BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum. Terbukti dengan adanya konstitusi yang
berlaku di Indonesia yaitu Undang – Undang Dasar 1945, seperti yang kita kenal
saat ini. Tapi seolah-olah warga negara Indonesia, tidak menganggap adanya UUD
1945 tersebutSejak 17
Agustus1945, bangsa
Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam
menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan
berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang
diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari
penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang
baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota
MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara
jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian
konstitusi?
2.
Bagaimana pembagian
nilai-nilai konstitusi UUD 1945?
3.
Apasaja nilai-nilai
konstitusi UUD 1945?
4.
Apakah saja penerapan
nilai-nilai konstitusi UUD 1945?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Konstitusi
Kontitusi itu berasal dari bahasa
parancis yakni constituer yang berarti membentuk.. Dalam bahasa latin
konstitusi berasal dari gabungan dua kata yaitu “Cume” berarti bersama dengan
dan “Statuere” berarti membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan, menetapkan
sesuatu, sehingga menjadi “constitution”.Dalam istilah bahasa inggris
(constution) konstitusi memiliki makna yang lebih luas dan undang-undang
dasar.Yakni konstitusi adalah keseluruhan dari peraturn-peraturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara
bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.Dalam
terminilogi hokum islam (Fiqh Siyasah) konstitusi dikenal dengan sebutan DUSTUS
yang berati kumpulan faedah yang mengatur dasar dan kerja sama antar sesame
anggota masyarakat dalam sebuah Negara.
1)
Definisi Konstitusi menurut para
ahli
a)
Herman Heller. Konstitusi
mempunyai arti yang lebih luas daripada undang-undang Dasar. Konstitusi tidah
hanya bersifat yuridis, tetapi mengandung pengertian sosiologisdan politis.
b)
Oliver Cromwell. Undang-undang
Dasar itu merupakan “instrumen of govermen”, yaitu bahwa Undang-undang dibuat
sebagai pegangan untuk memerintah. Dalam arti ini, Konstitusi identik dengan
Undang-undang dasar.
c)
F. Lassalle. Konstitusi
sesungguhnya menggambarkan hubungan antara kaekuasaan yang terdapat didalam
masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata didalam masyarakat,
misalnya kepala negara, angkatan perang, partai politik, buruh tani, pegawai,
dan sebagainya.
d)
Prayudi
Atmosudirdjo. Konstitusi adalah hasil atau produk sejarah dan proses
perjuangan bangsa yang bersangkutan, Konstitusi merupakan rumusan dari
filsafat, cita-cita, kehendak dan perjuangan suatu bangsa. Konstitusi adalah
cermin dari jiwa, jalan pikiran, mentalitas dan kebudayaan suatu bangsa.
e)
K. C. Wheare, konstitusi adalah
keseluruhan sistem ketatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan
yang membentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
f)
L.J Van Apeldoorn, konstitusi memuat
baik peraturan tertulis maupun peraturan tak tertulis.
g)
Koernimanto Soetopawiro, istilah
konstitusi berasal dari bahasa latincisme yang berarti bersama dengan dan statute
yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan
secara bersama.
B. Pembagian Nilai – Nilai Konstitusi
Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the Value of Constitutions”
membedakan 3 (Tiga) macam Nilai Konstitusi atau the values of the
constitution, dengan didasarkan pada realitas kekuasaan dan norma
konstitusi, yaitu:
1.
Normative value (Nilai normatif);
2.
Nominal value (Nilai nominal);
3.
Semantical value (Nilai semantik).
Jika berbicara nilai konstitusi, para sarjana hukum pun selalu mengutip
pendapat Karl Loewenstein mengenai tiga nilai konstitusi tersebut, yaitu :
normatif, nominal, dan semantik. Suatu konstitusi dikatakan
memiliki Nilai Normatif apabila konstitusi tersebut resmi diterima
oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti
hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku
efektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Norma-norma konstitusi
itulah yang mengatur dan mejadi guideline pada proses-proses politik yang
terjadi di masyarakat.
Konstitusi dikatakan memiliki Nilai Nominal apabila konstitusi
tersebut secara hukum jelas berlaku, dan memiliki daya berlaku, namun dalam
prakteknya tidak memiliki kenyataan eksistensi.Pasal-pasal yang ada dalam
konstitusi tersebut hanya menjadi dokumen hukum semata, dan ketundukan
politiknya tidak berdasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam konstitusi itu
sendiri.
Dalam Praktiknya dapat pula terjadi percampuran antara nilai nominal dan
normatif. Hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar yang
dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik,
sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya sebagian, sedangkan
sebagaian lainnya hanya bernilai nominal
Suatu konstitusi disebut konstitusi yang memiliki Nilai
Semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya secara hukum tetap
berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk
melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai
konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai alat
pelanggengan kekuasaan saja.Pada intinya keberlakuan dan penerapan
konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang
ada.
Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek
penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya
sebagai praktik (das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami,
diakui, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti
hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya
diperlukan dan efektif.
C. Nilai Konstitusi Indonesia Berdasarkan UUD 1945
Berbicara konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya
yakni, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.UUD 1945 sebelum amandemen memiliki
kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik. Contohnya UUD 1945
pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi
dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa
saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu
dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini
esekutif (Presiden) dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal
24 dan 25 Undang-Undang dasar 1945 harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut
dapat terlihat dengan adanya Undang-undang No. 19 tahun 1965.
Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal
tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan
membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang
Dasar pada saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar
sementara, mengingat kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan
kemerdekaan maka diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum
tertinggi. Namun dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk
melanggengakan kekuasaan, maka konstitusi tersebut dipertahankan.Maka timbulah
adigium negatif “Konstitusi akan dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan
kekuasaan”.
Kemudian, Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4,
memberikan nilai lain pada konstitusi kita. Dalam pasal - pasal konstitusi kita
memiliki nilai nominal.Misal pada pasal 28B ayat (2) tentang HAM, yang berbunyi
“Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Walaupun dalam ayat
tersebut terdapat hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun
kenyataannya masih banyak diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan.
Kemudian pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan
menjadi sia-sia kalau agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1
kepercayaan.Hal tersebut menjadi dilematis dan tidak konsekuen, bila memang
kenyataan demikian, mengapa tidak dituliskan secara eksplisit dalam ayat
tersebut. Hal lain adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” .
Kata-kata wajib membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan
dasar tanpa terdikotomi dengan apakah sekolah tersebut swasta atau negeri,
karena kata wajib disana tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti
yang dilaksanakan pemerintah tahun ini, tetapi seluruh sekolah dasar.Pasal
selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.Kata dipergunakan dalam ayat tersebut
tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak eskploitasi sumber
daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan asing yang sebagian
besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka.Kondisi demikian masih
jauh dari tujuan pasal tersebut yakni kemakmuran rakyat bukan kemakmuran
investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara disini bukan
berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta ngemis” atau
bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial dimana sesuai
dengan tujuan awal, yakni kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Dari penjelasan tersebut, tampaknya UUD 1945 mempunyai nilai nominal. Sebab
walaupun secara hukum konstitusi ini berlaku dan mengikat peraturan dibawahnya,
akan tetapi dalam kenyataan tidak semua pasal dalam konstitusi berlaku secara
menyeluruh, yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif dan
dijalankan secara murni dan konsekuen.
D. Penerapan Nilai-Nilai Konstitusi dalam UUD 1945
UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu Perubahan Pertama pada
tahun 1999, Perubahan Kedua Tahun 2000, Perubahan Ketiga Tahun 2001, dan
Perubahan Keempat Tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD 1945
yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi
yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah
terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi
konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai UUD 1945.
Dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan,
“Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status
Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tidak terpisahkan dari
naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jika pun isi
Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah,
maka jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran
yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari
apa yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tersebut.
UUD 1945 tampaknya menganut Nilai Nominal karena dalam kenyataan tidak
semua pasal dalam konstitusi tersebut berlaku secara menyeluruh dan dijalankan
dengan konsekuen. Contohnya saja pada Pasal 28 D (1) Bab XA UUD 1945 yang
mengatakan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pertanyaannya sekarang apakah kata-kata yang mengatakan bahwa kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum itu konsekuen dengan
faktanya dalam kehidupan bernegara ? Oleh karena itu, jika UUD 1945 kita ingin
diubah nilainya menjadi nilai normatif, maka harus sesuai antara Das Sein dan
Das Sollen dalam pelaksanaannya di kehidupan bernegara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Suatu
konstitusi dikatakan memiliki Nilai Normatif apabila
konstitusi tersebut resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi
itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku
dalam masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan
konsekuen. Norma-norma konstitusi
itulah yang mengatur dan mejadi guideline pada proses-proses politik yang
terjadi di masyarakat.
2.
Konstitusi dikatakan
memiliki Nilai Nominal apabila konstitusi tersebut secara hukum jelas
berlaku, dan memiliki daya berlaku, namun dalam prakteknya tidak memiliki
kenyataan eksistensi. Pasal-pasal yang ada dalam konstitusi tersebut hanya
menjadi dokumen hukum semata, dan ketundukan politiknya tidak berdasarkan pada
nilai-nilai yang ada dalam konstitusi itu sendiri.
3.
Suatu
konstitusi disebut konstitusi yang memiliki Nilai Semantik jika
norma-norma yang terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam
kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan
kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan
yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai
alat pelanggengan kekuasaan saja. Pada intinya keberlakuan dan penerapan
konstitusinya hanya untuk kepentingan bagaimana mempertahankan kekuasaaan yang
ada.
4.
Pada
masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut
terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat
peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, karena pada saat itu, nilai
konstitusi yang berlaku adalah nilai semantik
DAFTAR
PUSTAKA
J. Zurcher,Arnold (Karl
Loewenstein).1955. Reflections on the Value of Constitutions in our
Revolutionary Age.New York: New York University Press.
Thaib Dahlan. 2008. Teori
dan Hukum Konstitusi, Jakarta: PT. Rajagrafindo persada
H. Dahlan Thaib, Jazim
Hamidi, Hj. Ni’matul Huda. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Romi Librayanto,
2009. Ilmu Negara Suatu Pengantar, Makassar: Pustaka Refleksi,
No comments:
Post a Comment