Search This Blog

sponsor

Tuesday, May 8, 2018

konstitusi pkn


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum. Terbukti dengan adanya konstitusi yang berlaku di Indonesia yaitu Undang – Undang Dasar 1945, seperti yang kita kenal saat ini. Tapi seolah-olah warga negara Indonesia, tidak menganggap adanya UUD 1945 tersebutSejak 17 Agustus1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.

B.       Rumusan Masalah

1.        Apakah pengertian konstitusi?
2.        Bagaimana pembagian nilai-nilai konstitusi UUD 1945?
3.        Apasaja nilai-nilai konstitusi UUD 1945?
4.        Apakah saja penerapan nilai-nilai konstitusi UUD 1945?




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Konstitusi

Kontitusi itu berasal dari bahasa parancis yakni constituer yang berarti membentuk.. Dalam bahasa latin konstitusi berasal dari gabungan dua kata yaitu “Cume” berarti bersama dengan dan “Statuere” berarti membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan, menetapkan sesuatu, sehingga menjadi “constitution”.Dalam istilah bahasa inggris (constution) konstitusi memiliki makna yang lebih luas dan undang-undang dasar.Yakni konstitusi adalah keseluruhan dari peraturn-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.Dalam terminilogi hokum islam (Fiqh Siyasah) konstitusi dikenal dengan sebutan DUSTUS yang berati kumpulan faedah yang mengatur dasar dan kerja sama antar sesame anggota masyarakat dalam sebuah Negara.
1)        Definisi Konstitusi menurut para ahli
a)         Herman Heller. Konstitusi mempunyai arti yang lebih luas daripada undang-undang Dasar. Konstitusi tidah hanya bersifat yuridis, tetapi mengandung pengertian sosiologisdan politis.
b)        Oliver Cromwell. Undang-undang Dasar itu merupakan “instrumen of govermen”, yaitu bahwa Undang-undang dibuat sebagai pegangan untuk memerintah. Dalam arti ini, Konstitusi identik dengan Undang-undang dasar.
c)         F. Lassalle. Konstitusi sesungguhnya menggambarkan hubungan antara kaekuasaan yang terdapat didalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata didalam masyarakat, misalnya kepala negara, angkatan perang, partai politik, buruh tani, pegawai, dan sebagainya.
d)        Prayudi Atmosudirdjo. Konstitusi adalah hasil atau produk sejarah dan proses perjuangan bangsa yang bersangkutan, Konstitusi merupakan rumusan dari filsafat, cita-cita, kehendak dan perjuangan suatu bangsa. Konstitusi adalah cermin dari jiwa, jalan pikiran, mentalitas dan kebudayaan suatu bangsa.
e)         K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
f)         L.J Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan tak tertulis.
g)        Koernimanto Soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa latincisme yang berarti bersama dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan secara bersama.
B.       Pembagian Nilai – Nilai Konstitusi

Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions” membedakan 3 (Tiga) macam Nilai Konstitusi atau the values of the constitution, dengan didasarkan pada realitas kekuasaan dan norma konstitusi, yaitu:
1.        Normative value (Nilai normatif);
2.        Nominal value (Nilai nominal);
3.        Semantical value (Nilai semantik).
Jika berbicara nilai konstitusi, para sarjana hukum pun selalu mengutip pendapat Karl Loewenstein mengenai tiga nilai konstitusi tersebut, yaitu : normatif, nominal, dan semantik. Suatu konstitusi dikatakan memiliki Nilai Normatif apabila konstitusi tersebut resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Norma-norma konstitusi itulah yang mengatur dan mejadi guideline pada proses-proses politik yang terjadi di masyarakat.
Konstitusi dikatakan memiliki Nilai Nominal apabila konstitusi tersebut secara hukum jelas berlaku, dan memiliki daya berlaku, namun dalam prakteknya tidak memiliki kenyataan eksistensi.Pasal-pasal yang ada dalam konstitusi tersebut hanya menjadi dokumen hukum semata, dan ketundukan politiknya tidak berdasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam konstitusi itu sendiri.
Dalam Praktiknya dapat pula terjadi percampuran antara nilai nominal dan normatif. Hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar yang dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya sebagian, sedangkan sebagaian lainnya hanya bernilai nominal
Suatu konstitusi disebut konstitusi yang memiliki Nilai Semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai alat pelanggengan kekuasaan saja.Pada intinya keberlakuan dan penerapan konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang ada.
Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik (das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif.

C.  Nilai Konstitusi Indonesia Berdasarkan UUD 1945

Berbicara konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.UUD 1945 sebelum amandemen memiliki kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik. Contohnya UUD 1945 pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini esekutif (Presiden)  dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang dasar 1945 harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut dapat terlihat dengan adanya Undang-undang No. 19 tahun 1965.
Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar pada saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara, mengingat kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan maka diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi. Namun dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengakan kekuasaan, maka konstitusi tersebut dipertahankan.Maka timbulah adigium negatif “Konstitusi akan dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan kekuasaan”.
Kemudian, Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan nilai lain pada konstitusi kita. Dalam pasal - pasal konstitusi kita memiliki nilai nominal.Misal pada pasal 28B ayat (2) tentang HAM, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Walaupun dalam ayat tersebut terdapat hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun kenyataannya masih banyak diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan. Kemudian pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan menjadi sia-sia kalau agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan.Hal tersebut menjadi dilematis dan tidak konsekuen, bila memang kenyataan demikian, mengapa tidak dituliskan secara eksplisit dalam ayat tersebut. Hal lain adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” . Kata-kata wajib membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa terdikotomi dengan apakah sekolah tersebut swasta atau negeri, karena kata wajib disana tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang dilaksanakan pemerintah tahun ini, tetapi seluruh sekolah dasar.Pasal selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.Kata dipergunakan dalam ayat tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak eskploitasi sumber daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan asing yang sebagian besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka.Kondisi demikian masih jauh dari tujuan pasal tersebut yakni kemakmuran rakyat bukan kemakmuran investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara disini bukan berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta ngemis” atau bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial dimana sesuai dengan tujuan awal, yakni kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Dari penjelasan tersebut, tampaknya UUD 1945 mempunyai nilai nominal. Sebab walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya, akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi berlaku secara menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif dan dijalankan secara murni dan konsekuen.

D.      Penerapan Nilai-Nilai Konstitusi dalam UUD 1945

UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000, Perubahan Ketiga Tahun 2001, dan Perubahan Keempat Tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai UUD 1945.
Dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tidak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jika pun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, maka jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tersebut.
UUD 1945 tampaknya menganut Nilai Nominal karena dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi tersebut berlaku secara menyeluruh dan dijalankan dengan konsekuen. Contohnya saja pada Pasal 28 D (1) Bab XA UUD 1945 yang mengatakan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pertanyaannya sekarang apakah kata-kata yang mengatakan bahwa kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum itu konsekuen dengan faktanya dalam kehidupan bernegara ? Oleh karena itu, jika UUD 1945 kita ingin diubah nilainya menjadi nilai normatif, maka harus sesuai antara Das Sein dan Das Sollen dalam pelaksanaannya di kehidupan bernegara.










BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.        Suatu konstitusi dikatakan memiliki Nilai Normatif apabila konstitusi tersebut resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Norma-norma konstitusi itulah yang mengatur dan mejadi guideline pada proses-proses politik yang terjadi di masyarakat.
2.        Konstitusi dikatakan memiliki Nilai Nominal apabila konstitusi tersebut secara hukum jelas berlaku, dan memiliki daya berlaku, namun dalam prakteknya tidak memiliki kenyataan eksistensi. Pasal-pasal yang ada dalam konstitusi tersebut hanya menjadi dokumen hukum semata, dan ketundukan politiknya tidak berdasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam konstitusi itu sendiri.
3.        Suatu konstitusi disebut konstitusi yang memiliki Nilai Semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai alat pelanggengan kekuasaan saja. Pada intinya keberlakuan dan penerapan konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang ada.
4.        Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, karena pada saat itu, nilai konstitusi yang berlaku adalah nilai semantik



DAFTAR PUSTAKA

J. Zurcher,Arnold (Karl Loewenstein).1955. Reflections on the Value of Constitutions in our Revolutionary Age.New York: New York University Press.
Thaib Dahlan. 2008. Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT. Rajagrafindo persada
H. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Hj. Ni’matul Huda. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Romi Librayanto, 2009. Ilmu Negara Suatu Pengantar, Makassar: Pustaka Refleksi,




No comments:

Post a Comment

sponsor