunyi:
“Kujadikan
Engkau teman percakapan hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani,
Jasadku biar bercengkrama tulangku, Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah
al-Adawiyah, Allah adalah salah satu yang seharusnya dicintai dan Dialah tujuan
akhir dalam pencarian cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka
seorang sufi harus melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan alam
seisinya. Karena keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi Rabi’ah,
rasa cinta kepada Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap perilakunya
dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah
mengatakan; “Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta, cinta-rindu, karena
aku menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu
menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu
membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta, sedangkan cinta karena
Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku
dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian
untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada
cinta pertama dan cinta kedua.
Dalam pandangan
Ath-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tingkatan. Pertama, mahabbah al-‘ammah,
yaitu cinta yang timbul dari belas kasihan dan kebaikan Allah kepada
hamba-Nya. Kedua, hubb ash-shadiqin wa al-muttaqin, yaitu cinta yang
timbul dari pandangan hati sanubari terhadap kebesaran, keagungan,
kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah. Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa
al-‘arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari penglihatan dan ma’rifat
para sufi terhadap kekalnya kecintaan Allah yang tanpa ‘illat. Adapun
tanda-tanda cinta seorang hamba terhadap Allah di antaranya adalah:
a.
Senang bertemu
dengan kekasihnya (Allah) dengan cara saling membuka rahasia dan saling melihat
satu sama lain.
b.
Melakukan
segala hal yang disenangi kekasihnya. Atas nama cinta kepada Allah, rela
menjalankan kewajiban yang diperintahkan.
c.
Senantiasa
berzikir menyebut nama-Nya.
d.
Merasa tenang
dan damai tatkala bermunajat dengan Allah dan membaca kitab-Nya.
e.
Tidak merasa
gundah jika kelihangan sesuatu selain Allah dan merasa gundah jika waktunya
terlewatkan tanpa mengingat Allah.
f.
Merasa nikmat
saat menjalankan perintah Allah dan tidak menganggap perintah itu sebagai
beban.
g.
Menyanyangi
semua hamba Allah, berperilaku tegas kepada semua musuh Allah.[16][16]
9.
Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata
‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman.
Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang
lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan
yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu
pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi.
Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Qalb
yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan dapat mengetahui segala
rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai pada tingkatan ma’rifat.
Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi dan berkaitan dengan nur
Ilahi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata nur yang dihubungkan dengan
Allah. Di antaranya adalah:
Ma’rifat dalam
pandangan al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah tentang segala yang ada.
Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada
Tuhan antara orang awam, ulama dan sufi. Bagi orang awam, keyakinan akan pengetahuan
tentang Allah dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang
lain tanpa menyelidikinya.
Bagi ulama,
keyakinan akan Allah dibangun atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan
Allah dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyaf Ilahi. Ma’rifat dalam
pandangan Dzun Nun al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Allah
dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat dipancarkan ke hati para sufi dengan
pancaran cahaya suci Ilahi.[17][17]
Ma’rifat
menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung
secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah
SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa.
Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang
terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia
tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah
berfirman,
¬!ur
߉àfó¡o„
`tB
’Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
ÇÚö‘F{$#ur
$YãöqsÛ
$\döx.ur
Nßgè=»n=Ïßur
Íir߉äóø9$$Î
ÉA$|¹Fy$#ur
(الرعد:
15)
Artinya: Hanya
kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di
waktu pagi dan petang hari (QS Ar-Ra’d:15).
Jadi, semua
makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan
serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam
mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian
ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih
dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban
alam malakut dan kelembutan alam jabarut.
Sementara sang
salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih
dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya
dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam
gaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia
cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan
Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan
dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.[18][18]
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.[18][18]
B. Ahwal
Secara bahasa, ahwal
merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu
(keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu
yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu
bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau
situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu
waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai
pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai
keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan
sebagainya.
Jika berpijak
dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada
intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah
bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu
datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih
dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih[19][19]. Jika maqam diperoleh
melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan
tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen,
sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya[20][20]. Sebagaimana
halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat
perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling
banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah,
al-musyahadah, dan al-yaqin.[21][21] Penjelasan
tentang ahwal tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan
kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan
dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang
melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin
terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa
melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan
kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa
jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang
engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.[22][22]
2.
Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena
kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang
kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah
rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi
dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat,
diantaranya adalah:
a. Tingkatan
Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita,
perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b. Tingkatan
Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas
kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini
menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena
karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c.
Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada
pada khauf qashir dan mufrith.[23][23]
Rasulullah SAW
bersabda: "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT,
dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon".
Abû al-Layts
r.a. berkata, "Allah memiliki para malaikat di langit ketujuh. Mereka
bersujud sejak Allah menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka menggigil
ketakutan karena takut kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba, mereka
mengangkat kepala dan berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan
penyembahan yang sebenar-benarnya".
Itulah firman
Allah SWT: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan
melaksanakan apa yang diperintahkan (QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni, mereka tidak
berbuat maksiat kepada Allah sekejap mata pun.
Rasulullah SAW
bersabda, "Apabila tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT,
dosa-dosanya berguguran seperti daun-daun yang berguguran dari pohon."
Dikisahkan bahwa seorang laki-laki tertambat hatinya kepada seorang perempuan.
Perempuan itu keluar untuk suatu keperluan. Laki-laki itu ikut pergi
bersamanya. Ketika mereka berduaan di padang sahara, sementara orang lain sudah
tertidur, laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya kepada perempuan tersebut:
Perempuan itu berkata,"Lihatlah, semua orang sudah tertidur.” Laki-laki
itu senang mendengar kata-kata itu.
Dia mengira bahwa perempuan itu telah
memberikan jawaban kepadanya. Lalu, dia berdiri dan mengelilingi kafilah. Dia
mendapati orang-orang sudah tertidur. Lalu, dia kembali kepada perempuan itu
dan berkata, "Benar, mereka telah tidur." Namun, perempuan itu
bertanya, "Apa pendapatmu tentang Allah, apakah Dia tidur pada saat
ini?" Laki-laki itu menjawab, "Allah SWT tidak tidur. Dia tidak pernah
terserang kantuk dan tidur". Perempuan itu berkata, "Zat yang tidak
tidur dan tidak akan tidur selalu melihat kita walaupun orang lain tidak
melihat kita. Karena itu, Allah lebih pantas untuk ditakuti." Akhirnya,
laki-laki itu pun meninggalkan perempuan tadi karena takut kepada Sang
Pencipta. Dia bertobat dan kembali ke kampung halamannya. Ketika dia meninggal,
orang-orang bemimpi melihatnya. Ditanyakan kepadanya, "Apa tindakan Allah
kepadamu?" Dia menjawab, "Dia mengampuniku karena ketakutanku itu.
Dengan demikian, terhapuslah dosa tersebut."[24][24]
3.
Raja’
Raja’ dapat berarti
berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang
diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan
dalam al-Qur’an:
¨bÎ)
šúïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
z`ăܩ9$#ur
(#rãy_$yd
(#r߉yg»y_ur
’Îû
È@‹Î6y™
«!$#
y7Í´¯»s9'ré&
tbqã_ötƒ
|MyJômu‘
«!$#
4
ª!$#ur
Ö‘qàÿxî
ÒO‹Ïm§‘
(البقرة:
218)
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan
mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika
harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah
kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a.
Cinta kepada
apa yang diharapkannya.
b.
Takut bila
harapannya hilang.
c.
Berusaha untuk
mencapainya.
raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga
perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap
adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai
di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut
terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau
ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.[25][25]
4.
Thuma’ninah
Thuma’ninah
adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu
perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang
paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah
kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang
tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi
langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama,
ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba
berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah terkabulnya
doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka di tingkat ini
merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas
cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus.
Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa
rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak
bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.[26][26]
5.
Uns
Uns (suka cita)
dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa
sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa,
tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa
terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi
dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi
kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang
menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam
keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang
dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang
bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan
tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun
berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu
berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba
yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang
hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di
saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa.
Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap
bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan
menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi
melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan
mengagungkan disertai dengan suka cita.[27][27]
6. Musyahadah
Musyahadah secara harfiah
adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah
menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian
terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah
ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada
dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi,
segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir
yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu,
seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi
seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah
rasa cinta kasih.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa
cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka
tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan
mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang
dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara
pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam
pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan
Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam
hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin
adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran
pengetahuan yang dimiliki.[28]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam ilmu
Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun
mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau
fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin
dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh
dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu
tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan
maqam sebelumnya.
Berkaitan
dengan macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk
berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang
berbeda-beda. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din
mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,
al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan
al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Sementara itu Abu
Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya
tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan
al-ridla. Sedangkan menurut Muhammad al-Kalabazy, maqamat terdiri
dari sepuluh tingkatan, yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa,
tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.
Sedangkan dalam
ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah
dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika berpijak
dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada
intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah
bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu
datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih
dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih
dalam penentuan
hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al-
hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf,
ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.
B.
Saran
Untuk memahami ilmu tasawuf
khususnya dalam maqamat dan ahwal, hendaknya tidak hanya tertumpu
pada satu literatur saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi pemacu
penyusun khususnya dan penyusun berikutnya pada umumnya untuk lebih mendalami
ilmu tasawuf, sehingga apa yang sudah dijelaskan dalam makalah ini bisa
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih baik sesuai dari tujuan
ilmu tasawuf itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosibon
dan Mukhtar, Solihin. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.2004
Asmaran, As. Pengantar
Studi Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002
Syukur, Amin. Zuhud
Di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Syukur, Amin. Tasawuf
Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2003
Tim penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
2011
Yusuf, Anwar
Ali, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia.
2003
Fauzan,”Maqamat
dan Ahwal”, dalam http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/maqamat-dan-ahwal.html diakses tgl
24/11/2012 pukul 23.08
http://sufiroad.blogspot.com/2011/12/taubat-menurut-imam-ghazali.html di akses tgl 21 februari
2013
http://sufiroad.blogspot.com/2010/08/tauhid-dan-marifatullah.html di akses tgl 21 februari 2013
http://sufiroad.blogspot.com/2010/12/sufi-road-takut-kepada-allah.html di akses tgl 21 februari 2013
Nata, Abuddin. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2011
[1][1]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak
Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h.243
[2][2]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h.193-194
[3][3]Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak...,
h.244-245
[4][4]http://sufiroad.blogspot.com/2011/12/taubat-menurut-imam-ghazali.html di akses
tgl 21 februari 2013
[5][5]Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak...,
h.245-246
[6][6]Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), h.1
[7][7]Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.114-115
[8][8]Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak...,
h.248-250
[9][9]Ibid, h. 250-251
[10][10]Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004),h.72
[11][11]Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak...,
h.252-253
[12][12]Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem
Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h.30
[13][13]Fauzan,”Maqamat dan Ahwal”, dalam http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/maqamat-dan-ahwal.html
diakses tgl 24/11/2012 pukul 23.08
[14][14]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h.202
[15][15]Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak...,
h.257-258
[16][16]Ibid, h. 258-260
[17][17]Ibid, h. 261-262
[18][18]http://sufiroad.blogspot.com/2010/08/tauhid-dan-marifatullah.html di akses tgl 21
februari 2013
[19][19]Ibid, h.262-263
[20][20]Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h.200
[21][21]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak...,h.263-264
[22][22]http://httpahmadbudiyonoblogspotcom.blogspot.com/2012/04/pengetian-dan-tahapan-maqamat-dan-ahwal.html
di akses tgl 24/11/2012 pukul 22.56
[23][23]Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak...,
h.266-267
[24][24]http://sufiroad.blogspot.com/2010/12/sufi-road-takut-kepada-allah.html di akses tgl 21 februari 2013
[25][25]Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu..., h.75-76
[26][26]Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak...,
h.269-270
[27][27]Ibid, h.270-271
[28][28]Ibid, h.272-273
No comments:
Post a Comment