A. Pengertian Aliran Jabariyah
Kata jabariah berasal dari kata
jabara yanng berarti “memaksa”. Di dalam Al-munjid dijelaskan bahwa nama
jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan
melakukan sesuatu. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-jabbar (dalam
bentuk mubalaghah), artinya allah maha memaksa. Ungkapan al-ihsan majbur
(bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.
Selanjutnya kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariah
(dengan menambah ya nasibah, artinya adalah suatu kelompok atau aliran (isme).
Lebih lanjut Asy-Syahratsany menegaskan bahwa paham al jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkan
kepada Allah SWT. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya
dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, jabariah disebut fatalism atau
predestination, yaitu paham bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula
oleh qadha dan qadar Tuhan.
Dapat Kita simpulkan bahwa
aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala
perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak
Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah
pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh
tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan
bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia
itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah
Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu
dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang
diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa
yang diinginkannya sendiri.
B. Sejarah Kemunculan Aliran Jabariyah
Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa faktor antara lain
1. Faktor Politik
B. Sejarah Kemunculan Aliran Jabariyah
Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa faktor antara lain
1. Faktor Politik
Pendapat Jabariah diterapkan di
masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih
dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu
Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah
mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang
licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya
sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha
dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia
yang terlibat di dalamnya.
Golongan Jabariyah pertama kali
muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu
kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran
ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa
manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia
ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia. Paham Jabariyah
dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai
kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama
mempelopori paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut
sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan
meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari
adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum
Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan.
Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi
pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah
paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil,
Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum
Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah. Disebut Qadariyah
karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya
takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa
adanya intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham
penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan
pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di
hari kiamat. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah
Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam
masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya
maka kaum Jahmiyah meyakininya.
2. Faktor Geografi
2. Faktor Geografi
Para ahli sejarah pemikiran
mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan bangsa Arab yang
dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara
hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah
memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian, bangsa Arab
tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan
keingianan mereka sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung kepada sikap
Fatalisme.
Untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan jabariah, tampaknya perlu
dijelaskan siapa sebenarnya yang melahirkan dan menyebarluaskan paham al-jabar
serta dalam situasi apa paham itu muncul.
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 124 H) yang kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari khurasan. Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiliyah dalam kalangan Murji’ah. Ia duduk sebagai sekertaris Suraih bin Al-haris dan menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani umayah. Dalam perkembangannya, paham al-jabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh diatas. Masih banyak tokoh-tokoh lain yang berjasa dalam mengembangkan paham ini, di antaranya adalah Al-Husain bin Muhammad An-najjar dan Ja’d bin Dirar.
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 124 H) yang kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari khurasan. Dalam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiliyah dalam kalangan Murji’ah. Ia duduk sebagai sekertaris Suraih bin Al-haris dan menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani umayah. Dalam perkembangannya, paham al-jabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh diatas. Masih banyak tokoh-tokoh lain yang berjasa dalam mengembangkan paham ini, di antaranya adalah Al-Husain bin Muhammad An-najjar dan Ja’d bin Dirar.
Mengenal kemunculan paham
al-jabar, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendeakatan
geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia
menggambarkan kehidupan bangsa arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara
yang memberikan pengaruh besar kedalam cara hidup meraka. Ketergantungan
mereka pada alam sahara yang ganas telah mencuatkan sikap penyerahan diri
terhadap alam.
Lebih lanjut Harun Nasution
menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat arab tidak banyak melihat
jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya.
Mereka merasa dirinya lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak
alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalisme.
Sebenarnya benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
1. Suatu ketika, nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2. Khalifah Umar bin Khathab pernah menangkap sesseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar ucapan itu, umar marah sekali dan enganggap orang itu telah berdusta pada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3. Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar (ketentuan) Tuhan dan kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang itu bertanya, “apabila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya.” Kemudian ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Ali selanjutnya menjelaskan, sekiranya qadha dan qadar merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
4. Pada pemerintah daulah bani Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas melalui suratnya memberikan reaksi keras kepada penduduk siria yang diduga berpaham “Jabariah”.
Paparan diatas menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode islam. Akan tetapi, al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan terjadi pada masa-masa pemerintahan bani umayah, yaitu oleh kedua tokoh yang telah disebutkan.
Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariah dalam islam, ada teori yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermahzab qurra dan agama kristen bermahzab yacobit. Akan tetapi, tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan muncul di kalangan umat islam.
Pemikiran yang ekstrim mengatakan bahwa manusia tidak menciptakan perbuatannya. Perbuatan itu hanya ada pada Allah. Manusia tidak mempunyai perbuatan karena dia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat. Perbuatan yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda mati. Oleh sebab itu, manusia berbuat bukan dalam arti sebenarnya tetapi dalam arti majasi. Perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, termasuk peerbuatan mengerjakan kewajiban dan menerima pahala dan siksa.
Sebenarnya benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
1. Suatu ketika, nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2. Khalifah Umar bin Khathab pernah menangkap sesseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar ucapan itu, umar marah sekali dan enganggap orang itu telah berdusta pada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3. Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar (ketentuan) Tuhan dan kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang itu bertanya, “apabila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya.” Kemudian ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Ali selanjutnya menjelaskan, sekiranya qadha dan qadar merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
4. Pada pemerintah daulah bani Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas melalui suratnya memberikan reaksi keras kepada penduduk siria yang diduga berpaham “Jabariah”.
Paparan diatas menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode islam. Akan tetapi, al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan terjadi pada masa-masa pemerintahan bani umayah, yaitu oleh kedua tokoh yang telah disebutkan.
Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariah dalam islam, ada teori yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermahzab qurra dan agama kristen bermahzab yacobit. Akan tetapi, tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan muncul di kalangan umat islam.
Pemikiran yang ekstrim mengatakan bahwa manusia tidak menciptakan perbuatannya. Perbuatan itu hanya ada pada Allah. Manusia tidak mempunyai perbuatan karena dia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat. Perbuatan yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda mati. Oleh sebab itu, manusia berbuat bukan dalam arti sebenarnya tetapi dalam arti majasi. Perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, termasuk peerbuatan mengerjakan kewajiban dan menerima pahala dan siksa.
Dengan demikian, perbuatan
manusia tidaklah timbul dari kemauan sendiri tetapi perbuatan itu dipaksakan
atas dirinya. Misalnya, jika seorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukan atas
kehendaknya sendiri tetapi timbul karena kehendak Tuhan. Jadi jabariyah
ekstrem berkeyakinan bahwa yang mempunyai rencana dan melaksanakan
perbuatan manusia adalah Allah. Manusia dianggap sebagai pelaku yang semu
terhadap perbuatannya sendiri. Sedangkan jabariyah moderat berpendapat bahwa
Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik yang baik dan yang jahat,
tetapi manusia mempunyai andil dalam mewujudkan perbuatan itu. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Inilah yang disebut kasb, dengan arti perolehan bagi
manusia karena yang mewujudkan perbuatan bukan manusia tetapi Tuhan. Perbuatan
manusia pada hakikatnya diciptakan Tuhan. Manusia dan Tuhan bekerja sama dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.
C. Para Pemuka Jabariyah dan
Doktrin-doktrinnya
Menurut Asy-Syahratsani,
Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di
antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan
manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri., tetapi
perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri,
perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul
karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian.
Di antara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini :
a). Jahm bin Shofyan
Di antara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini :
a). Jahm bin Shofyan
Nama lengkapnya adalah Abu
Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurusan, bertempat tinggal di
Khufah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai
sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani
Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada
kaitannya dengan agama.
Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukanJahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut :
1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nahyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
2. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
Dengan demikian, dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazillah, dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
b). Ja’d bin Dirham
Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukanJahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut :
1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nahyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
2. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
Dengan demikian, dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazillah, dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
b). Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana
Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di lingkungan orang Kristen yang
senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan
pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang
kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di
sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk
dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm, Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut :
1. Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatanyang diciptakan Tuhan.
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah berikut ini :
a. An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjariyah (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah :
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori An-Asy’ary. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b. Adh-Dhirar
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm, Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut :
1. Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatanyang diciptakan Tuhan.
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah berikut ini :
a. An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjariyah (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah :
1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori An-Asy’ary. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b. Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar
bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjr,
yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang.
Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata
dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa
suatu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya
perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia
itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indra keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
D. Pokok-Pokok Pemikiran Jabariyah
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indra keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
D. Pokok-Pokok Pemikiran Jabariyah
1. Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Bahwa segala perbuatan manusia merupakan paksaan dari Tuhan dan merupakan kehendak-Nya yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Manusia tidak punya kehendak dan pilihan. Ajaran ini dikemukakan oleh jahm bin shofwan.
2. Surga dan neraka tidak kekal, begitu pun dengan yang lainnya, hanya Tuhan yang kekal.
3. Iman adalah ma’rifat dalam hati dengan hanya membenarkan dalam hati. Artinya, bahwa manusia tetap dikatakan beriman meskipun ia meninggalkan fardhu dan melalkukan dosa besar, tetap dikatakan beriman walaupun tanpa amal.
4. Kalam Tuhan adalah makhluk, Allah SWT mahasuci dari segala sifat keserupaan dengan makhluk-Nya, maka Allah tidak dapat dilihat meskipun di akhirat kelak, oleh karena itu Al-Qur’an sebagai makhluk adalah baru dan terpisah dari Allah, tidak dapat disifatkan kepada Allah SWT.
5. Allah tidak mempunyai sifat serupa makhluk seperti berbicara, melihat, dan mendengar
6. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia berperan dalam mewujudkan perbuatan itu. Teori ini dikemukakan oleh Al-Asy’ari yang disebut teori kasah, sementara An-najjar mengaplikasikannya dengan ide bahwa manusia tidak lagi seperti wayang yang digerakkan, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
E. Dalil Aqli Dan Dalil Naqli
Landasan naqly (alasan yang
diambil dari al-Quran dan Hadis) dan aqly (alasan yang bersandar pada akal atau
rasional semata) yang menjadi pegangan sekaligus alasan "ada" nya
kedua aliran teologi ini.
1. Dalil-dalil naqli sebagai dasar aliran Jabariyah
2. Adapun dalil-dalil aqliy yang dijadikan landasan bagi kaum Jabariyah antara lain sebagai berikut:
1) Makhluk tidak boleh mempunyai sifat sama dengan sifat Tuhan, dan kalau itu terjadi, berarti menyamakan Tuhan dengan makhluknya.
2) Mereka menolak keadaan Allah Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun ia mengakui keadaan Allah Yang Maha Kuasa.
3) Allahlah yang berbuat dan menciptakan, oleh karena itu, makhluk tidak mempunyai kekuasaan.
4) Manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit juapun, manusia tidak dapat dikatakan mempunyai kemampuan (Istitha`ah).
5) Perbuatan yang tampaknya lahir dari manusia bukan dari perbuatan manusia karena manusia tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai pilihan antara memperbuat atau tidak memperbuat.
6) Semua perbuatan yang terjadi pada makhluk adalah perbuatan Allah dan perbuatan itu disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi. Sama seperti kata pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam dan biji-bijian tumbuh dan sebagainya.
F. Penolakan Terhadap Paham Jabariyah
1. Dalil-dalil naqli sebagai dasar aliran Jabariyah
2. Adapun dalil-dalil aqliy yang dijadikan landasan bagi kaum Jabariyah antara lain sebagai berikut:
1) Makhluk tidak boleh mempunyai sifat sama dengan sifat Tuhan, dan kalau itu terjadi, berarti menyamakan Tuhan dengan makhluknya.
2) Mereka menolak keadaan Allah Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun ia mengakui keadaan Allah Yang Maha Kuasa.
3) Allahlah yang berbuat dan menciptakan, oleh karena itu, makhluk tidak mempunyai kekuasaan.
4) Manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit juapun, manusia tidak dapat dikatakan mempunyai kemampuan (Istitha`ah).
5) Perbuatan yang tampaknya lahir dari manusia bukan dari perbuatan manusia karena manusia tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai pilihan antara memperbuat atau tidak memperbuat.
6) Semua perbuatan yang terjadi pada makhluk adalah perbuatan Allah dan perbuatan itu disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi. Sama seperti kata pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam dan biji-bijian tumbuh dan sebagainya.
F. Penolakan Terhadap Paham Jabariyah
Kelompok jabariyah adalah
orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka
mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia
bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan
kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa
melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang
berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin.
Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika
mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa
tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah
terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini
membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan
perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta
terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu
telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela
terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan
menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu
tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah
menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat
menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu
menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan
Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka
meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena
kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima
begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh
perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki
oleh Allah. Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan
orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka.
Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan
bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta
kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik
syariat maupun akal.
No comments:
Post a Comment