A . Al-Kindi
1. Biografi dan Pendidikannya
Nama lengkap beliau adalah Abu
Yusuf Ya'kub bin Ishaq As-Shabbah bin 'Imran bin Ismail bin Muhammad Al-Asy'ats
bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M). Ia
termasuk keluarga yang kaya dan terhormat. Kakek buyutnya bernama Al-Asy’ats
ibnu Qays yakni seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai Syuhada
bersama sa’ad ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum muslimin dengan
Persia di Irak. Sedangkan ayahnya bernama Ishaq ibnu As-Shabbah yakni seorang
Gubernur di Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (tahun 775-785 M) dan
Al-Rasyid (tahun 786-809 M). namun ayahnya meninggal ketika ia masih usia
anak-anak.[1]
Al-kindi berasal dari
Klan Kindah yakni salah satu Kabilah Arab. Selain dari itu, karena ia merupakan
keturunan Arab, ia dimasukkan dalam kelompok filosof Arab.[2] Nama Al-Kindi
dinisbatkan pada sukunya yakni Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku yang
dikenal memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi
orang dikala itu. “Suku ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan
yang terbesar dan tersebar para kesustraan Arab, sang penyair pangeran Imr
Al-Qays yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan
ayahnya”.[3]
Kalau diperhatikan
dari tahun kelahiran al-Kindi, kita dapat membuat sebuah kesimpulan bahwa ia
hidup pada masa kekuasaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecil ia telah merasakan masa
pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Al Kindi sudah menjadi Yatim sejak ia
masih berusia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut
ilmu dengan baik. Al Kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima Khalifah
Bani Abbas, yakni Al-Amin (809-813 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tasim
(833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).[4]
Al-Kindi adalah
seorang yang aktif dalam segala aktivitas dilakukannya. Salah satu bentuk dalam
kesibukannya ia menyibukkan dirinya untuk menerjemahkan karya-karya tulisan
Yunani ke dalam Bahasa Arab, juga mengkoreksi hasil terjemahan orang lain atas
karya-karya tersebut dan ia pun bekerja di Istana Khalifah Abbasiyah.
Tidak hanya itu, karena ia dipercaya oleh pihak Istana dengan kemampuannya
untuk mengajar, maka iapun diangkat menjadi guru pribadi pendidik anak Khalifah
di kala itu yang bernama Mu’tashim. Mu’tashim adalah Khalifah yang menggantikan
Al-Makmun, sedangkan anak yang dididik oleh al-Kindi bernama Ahmad bin
Mu’tashim. Namun di masa terakhir kehidupannya, ia diusir dari istana.[5]
Akhirnya ia meninggal di Baghdad pada Tahun 252 H/866 M.
Al-Kindi mulai belajar
sejak ia kecil, dan ia mempelajari ilmu-ilmu sesuai dengan kurikulum pada
masanya. Ia mempelajari al-Qur’an serta belajar membaca, menulis, menghitung
yang diperolehnya sewaktu ia masih Sekolah Dasar di Bashrah. Kemudian ia
melanjutkan ke Baghdad hingga tamat, sehingga ia mahir dalam berbagai cabang
ilmu yang ada pada waktu itu, seperti ilmu ketabiban (kedokteran), filsafat,
ilmu hitung, mantigh (logika), geometri, astronomi, seni musik, ilmu ukur dan
lain sebagainya. Penguasaanya terhadap filsafat telah menempatkan ia menjadi
orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajarannya para filosof
terkemuka. Karena itulah ia dinilai pantas menyandang gelar Failasuf al-‘Arab
(filosof berkebangsaan Arab).[6] Ia juga mempelajari ilmu-ilmu yang berasal
dari Yunani, hingga sekurang-kurangnya memahami salah satu bahasa yang menjadi
bahasa ilmu pengetahuan di kala itu yakni bahasa Suryani. Dari buku-buku Yunani
yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Suryani inilah Al-Kindi
menerjemahkannya kedalam bahasa Arab.
2.Karya-Karyanya
Sebagai seorang ilmuwan yang kaya
dengan pengetahuan, maka al-Kindi membuat sebuah karya tulis ilmiah, dan
membuat terjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus melakukan koreksi serta
perbaikan atas terjemahan orang lain. Sebagai seorang pakar ilmuan di kala itu,
kita dapat melihat beberapa hasil tulisan yang dibuat oleh Al Kindi, yakni
sebagai berikut:
a. Bidang Filsafat
- Fi al-falsafat al-‘Ula,
- Kitab al-Hassi’ala Ta’allum al-Falsafat,
- Risalat ila al-Ma’mun fi al-illat wa Ma’lul,
- Risalat fi Ta’lif al-A’dad,
- Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma Fauqa al-Thabi’iyyat,
- Kammiyat Kutub Aristoteles,
- Fi al-Nafs [7]
b. Bidang Astronomi
- Risalah fi Masa’il Su’ila anha min Ahwal al-Kawatib (jawaban dari pertanyaan tentang planet),
- Risalah fi Jawab Masa’il Thabi’iyah fi Kayfiyyat Nujumiah (pemecahan soal-soal fisik tentang sifat-sifat perbintangan),
- Risalah fi anna Ru’yat al Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi at-Taqrib (bahwa pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan ketetapan,
- Risalah fi Mathrah asy-Syu’a (tentang projeksi sinar),
- Risalah fi Fashlayn (tentang dua musim yakni; musim panas dan musim dingin),
- Risalah fi Idhah ‘illat Ruju’ al-Kawakib (tentang penjelasan sebab gerak kebelakang planet-planet),
- Fi asy-Syu’at (tentang sinar bintang).
c.
Meteorologi
1.
Risalah fi ’illat Kawnu adh-Dhabasb (tentang sebab asal mula kabut),
2.
Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu fi al-laww Yusamma Kawkaban (tentang tanda
yang tampak di langit dan disebut sebuah planet),
3.
Risalah fi ’illat Ikhtilaf Anwa’us Sanah (tentang sebab perbedaan dalam
tahun-tahun),
4.
Risalah fi al-Bard al-Musamma ”Bard al-Ajuz” (tentang dingin),
d.
Ramalan
1.
Risalah fi Taqdimat al-Khabar (tentang Prediksi),
2.
Risalah fi Taqdimat al-Ma’rifat fi al-Ahdats (tentang ramalan dengan mengamati
gejala meteorolgi).
e.
Ilmu Pengobatan
1.
Risalah fi’illat Naftcad-Damm (tentang hemoptesis yakni; batuk darah dari
saluran pernapasan),
2.
Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib (tentang rabies).
f.
Ilmu Hitung
1.
Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah (tentang jumlah relatif),
2.
Risalah fi at-Tajhid min Jihat al-’Adad (tentang keesaan dari segi
angka-angka).
g.
Logika
1.
Risalatun fi Madhkal al-Mantiq bi Istifa al-Qawl fihi (tentang sebuah pengantar
lengkap logika),
2.
Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris (sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry).
Karya-karya
yang disebutkan di atas merupakan sebagian terkecil dari sekian banyak karya
Al-Kindi. Karya Al-Kindi di susun oleh Ibnu An-Nadim yang menyebutkan tidak
kurang dari 242 buah karya Al-Kindi, sedangkan sumber lain menyebutkan 265
buah, dan membaginya menurut pokok persoalannya menjadi filsafat, logika, ilmu
hitung, sferika, ilmu kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, politik,
meteorologi, dan ramalan.[8]
3. Pemikiran Al-Kindi
Menurut sejarah dibeberapa buku,
seperti; Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh Falasifah Al-Islam, Tarikh Al-Fikr
Al-Arabi, dan Lainnya menyatakan bahwa al-Kindi adalah seorang filosof Islam
yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha memadukan antara ajaran filsafat
Yunani dengan ajaran Islam. Atas perpaduan antara ajaran filsafat yunani dengan
Ajaran Islam, maka ini terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan
keyakinan agama yang dimiliki umat Islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh
berpegang pada dasar-dasar Islam. Selama eksisnya dalam mempelajari filsafat,
al-Kindi memberikan definisi-definisi singkat dari filsafat itu sendiri.
Menurutnya
filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat
dijangkau oleh kemampuan akal manusia, pengetahuan dari segala pengetahuan dan
kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan, hingga kesemuaanya dititik beratkan
pada nilai tingkah laku manusia. Menurutnya lagi filosof adalah “orang yang
berupaya memperoleh kebenaran dan hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau
hidup adil. Filosof yang sejati adalah filosof yang mampu memperoleh
kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu.”[9]
Sebagai seorang muslim, Al-Kindi berusaha
menggegas agar filsafat bisa dipelajari dan berpadu dalam Islam, namun arah
tujuan dari semua itu tidak untuk kebenaran yang hakiki. Untuk itu Al-Kindi
yang terkenal sebagi Filosof Islam pertama kali di dunia membuat suatu usaha
demi sebuah pencerahan. Salah satu usahanya adalah al-Kindi memperkenalkan
filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima
kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada tempatnya
malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui
kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu
sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan martabat orang yang
menerimanya.[10]
Kemudian ia Mengarahkan filsafat muslim ke
arah kesesuaian antara filsafat dan agama melalui perpaduan antara akal dan
agama. Kalau di gariskan maka, filsafat berlandaskan akal sedangkan agama
berdasarkan wahyu. Logika (mantiq) merupakan metode filsafat sedang iman
merupakan kepercayaan kepada hakikat yang disebutkan dalam Al-Qur’an
sebagaimana diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya.
Ia
juga menselaraskan antara filsafat dan agama yang didasarkan pada tiga alasan:
pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. Kedua, wahyu yang
diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian. Ketiga,
menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama.[11]
Filsafat
merupakan pengetahuan tentang hakikat segala suatu, dan ini mengandung teologi
(al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang
bermanfaat. Kebanyakan definisi filsafat al-Kindi dikumpulkan dari karya-karya
Aristoteles dan kesukaannya kepada Aristoteles tidak bisa di abaikan. Bahkan,
ketika ia meringkas dari sumber-sumber lain yang secara keliru, ia menisbahkan
pula kepada Aristoteles. Subjek dan susunanya sesuai benar dengan sumber
Neopolitik. Pada definisi pertama, Tuhan disebut ”Sebab pertama” mirip dengan
”Agen Pertamanya” Plotinus, suatu ungkapan yang juga digunakan al-Kindi atau
dengan istilahnya ”Yang Esa adalah sebab dari segala sebab”. Definisi-definisi
berikutnya dalam Risalah al-Kindi dikemukakan susunanya yang membedakan
antara alam atas dan alam bawah. Yang pertama ditandai dengan definisi-definisi
akal, alam, dan jiwa, diikuti dengan definisi-definisi yang menandai alam
bawah, dimulai dengan definisi badan (jism), penciptaan (ibda’), materi
(hayula), bentuk (shurah).[12] Dari dasar pemikiran al-kindi akhirnya timbullah
pemikiran Filsafatnya antara lain:
a. Filsafat Ketuhanan
Filsafat Ketuhanan al-Kindi merupakan
awal lahirnya perbincangan Ketuhanan, namun penafsiran al-Kindi mengenai Tuhan
sangat berbeda dengan pendapat Aristoteles, Plato dan Plotinius. Mengenai
hakikat ke-Tuhanan ia mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang Esa, tidak ada
sesuatu benda apapun yang menyerupai akan Tuhan, dan Tuhan tidaklah melahirkan
ataupun dilahirkan, akan tetapi Tuhan akan selalu hidup dan tidak akan pernah
mati.
Dalam Islam Sang Khalik atau pencipta dan
penguasa segalanya di buat sebuah penamaan yakni ”Allah Swt” bukti yang paling
kongkrit bahwa Allah swt itu ada dan hidup kekal selamanya, sedangkan manusia
adalah Hamba Allah yang diberikan kehidupan hingga akhirnya mati. Bagaimana
kita bisa percaya akan adanya Allah Swt, maka dari itu sebagai manusia biasa
diberikan akal, hati dan nurani untuk dapat menyakini adanya Allah swt melalui
bukti-bukti kekuasaan Allah Swt.
Agar manusia khususnya umat Islam tidak
berselisih paham akan keberadaan Allah Swt, tentang keberadaan alam, ataupun
keberadaan manusia itu sendiri, maka sebagai seorang filosof, al-Kindi membagi
pengetahuan menjadi dua bahagian, yakni: pertama, pengetahuan Ilahi علم الهي (divine science).
Pengetahun ini diambil langsung dari yang tercantum dalam al-Qur-an yaitu
pengetahuan yang langsung diperoleh Nabi dari Tuhan. Sedangkan dasar dari
pengetahuan ini adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi علم إنسانى (human science) atau
falsafat. Dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason).
Argumen-argumen yang dibawa Qur’an lebih
meyakinkan daripada argumen-argumen yang ditimbulkan falsafat. Tetapi falsafat
dan Qur’an tidak bertentangan dengan kebenaran yang di bawa falsafat.
Mempelajari filsafat dan berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah
bahagian dari filsafat, dan umat Islam diwajibkan belajar teologi.[13]
Kebenaran yang sesungguhnya hanya pada Allah
Swt. Apa yang terlintas di akal hingga terjadi dengan sendirinya di luar akal
merupakan sebuah hikmah dalam kehidupan yang mesti kita sadari bahwa terkadang
suatu pelajaran sudah kita anggap benar namun akhirnya menjadi sebaliknya. Akhirnya
semua akan kembali kepada al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk bagi kehidupan
manusia. Apa yang dinyatakan dalam al-Qur’an semuanya mengandung hikmah dan
pelajaran bagi seorang insan yang mau berpikir.
Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai
hakekat dalam arti ’aniah atau mahiah. Tidak ’aniah karena Tuhan tidak termasuk
dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak
tersusun dari materi dan bentuk, kemudian tuhan tidak mempunyai hakekat dalam
bentuk mahiah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya
satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah tunggal, selain dari
Tuhan semuanya mempunyai arti banyak.[14]
Agar
dapat memahami penafsiran al-Kindi tentang Tuhan, kita mesti merujuk pada kaum
Tradisionalis dan Mu’tazilah. Kaum tradisionalis (Ibn Hanbal adalah salah
seorang tokohnya) menafsirkan sifat-sifat Allah dengan nama-nama Allah, mereka
menerima makna harfiyah al-Qur’an tanpa memberikan penafsiran lebih jauh. Kaum
Mu’tazilah yang semasa dengan al-Kindi, secara akal menafsirkan sifat-sifat
Allah demi memantapkan sifat Maha Esa-Nya.
Walaupun al-Kindi sepaham dengan Muktazilah
dalam menafikan sifat dari Zat Allah. Akan tetapi, ketika Muktazilah menyatakan
bahwa Tuhan itu mengetahui dengan Ilmu-Nya dan Ilmu-Nya adalah Zat-Nya (’Alim
bi’ilm wa ’ilmuh zatuh) berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaa-Nya adalah
Zat-Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh zaituh) al-Kindi tidak sepaham dengan
pandangan ini. [15] Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi
al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak Pertama sebagai pendapat
Aristoteles.[16]
b.
Filsafat Alam
Mengenai alam, al-Kindi berbeda pendapat juga
dengan para filosof seperti Aristoteles Plato, dan lainnya yang sebelum dia
dengan mengatakan ”alam ini kekal”, sedangkan al-Kindi mengatakan ”alam ini tak
kekal”. Dalam hal ini ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas
gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Dengan ketentuan ini, setiap
benda yang terdiri atas materi dan bentuk yang tak terbatas ruang dan bergerak
di dalam waktu, adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia.
Karena terbatas, ia tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[17]
Al-Kindi juga mengatakan alam bukan kekal di
zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan. Karena itu ia lebih dekat
dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu
adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah
emanasi dari Yang Maha Satu. Tetapi paham emanasi ini kelihatannya tidak jelas
dalam falsafat al-Kindi. Al-Farabiyah yang dengan jelas menulis tentang hal
itu.[18]
Menurut al-kindi alam ini termasuk makhluk
yang sifatnya baharu, sebagai bukti dari baharunya alam ia mengemukakan
beberapa argumen, antara lain: pertama, semua benda yang homogen, yang tiada
padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar. Kedua, jarak antara
ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam
aktualitas dan potensialitas. Ketiga, benda-benda yang mempunyai batas tidak
bisa tidak mempunyai batas. Keempat, jika salah satu dari dua benda yang sama
besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi
tidak sama besar. Kelima, jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih
kecil daripada benda semula. Keenam, jika satu bagian diambil dari sebuah
benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama
seperti semula. Ketujuh, tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak
mempunyai batas. Kedelapan, jika benda-benda yang homogen yang semuanya
mempunyai batas ditambahkan ber sama, maka jumlahnya juga akan terbatas.[19]
Kesimpulan
dari ungkapan al-Kindi atas ungkapannya di atas adalah alam semesta ini
pastilah terbatas, oleh sebab itu ia menolak pandangan Aristoteles yang
mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau qadim. Mengenai keteraturan
alam dan perdaran alam ini sebagai bukti adanya Tuhan, sedangkan alam adalah
buatan Tuhan.
c.
Filsafat Jiwa dan Akal
Mengenai jiwa dan akal, al-Kindi juga
membantah pendapat Aristoteles. Para filosof muslim menamakan jiwa (al-nafs)
seperti yang diistilahkan dalam al-Qur’an yaitu, al-ruh. Kemudian kata ruh ini
di indonesiakan menjadi tiga bentuk, pertama nafsu yaitu dorongan untuk
melakukan perbuatan yang diingini, jika keinginan ini berbentuk negatif maka
nafsu ini mendekati dengan hawa, jadi kalau digabungkan menjadi hawa nafsu (keinginan
yang jelek). Kedua nafas yaitu suatu alat pencernaan udara sebagai tanda
kehidupan seseorang. Ketiga roh atau jiwa yaitu suatu zat yang tidak bisa
dirangkaikan bentuknya. Karena al-Qur’an telah menginformasikan bahwa manusia
tidak akan mengetahui akan hakikat roh, roh adalah urusan Allah bukan urusan
manusia.
Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa
alat untuk berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang
terlahir ia akan membawa potensi masing-masing dari akal yang dimilikinya,
semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia akan mendapatkan pengetahuan,
maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang banyak berpikir dengan akalnya
untu menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang yang hanya menerima hasil
dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara seorang yang
berpengetahuan dengan yang tidak
Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat
Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun
dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi adalah badan dan bentuk adalah jiwa
manusia. Hubungan dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi.
Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu
pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa berwujud tanpa bentuk atau jiwa.
Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form
bagi badan. Form tidak bisa terwujud tanpa materi, keduanya membentuk satu
kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa.
Dalam hal ini al-Kindi sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa kesatuan
jiwa dan badan adalah kesatuan Acciden, binasanya badan tidak membawa binasa
pada jiwa. Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa
berasal dari alam ide.
Menurut al-Kindi roh tidak tersusun
(basiithah, simple, sederhana) tetapi mempunyai arti penting, sempurna
dan mulia. Substansinya (jawahara) berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya
dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Hanya roh yang sudah
suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor
dan beluim bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di
sana, baru pindah ke Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat
hingga akhirnya, setelah benar-benar bersih, sampai ke alam akal, dalam
lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.[20]
Mengenai
akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles membedakan
akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima
pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini
dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual,
kekal, dan takkan rusak. Berbeda halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam
empat macam; pertama: akal yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara
potensial berada di dalam roh, ketiga: akal yang telah berubah, di dalam roh,
dari daya menjadi aktual, keempat; akal yang kita sebut akal kedua. Yang
dimaksudkan dengan akal ”kedua” yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang
hanya memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya.[21]
Dinyatakan lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang
bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekurangan
yasng menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-Kindi ada lagi
satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bermakna: akal
yang selamanya dalam aktualitas (al’aqlu ladzi bil fa’il abadan). Akal ini,
karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat potensial
dalam roh manusia menjadi aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut menjadi ’akil
(’akal) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal
yang di luar itu (idza uktisab hadzal ’aklul kharaji). Akal yang selalu
bertindak (akal pertama) bagi al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia
adalah universals (al-kuliyat mutakatsarah). Dalam limpahan dari Yang Maha
Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (awwalu
muktatsar).[22]
C. Kesimpulann
Al-Kindi,
adalah seorang filosof yang berusaha mempertemukan agama dengan filsafat.
Ia berupaya membuktikan bahwa berfilsafat tidak dilarang. Meski Al-Kindi
terpengaruh pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles dan memperlihatkan corak
pitagorasme, namun dalam beberapa hal Al-Kindi tidak sependapat dengan para
filosof Yunani mengenai hal-hal yang dirasakakn bertentangan dengan ajaran
islam yang diyakininya.
Sebagai filosof islam
pertama yang menyelaraskan agama dengan filsafat, ia telah melicinkan jalan
bagi filosof sesudahnya, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
No comments:
Post a Comment