BAB I
PENDAHULUAN
Kebudayaan Islam periode Nabi Muhammad SAW terbagi menjadi dua
periode, yakni periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah dimulai
dengan diangkatnya Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul dan mendapatkan wahyu dari
Allah SWT yang isinya menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah SWT yaitu
menegakkan Tauhid dan dasar-dasar Islam. Namun hal tersebut mendapat tantangan
yang besar dari kalangan kaum Quraisy.[1]
Karena pada masa itu kaum Quraisy mempunyai
sesembahan lain yaitu berhala-berhala yang dibuat oleh mereka
sendiri. Karena keadaan yang demikian itulah, dakwah pertama yang dilakukan di
Makkah dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terlebih karena jumlah orang yang
masuk Islam sangat sedikit. Keadaan ini berubah ketika jumlah orang yang
memeluk Islam semakin hari semakin banyak, Allah SWT pun memerintahkan Nabi
Muhammad SAW untuk melakukan dakwah secara terang-terangan.
Bertambahnya penganut agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, membuat
kaum Quraisy menjadi gelisah dan terancam. Karena hal inilah mereka berusaha
dengan semaksimal mungkin mengganggu dan menghentikan dakwah tersebut. Dengan
cara diplomasi dan kekerasan yang mereka lakukan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta para sahabatnya.
Akibat kekerasan yang dilakukan oleh kaum Quraisy maka Allah SWT
memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk berhijrah ke Madinah. Pada periode
Madinah inilah babak kemajuan Islam dimulai. Pada periode ini Nabi Muhammad SAW
berhasil membangun dan membina masyarakat Islam yang kuat.
Berdasarkan uraian diatas maka dalam makalah ini penulis akan
membahas tentang Peradaban Islam Rasulullah SAW Periode Madinah (622-632 M ) serta
kajian-kajian lain yang berkaitan tentangnya
B.Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin diajukan
penulis pada makalah ini yaitu :
1. Apa Arti Hijrah Nabi ke Madinah?
2. Bagaimana Dasar Berpolitik Negeri
Madinah?
3.
Apa Saja Isi dari Perjanjian Piagam Madinah?
C. MANFAAT PENULISAN
1. Menjadibahantambahanuntukperkuliahanmahasiswadandosenpengajar
2. SebagailiteraturmaterikhususPeradaban Islam Rasulullah Periode Madinah
3. Bermanfaatbagipembacadanmemberipengetahuan tentang sejarah kebudayaan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Arti Hijrah Nabi ke Madinah
Hijrah menurut bahasa berasal dari bahasa latin yaitu ”hegira” dan
dikenal dalam bahasa arab هجر- يهجر- هجرة yang berarti memutuskan hubungan
dengan orang lain. Dari pengertian menurut bahasa tersebut dapat dipahami bahwa
hijrah pada dasarnya dimaksudkan untuk menyingkirkan diri dari
tindakan-tindakan dan teror yang bersifat fisik yang dapat mencelakan diri
sendiri.
Sementara itu Philip K. Hitti mengemukakan bahwa hijrah menurut
istilah adalah akhir periode mekkah dan awal dimulainya periode madinah yang
merupakan kebalikan dari hidup Nabi Muhammad saw. Dia meninggalkan kota besar
tempatnya dilahirkan dan dibesarkan karena sangat meremehkannya, kemudian ia
masuk kota besar yang mengangkatnya sebagai seorang pemimpin yang terhormat.
Sementara hijrah menurut Nurcholis Madjid adalah tekad dalam meninggalkan
kepalsuan, pindah sepenuhnya kepada kebenaran, dengan kesediaan untuk berkorban
dan menderita, kerena keyakinan kemenangan terakhir akan dianugrahkan Allah kepada
pejuang kebenaran itu.[2]
Jadi pengertian hijrah dalam hal ini menyangkut aspek spiritual dan
kejiwaan, yakni suatu tekad yang tidak mengenal kalah dalam menegakkan
kebenaran. Selama 13 tahun hidup di kota Mekkah. Nabi Muhammad saw Serta para
pengikutnya sering mengalami cobaan besar dan siksaan yang sangat pedih,
disamping itu hak kemerdekaan mereka dirampas, mereka diusir dan harta benda
mereka disita. Siksaan pedih berupa dera cambuk sangat meresahkan para sahabat
dan kaum muslimin pada umumnya.Tekanan yang sangat dahsyat dialami Rasulullah
beserta pengikutnya selama menyampaikan dakwah demi tersebarnya risalah tauhid
di tengah-tengah kaum kafir Quraisy.
Namun ancaman dan tindakan kekerasan yang dialami Nabi Muhammad saw
tersebut masih bisa dilalui dengan penuh kesabaran dan keteguhan iman. Tekanan
itu baru dirasakan sangat meresahkan bagi Nabi Muhammad saw. Setelah Khadijah,
istri Nabi Muhammad saw meninggal dunia, dirinya telah kehilangan istri
tercinta tempat curahan kasih sayangnya. Kesedihan itu kembali bertambah
setelah tidak lama berselang paman Rasulullah saw yaitu Abu Thalib juga
bepulang ke rahmatullah. Kematian Abu Thalib ini menyebabkan Nabi Muhammad saw
telah kehilangan pelindung setia yang senantiasa melindunginya dari berbagai
macam ancaman. Kepergian Abu Thalib untuk selama-lamanya ini telah memberi
peluang kepada kaum kafir Quraisy untuk tidak segan-segan melakukan tindakan
kekerasan kepada Rasulullah saw berserta para pengikutnya.
Kaum musyrikin Quraisy semakin gila melancarkan intimidasi terhadap
kaum muslimin. Pada tahun kenabian yang ke-13 di mana pada waktu itu bertepatan
dengan tahun 622 M, jamaah Yastrib datang kembali ke kota Mekkah untuk
melaksanakan ibadah haji. Jamaah tersebut berjumlah sekitar 73 orang. Setibanya
di kota Mekkah mereka menemui Nabi Muhammad SAW dan atas nama penduduk Yastrib
mereka menyampaikan pesan untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW[3]. Pesan itu berupa permintaan masyarakat Yastrib
agar Nabi Muhammad SAW bersedia datang ke kota Mekkah memberikan penerangan
tentang ajaran Islam dan sebagainya. Permohonan itu dikabulkan Nabi Muhammad
SAW dan beliau menyatakan kesediaannya untuk datang dan berdakwa di sana. Untuk
memperkuat kesepakatan itu, mereka mengadakan perjanjian kembali di Bukit
Aqabah atau yang dikenal dengan perjanjian Aqabah ke II.[4]
Adapun isi perjanjian Aqabah ke II ini adalah :
1.
Penduduk
Yastrib siap dan bersedia melindungi Nabi Muhammad SAW.
2.
Penduduk
Yastrib ikut berjuang dalam membela Islam dengan harta dan jiwa.
3.
Penduduk
Yastrib ikut berusaha memajukan Agama Islam dan menyiarkan kepada sanak saudara
mereka.
4.
Penduduk
Yastrib siap menerima segala resiko dan tantangan.
Dengan keputusan tersebut maka terbukalah dihadapan Nabi Muhammad
SAW harapan baru untuk memperoleh kemenangan karena telah mendapat jaminan
bantuan dan perlindungan dari masyarakat Yastrib. Hal ini membuat Nabi Muhammad
saw segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yastrib. Dalam waktu
dua bulan hampir semua kaum muslimin sekitar 150 orang telah meninggalkan kota
Mekkah.
Dalam perjalanan ke Yastrib Nabi ditemani Abu Bakar. Ketika tiba di
Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar 5 km dari Yastrib, Nabi beristirahat
beberapa hari lamanya. Dia menginap di rumah Kalsum bin Hindun. Di halaman
rumah inilah Nabi Membangun sebuah Masjid. Inilah Masjid pertama yang dibangun
Nabi, sebagai pusat peribadatan yang dikenal sebagai Masjid Quba.[5]
Tak lama kemudian, waktu yang mereka tunggu itu tiba. Nabi memasuki
kota Yastrib dan penduduk kota sangat bergembira. Sejak itu, sebagai
penghormatan terhadap Nabi, nama kota Yastrib diubah menjadi Madinatul
Nabi (kota Nabi) atau yang sering disebut Madinatul
Munawarah (Kota yang Bercahaya), karena dari sanalah sinar Islam
memancar ke seluruh dunia.
Menurut al-Faruqi bahwa yang melatar belakangi hijrah Rasulullah
saw ke Madinah adalah gerakan untuk mencari keselamatan. Dan ini merupakan
upaya untuk mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai titik tolak bagi
perkembangan keimanan baru sekaligus untuk menata ulang masyarakat muslim, baik
sebagai tatanan sosial maupun Negara. Hal tersebut dipertegas oleh Abdullah
al-Hatib, bahwa hijrah selain penghindaran dari fitnah dan cobaan, juga
untuk menjalin ikatan yang kuat, menghimpun kekuatan, memperoleh daerah
strategis untuk membentuk suatu kekuatan politik.[6]
Sedangkan menurut Ali Syariati bahwa hal lain yang mendorong
hijranya Nabi Muhammad saw. Dan kaum Muslimin ke Madinah, Pertama, mengembangkan
dan menyebarluaskan pemikiran dan Aqidah ke wilayah-wilayah lain dalam rangka
menunaikan tugas risalah kemanusiaan yang universal, serta melaksanakan
tanggung jawab dalam rangka menyadarkan, membebaskan dan menyelamatkan umat
manusia dari kehancuran aqidah. Kedua, mengaharapkan
tercapainya kemungkinan-kemungkinan baru dan ditemukannya lingkungan yang
mendukung perjuagan di luar wilayah sosial-politik yang zalim, guna melakukan
perjuangan menentang kezaliman tersebut.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat dipahami bahwa latar belakang
hijranya Rasulullah saw. Beserta kaum muslimin tidak lain adalah untuk
menyelamatkan diri dan juga juga menyelamatkan Agama tauhid, risalah kebenaran
yang sedang berada dalam tanggung jawabnya. Hijrah tersebut bukan berarti lari
dari tanggung jawab karena tidak tahan menerima tantangan, melainkan hijrah itu
itu dilakukan, semata-mata untuk mencari tempat yang kondusif untuk selanjutnya
menyusun kekuatan baru demi tercapainya kemenangan yang diharapkan.
2. Dasar Berpolitik Negri Madinah
Setelah tiba dan diterima penduduk Yastrib (Madinah), Nabi resmi
menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai.
Berbeda dengan periode Makkah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan
politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun
di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama
tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkukmpul
dua kekuasaan yaitu, Kekuasaan Spiritual dan Kekuasaan Duniawi. Kedudukannya
sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala negara.[7]
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan Negara baru itu, beliau segera
meletakkan dasar-dasar kehidupan bermayarakat. Dasar-dasar tersebut ialah :
A.Pembangunan Masjid
Tujuan dari pembangunan Masjid ialah bukan hanya sebagai tempat
ibadah dan dakwah Islam, tetapi juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan
kaum Muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat
bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Masjid pada Nabi juga
berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
B.Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Anshar (Ukhuwwah
Islamiyyah)
Nabi mempersaudarakan antara golongan orang-orang yng hijrah
dari Makkah ke Madinah (Kaum Muhajirin) dengan penduduk Madinah yang
sudah masuk Islam (Kaum Anshar). Dengan demikian diharapkan, setiap
muslim merasa terikat dalam satu persaudaraan dan kekeluargaan.
C.Menciptakan Perdamaian Antar Suku
Hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama
Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan
Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar
stabilitas masyarakat dapat terwujudkan, Nabi Muhammad mengadakan perjanjian
dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang
Yahudi sebagai komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak
tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin dan
seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negri itu dari
serangan luar.
Dari hal tersebut jelas disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw menjadi kepala
pemerintahan karena sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas
mutlak diberikan kepada beliau. Dalam bidang sosial, dia juga meletakkan dasar
persamaan antar sesama manusia. Dalam pandangan ketatanegaraan sering disebut
dengan Konstitusi Madinah.[8]
Dalam menjalankan roda pemerintahan Nabi Muhammad saw. Sebagai kepala Negara
menggunakan perinsip keadilan yang harus dijalankan kepada setiap penduduk
tanpa pandang bulu. Nabi juga menerapkan prinsip musyawarah untuk memecahkan
segala macam persoalan. Selain itu, Nabi Muhammad saw. tidak hanya
mengakomodasi kepentingan kaum muslimin, melainkan juga kaum Yahudi dan
mempersatukan kedua ummat yang serumpun itu di bawah kepemimpinannya. Nabi juga
bertindak sebagai hakim yang mengadili perkara-perkara yang terjadi di tengah
masyarakat. Untuk mengadili pelanggaran ketertiban umum, Nabi Muhammad saw.
membentuk lembaga hisbah yang bertugas melakukan ketertiban atas perilaku
perdagangan di pasar-pasar. Tidak sebatas itu saja, Nabi juga mengelola zakat,
pajak dan ghanimah untuk kesejahteraan penduduk.
Sementara itu untuk pemerintahan daerah, Nabi Muhammad saw.
mengangkat para gubernur atau hakim. Salah satu diantaranya adalah mengangkat
Muadz bin Jabal menjadi gubernur di Yaman. Sedangkan untuk memperlancar
tugas-tugas kenegaranaan, Nabi Muhammad saw. dibantu oleh beberapa orang
sekretaris seperti Zaid bin Tsabit dan Ali bin Abi Thalib. Dalam hubungan
internasional, Nabi menjalankan hubungan diplomatik dengan Negara-negara
sahabat. Ia mengirim surat dakwah kepada kepala Negara lain, diantaranya adalah
Persia, Abbessinnia, Oman, Yamamah, Bahrain, Syam dan Yaman. Hal ini merupakan
langkah untuk menjalin hubungan diplomatik secara damai.[9]
Dari berbagai pernyataan di atas membuktikan bahwa Nabi Muhammad
saw. dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin agama dan juga kepala Negara
telah menjalankan pola pendelegasian wewenang dan kehidupan berkonstitusi.
Negara Madinah dibangun dengan tatanan sosial politik tidak dengan kemauan
pribadi, melainkan secara bersama-sama serta tidak atas prinsip-prinsip ad hoc
(sementara) yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan
oleh prinsip yang dilembagakan dalam sebuah dokumen kesepakatan semua anggota
masyarakat, yaitu konstitusi.[10]
Dengan demikian negara yang didirikan Nabi Muhammad saw di Madinah
tidak hanya membuktikan bahwa Rasulullah saw. Memang seorang negarawan, ahli
politik dan ekonomi, tetapi juga sekaligus mematahkan tuduhan Barat bahwa Islam
anti demokrasi. Sebab sebelum Negara demokrasi menemukan bentuknya di Barat,
Rasulullah saw. justru telah meletakkan dasar-dasar demokrasi yang sanggup
menjawab kebutuhan bermasyarakat dan bernegara.
3. Piagam Madinah Darussalam dan Darul islam[11]
Piagam Madinah disepakati tidak lama sesudah umat muslim pindah ke
Yatsrib yang waktu itu masih tinggi rasa kesukuannya. Piagam Madinah
diakui sebagai bentuk perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun
masyarakat Madinah yang plural, adil, dan berkeadaban. Di mata para sejarahwan
dan sosiolog ternama Barat, Robert N. Bellah, Piagam Madinah yang disusun
Rasulullah saw itu dinilai sebagai konstitusi termodern di zamannya, atau
konstitusi pertama di dunia.
Dalam piagam Madinah setiap kelompok menyepakati 5 perjanjian :
1.
Tiap kelompok
dijamin kebebasan dalam beragama;
2.
Tiap kelompok
berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah;
3.
Tiap kelompok
harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah baik yang muslim
maupun yang non muslim;
4.
Penduduk
Madinah semuanya sepakat mengangkat Muhammad SAW sebagai pemimpinnya dan
memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan kepadanya;
5.
Meletakkan
landasan berpolitik, ekonomi dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru
dibentuk. Sementara perekonomian Madinah dikuasai oleh orang Yahudi yang
terkenal mahir dalam melakukan aktivitas perekonomian. Kebijakan tersebut di
antaranya melarang riba, gharar, ihtikar dan tadlis.
Adapun Piagam Madinah itu mempunyai arti tersendiri bagi semua
penduduk Madinah dari masing-masing golongan yang berbeda. Bagi Nabi Muhammad,
maka Ia diakui sebagai pemimpin yang mempunyai kekuasaan politis. Bila terjadi
sengketa di antara penduduk Madinah maka keputusannya harus dikembalikan kepada
keputusan Allah dan kebijaksanaan Rasul-Nya. Pasal ini menetapkan wewenang pada
Nabi untuk menengahi dan memutuskan segala perbedaan pendapat dan permusuhan
yang timbul di antara mereka.
Hal ini sesungguhnya telah lama diharapkan penduduk Madinah,
khususnya golongan Arab, sehingga kedatangan Nabi dapat mereka terima. Harapan
ini tercermin di dalam Baitul Aqabah I dan II yang mengakui Muhammad sebagai
pemimpin mereka dan mengharapkan peranannya di dalam mempersatukan Madinah.
Sedangkan bagi umat Islam, khususnya kaum Muhajirin, Piagam Madinah
semakin memantapkan kedudukan mereka. Bersatunya penduduk Madinah di dalam
suatu kesatuan politik membuat keamanan mereka lebih terjamin dari gangguan
kaum kafir Quraisy. Suasana yang lebih aman membuat mereka lebih berkonsentrasi
untuk mendakwahkan Islam. Terbukti Islam berkembang subur di Madinah ini.
Bagi penduduk Madinah pada umumnya, dengan adanya kesepakatan
piagam Madinah, menciptakan suasana baru yang menghilangkan atau memperkecil
pertentangan antar suku. Kebebasan beragama juga telah mendapatkan jaminan bagi
semua golongan. Yang lebih ditekankan adalah kerjasama dan persamaan hak dan
kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik di dalam mewujudkan
pertahanan dan perdamaian.
Piagam Madinah ternyata mampu mengubah eksistensi orang-orang
mukmin dan yang lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi masyarakat
politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik
dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama, bekerjasama dalam
kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka, yang bebas dari pengaruh dan
penguasaan masyarakat lain dan mampu mewujudkan kehendak mereka sendiri.
Muhammad Jad Maula Bey, dalam bukunya “Muhammad al-Matsalul
Kamil” menyimpulkan, bahwa di dalam waktu yang relatif pendek tersebut Nabi
telah sukses menciptakan tiga pekerjaan besar, yaitu:[12]
a.
Membentuk suatu
umat yang menjadi umat yang terbaik
b.
Mendirikan
suatu “negara” yang bernama Negara Islam; dan
c.
Mengajarkan
suatu agama, yaitu agama Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hijrah memiliki makna yang lebih jauh dari sekedar berpindah, ia
adalah strategi dakwah, ketaatan atas perintah Allah SWT, pengorbanan harta dan
kecintaan terhadap tanah air sehingga dengan mudah pula kita menyimpulkan bahwa
peristiwa berpindahnya Nabi Muhammad Saw. dari Makkah ke Madinah bukan sekedar
pindah karena lantaran terusir dan terancam oleh kafir Quraisy tetapi ia adalah
gambaran ketaatan hamba kepada pencipta-Nya dan gambaran kebenaran janji Allah
SWT atas orang beriman yang mau bersabar dengan mengorbankan harta, bahkan jiwa
yang mereka miliki, lalu Allah SWT membalasnya dengan kemenangan dan kemuliaan.
Dasar berpolitik negeri Madinah adalah prinsip keadilan yang harus
dijalankan kepada setiap penduduk tanpa pandang bulu. Dalam perinsip keadilan
diakui adanya kesamaan derajat antaramanusia yang satu dengan manusia yang
lain, yang membedakan di antara mereka hanyalah taqwa kepada Allah. Yang lain
adalah prinsip musyawarah untuk memecahkan segala persoalan dengan dalil
al-Qur’an “ Dan bermusyawarahlah di antara mereka dalam suatu urusan”(Q.S.
al-Syura,42:38).
Seluruh warga negara, Muslim maupun Non Muslim berkedudukan sama di
hadapan hukum, memiliki hak dan kewajiban yang sama dan adil tanpa ada
diskriminasi. Mereka juga berkewajiban menjaga stabilitas negara secara bersama-sama,
tidak bebas membentuk kelompok atau bekerjasama/berkonspirasi dengan komunitas
lain, tanpa perkenan dari Rasul saw sebagai kepala negara. Merekapun tidak
boleh keluar dari Madinah tanpa ijin Rasulullah saw. Menurut piagam Madinah
itu, kekuasaan ada ditangan Rasul dan kaum muslim. Karena komunitas kaum
musyrik dan komunitas kaum Yahudi justru tunduk kepada Rasulullah saw sebagai
kepala Negara Islam Madinah.
Dalam piagam Madinah setiap kelompok menyepakati 5 perjanjian :
1.
Tiap kelompok
dijamin kebebasan dalam beragama;
2.
Tiap kelompok
berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah;
3.
Tiap kelompok
harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah baik yang muslim
maupun yang non muslim;
4.
Penduduk
Madinah semuanya sepakat mengangkat Muhammad SAW sebagai pemimpinnya dan
memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan kepadanya;
5.
Meletakkan
landasan berpolitik, ekonomi dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru
dibentuk. Sementara perekonomian Madinah dikuasai oleh orang Yahudi yang terkenal
mahir dalam melakukan aktivitas perekonomian. Kebijakan tersebut di antaranya
melarang riba, gharar, ihtikar, dan tadlis.
B. Saran
1.
Bagi
kita dan generasi akan datang sudah sepatutnya untuk Memahami, memecahkan dan
menelaah secara kritis dan rasional tentang berbagai fenomena sejarah
kebudayaan islam yang terjadi di Dunia.
2.
Kepada
para pembaca jika ingin lebih mengetahui tentang bahasan ini bisa membaca buku
atau media internet yang memuat tentang PembelajaranPeradaban Islam Rasulullah Periode
Madinah (622-632 M).
DAFTAR PUSTKA
Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Jilid 2, Jakarta, Pustaka Alhusna, 1983)
Yatim
Badri, Sejarah Peradaban Islam, PT: Gravindo Persada : 2003
http://ariyantiputri7.blogspot.co.id/2015/10/peradaban-islam-rasulullah-periode.
Harun
Nasution,: Filsafat Pendidikan Islam 1982 Jakarta
Harun
Nasution,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, (Jakarta:
UI Press, 1985, cetakan ke lima),
Sunanto
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta Timur, Penada Media:
2003
Abdul
Muk’in Majid, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka, Bandung,
1997
[1] Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Jilid 2, Jakarta, Pustaka Alhusna, 1983) hlm 45-47
[2]http://inayahrii.blogspot.co.id/2012/12/peradaban-islam-rosulullah-periode.html
(blog,dibuat tgl 25 desember 2012) kamis 08 oktober 2015, pukul 12:20
[3] Yatim
Badri, Sejarah Peradaban Islam, PT: Gravindo Persada : 2003
hlm 24-28
[4]http://gifaranti.blogspot.co.id/2014/06/makalah-perkembangan-islam-periode_1.html (blog
dibuat minggu 01 juni 2014) diakses kamis, 08 oktober 2015 pukul 12:26
[5] Ibid hlm 80
[6]Harun
Nasution,: Filsafat Pendidikan Islam 1982 Jakarta.hlm 152
[7]Harun Nasution,Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid 1, (Jakarta: UI Press, 1985,
cetakan ke lima), hlm. 101
[8]Opcit hlm 27
[9] Sunanto
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta Timur, Penada Media:
2003 hlm 52
[10] 0pcit 30
[11]Abdul Muk’in
Majid, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka, Bandung, 1997,
hlm.14
[12]http://meyistiana20.blogspot.co.id/2013/05/hijrah-rasulullah-periode-makkah-622-632.html ( blog
dibuat pada selasa 08 mei 2013) diakses kamis 08 oktober 2015 pukul 12:48
No comments:
Post a Comment