Search This Blog

sponsor

Monday, May 14, 2018

Dinasti Umayah


BAB I
PENDAHULUAN
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasaan yang berpola Dinasti atau kekerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan musyawarah aka terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti˗dinasti yang berkembang sesudahnya.
Dinasi Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij­ (keompok yang membangkang dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun tapuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinannya kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661M / 41 H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan umat Islam menjadi satu kepemimpinan , namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam.[1]





BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah
1.1.   Asal Mula Dinasti Bani Umayyah.
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdu Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra. Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayyah selalu bersaing dengan Pamannya yaitu Hasyim bin Abdu Manaf dalam  memperebutkan kekuasaan dan kedudukan[2]. Sesudah datang Agama Islam  persaingan yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh, sebaliknya Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau yang belum.
Nama Dinasti Bani Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd Al- Syam, kakek Abu Sofyan.  Sedangkan Muawiyah bin Abi Sofyan berasal dari keturunan Bani Umayyah , yang berasal dari suku Quraisy[3].
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman  pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M, saat khalifah Utsman bin Affan membaca Al-qur’an. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan dianggap terlalu Nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Awal kedaulatan bagi Dinasti Bani Umayyah adalah sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan, lalu dipimpin kholifah Ali bin Abi Thalib, dan Hasan bin Ali. Barulah Dinasti Bani Umayyah muncul, dengan dipimpin oleh khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan yang dulunya gubenur Syam dan tampil sebagai pemimpin Islam yang kuat.
Sebelum Dinasti Bani Umayyah muncul sebagai khalifah. Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Kemudian mereka dan  para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tahun 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah, ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus dan Syiria, serta Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Khalifah Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Siffin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dengan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M. Ada peristiwa tahkim. Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, Muawiyah bin Abu Sufyan beserta sejumlah sahabat lainnya angkat bicara di hadapan manusia dan mendorong mereka agar menuntut darah Utsman dari orang-orang yang telah membunuhnya[4]
Beberapa saat setelah wafatnya khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib  sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidak punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Tetapi Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan pada waktu itu.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan. Sementara faktanya Utsman terbunuh oleh massa yang mengamuk karena kebijakannya mengganti gubernur Mesir dengan orang yang diduga saudara Utsman.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.
1.2. Usaha Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kuffah, oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia khalifah Ali bin Abi Thalib yaitu Syi’ah. Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib (Syi’ah) melakukan sumpah setia (bai’at) atas Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib.
Namun Hasan bin Ali sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin Negara (khalifah). Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Umayyah. Dialah tokoh pembangunan yang besar. Namanya disejajarkan dalam deretan Khulafaur Rasyidin. Bahkan kesalahanya yang menghianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat (demokrasi) dengan diganti sistem Monarchi[5], dapat dilupakan orang karena jasa-jasanya[6] dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan[7]. Mu’awiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib berdamai denganya pada tahun 41 H[8]. Umat Islam sebagianya membaiat Hasan setelah Ayahnya itu wafat. Namun, Hasan  menyadari kelemahanya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Mu’awiyah sehingga tahun itu dinamakan ‘amul jama’ah (Tahun Persatuan).
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah bin Abi Sufyan dengan syarat antara lain:
1.      Agar Muawiyah menyerahkan Harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2.      Agar Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
3.      Agar Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan bin Ali setiap tahun.
4.      Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdis Syams[9]
5.      Muawiyah tidak boleh menarik sesuatu apapun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya  seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Dengan demikian berdirilah Dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan Raja-Raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” (Musyawaroh) untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein bin Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ah yang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh.
Pola Pemerintahan Dinasti Umayyah
Dinasti Bani Umayyah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun (41- 132 H/661-750 M). Setelah Muawiyah memindahkan pusat pemerintahan dari kota Madinah (Kuffah ke Damaskus), maka pemerintahan Muawiyah berubah bentuk dari Demokrasi menjadi Monarchi (kerajaan/dinasti) hal ini berlaku semenjak ia mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota.
 Setelah Muawiyah meninggal dunia orang-orang keterunan Umayyah mengangkat Yazid bin Muawiyah menjadi Khalifah sebagai pengganti ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan Bani umayyah memakai sistim turun-temurun[10] sampai kepada Khalifah Marwan bin Muhammad. Marwan bin Muhammad[11] tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abas pada tahun 750 M. Dengan demikian berakhir Dinasti Bani Umayyah dan diganti oleh Dinasti Bani Abbasiyah setelah memerintah lebih kurang 90 tahun.
Adapun khalifah-khalifah terbesar Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sofyan  (661-680 M), Abd Al-Malik bin Marwan (685-750 M), Al-Walid bin Abdul Malik (705-715), Umar bin Abdul Azis (717-720 M), Hasyim bin Abdul Malik (720-743 M), puncak kejayaan Dinasti Bani Umayyah terjadi pada masa Umar bin Abdul Aziz (717-720 M), setelah itu merupakan masa keruntuhannya.
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazid bin Muawiyah[12]. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan/Dinasti dengan menunjuk. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga Raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-720 M).
Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa :
1.      Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2.      Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3.      Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4.      Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5.      Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.      Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7.      Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.      Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.      Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10.  Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11.  Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12.  Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13.  Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14.  Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M).
Para Sejarawan umumnya sependapat bahwa para khalifah terbesar dari Daulah Bani Umayyah adalah Mu’awiyah, Abdul Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.

Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah
Ekspansi/perluasan yang terhenti pada masa khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dilanjutkan kembali oleh Dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh kekhalifahan Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balakh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand[13]. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah  terkenal sebagai era yang agresif karena perhatian terpusat kepada perluasan wilayah, dan kemajuan besarpun hadir dengan berhasilnya perluasan wilayah tersebut.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Pada masa pemerintahannya yang berjalan  kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova[14]. Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Ghafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah[15].
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan, Pakistan, Purkmenia, dan Kirgiztan yang termasuk sovyet (Rusia). Sampai akhirnya Dinasti ini dijuluki Dinasti Adi Kuasa.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi[16],penaklukan militer di Zaman Umayyah mencakup 3 Front penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Front melawan bangsa Romawi di Asia Kecil dengan sasaran utama pengepungan ke Ibu kota Konstantinopel, dan penyerangan ke Pulau-pulau dilaut tengah.
Kedua, Front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga menyebrangi Selat Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, Front Timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah disebrang sungai jihun (Ammu Darya), sedangkan lainya ke arah selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian Barat.

Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi, teknologi, maupun sosial kebudayaan. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Dinasti Bani Umayyah didalam  pembangunan berbagai bidang antara lain:
Bidang Politik : Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru, untuk memenuhi tuntutsn perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat Majelis Penasehat sebagai pendamping, Khalifah Bani Umayyah dibantu oeh beberapa orang sekertaris untuk membantu pelaksanaan tugas, yang meliputi :
a.      Katib Ar-Rasa’il, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan para pembesar setempat.
b.      Katib Al-Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
c.      Katib Al-Jundi, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan berbagai hal yang berkaitan dengan ketentraman.
d.      Katib Asy-Syurtah, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
e.      Katib Al-Qudat, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat[17]
Bidang Sosial Budaya : Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antar bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisin yang luhur seperti ; Persia, Mesir, Eropa, dan sebagainya.     Hubungan tersebut lalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni dan ilmu pengetahuan. Di Bidang Seni terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah mencatat suatu pencapaian yang gemilang, seperti Home Of The Rock (Qubah Ash-Shakhra) di Yerussalem menjadi monumen terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya dikagumi orang. Perhatian terhadap seni sastra juga meningkat dizaman ini, terbukti dengan lahirnya tokoh-tokoh besar seperti Al-Ahtal, Farazdag, Jurair, dll.
Pada masa itu Abul Aswad Ad-Duali (w. 681 M/62 H) Ulama’ (Bukan Sahabat), menyusun gramatika Arab dengan memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak bertitik 9 (Wadi’un Nuqod ‘Alal Qulub). Usaha ini besar artinya dalam  mengembangkan dan memperluas bahasa Arab, serta memudahkan orang membaca, mempelajari, dan menjaga barisan yang menentukan gerak kata dan bunyi suara serta ayunan iramanya, hingga dapat diketahui maknanya. Kerajaan inipun telah mulai menempatkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dengan mementingkan buku-buku bahasa Yunani dan Kopti (Kristen Mesir)[18].
Sudah ada titiknya tapi masih banyak orang non-Arab yang masih belum bisa membaca, maka Imam Kholil bin Ahmad Al-Farohidi membuat Sakl, Fathah, kasroh, dhommah, fathahtein, sukun,dll, (w. 165 H).
Abu ‘Ubaid Qosim bin Salam (w. 224 H), membuat Tajwid.
Dalam Bidang Peradaban Dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang lebih luas ke arah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:
1.      Pengembangan Bahasa Arab.
Para Penguasa Dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai Daulah (Negara), kemudian dikuatkanya dan dikembangkanlah Bahasa Arab dalam wilayah Kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai Bahasa Resmi dalam tata usaha negara dan pemerintah sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia di daerah-daerah bekas jajahan mereka dan di Persia sendiri.
2.      Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu.
Dinasti Umayyah juga mendirikan sebuah Kota kecil sebagai pusat kegiatan IlmuPengetahuan dan Kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan Marbad, kota satelit dari Damaskus. Di Kota Marbad inilah berkumpul para pejangga, filsuf, ulama, penyair, dan cendikiawan lainya, sehingga kota ini diberi gelar Ukadz-nya Islam.
3.      Ilmu Qiraat.
Ilmu Qiraat adalah ilmu seni baca Al-Qur’an. Ilmu Qiraat merupakan ilmu Syariat tertua, yang telah dibina sejak Zaman Khulafaur Rasyidin. Kemudian pada Masa Dinasti Umayyah dikembangluaskan sehingga menjadi Cabang ilmu Syariat yang sangat penting. Pada masa ini lahir para Ahli Qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w. 120 H) dan Ashim bin Abi Nujud (w. 127 H).
4.      Ilmu Tafsir.
Untuk memahami Al-qur’an sebagai kitab Suci diperlukan interprestasi peahaman secara komprehensif.
5.      Ilmu Hadits.
Ketika Kaum Muslimin telah berusaha memahami Al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut Hadits. Oleh karena itu timbullah usaha untuk mengumpulkan Hadits, menyelidiki asal-usulnya, sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan Ilmu Hadits. Diantara para Ahli Hadits pada Masa Dinasti Umayyah adalah Al-Auzai Abdurrahman bin Amru (w. 159 H), Hasan Basri (w. 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil (w. 104 H).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memanggil salah satu orang yang bernama Shihabuddin Romahurmuuzi, untuk membuat ilmu yang digunakan untuk menyeleksi Hadits, namanya : ilmu Mustholahul Hadits,
6.      Ilmu Fiqh.
Setelah Islam menjadi Daulah, maka para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dan mengeluarkan Syariat dari kedua sumber tersebut untuk mengatur pemerintahan dan memimpin rakyat. Al-qur’an adalah dasar Fiqh Islam, dan pada zaman ini ilmu Fiqh telah menjadi satu cabang ilmu Syariat yang berdiri sendiri. Diantara ahli Fiqh yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
7.      Ilmu Nahwu.
Pada Masa Dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab, maka ilmu Nahwu sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula bertambahnya orang-orang Ajam (Non-Arab) yang masuk Islam, sehingga keberadaan Bahasa Arab sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dibukukanlah ilmu Nahwu dan berkembanglah satu cabang ilmu yang penting untuk mempelajari berbagai ilmu Agama Islam[19]
Contoh, membaca : Innallaha barii’um minal musyriki wa Rosuulih, (Salah), yang artinya: “sesungguhnya Allah tidak melindungi orang Musyrik dan tidak melindungi  Rosulullah”. Yang benar: “Innallaha Barii’um minal Musyriki wa Rosuuluh”, yang artinya: sesungguhnya Allah tidak melindungi Orang Musyrik, dan Rosulullah pun tidak melindungi (Kata: wa Rosuuluh).
8.      Ilmu Jughrafi dan Tarikh.
Jughrafi dan Tarikh pada Masa Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu Tarikh (ilmu Sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya. Adanya pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu Jughrafi (Ilmu Bumi atau Geografi), demikian pula ilmu tarikh. Ilmu Jughrafi dan Ilmu Tarikh lahir pada masa Dinasti Umayyah, barulah berkembang menjadi suatu ilmu yang betul-betul berdiri sendiri pada masa ini.
9.      Usaha Penerjemahan.
Untuk kepentingan pembinaan Dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah dimulai pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian, jelaslah bahwa gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru berkembang secara pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah. Adapun yang mula-mula melakukan usaha penerjemahan yaitu Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang sangat cerdas dan ambisius.
-      Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan        menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
-      Menertibkan angkatan bersenjata. Masa pemerintahan Muawiyah tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dengan membasmi para pemberontak.
-      Muawiyah bin Sufyan berhasil mengantarkan negara dan rakyatnya mencapai kemakmuran dan kekayaan yang melimpah.
-      Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
-      Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri.
-      Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
-      Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara pada waktu itu.
-      Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya.
-      Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
-      Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu (Abu Aswat Ad-du’aili), Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan As-sunnah).
Pada masa Bani Umayah ini merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abasiyah merupakan puncak dari peradaban Islam. Perkembangan yang lebih menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadist. Khalifah Umar Bin Abdul Azis sangat menaruh perhatian yang besar kepada pengumpulan Hadist. Pengumpulan hadist dilaksanakan oleh ‘Asim al-Anshari. Pada masa ini muncul ahli-ahli hadist seperti Abu bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah al-Zuhri dan Hasan Basri. Disamping itu muncul pula ilmu tata bahasa Arab (Nahwu), Sibaweih menyusun Kitab tersebut untuk mempelajari bahasa Arab bagi orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam telah berkembang ke luar Jazirah Arab. Orang belum mengenal bahasa Arab, apalagi khalifah Abdul Malik bin Marwan mengerakkan Politik Arabisasi.
Ilmu Aqliyah pada masa ini mulai dikenalkan. Khalifah Muawiyah memerintahkan supaya diterjemahkan karya-karya Bangsa Grek (Yunani) yang mengandung bermacam-macam ilmu. Dengan demikkian orang Islam pada masa ini mulai mengetahui ilmu kedokteran, ilmu Kalam, Seni bangun dan sebagainya. Ilmu Aqliyah pada masa Khalifah Muawiyah baru bertingkat permulaan dan pengenalan. Tingkat perkembangan adalah pada masa khalifah Abdul Malik[20]
Kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, sehingga pasukan  militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.





PENUTUP
Nama Disnati Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abd Manaf selalu bertarung dalam merebutkan kekuasaan dan kedudukan.
Dinasti Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan,dengan adanya perang Shiffin dan perjanjian damai yang semakin menguatkan posisi dan kekuasaanya. Kemudian kepemimpinan berlangsung dengan sistem monarki hingga khalifah terakhir.
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, dimana perhatian tertumpu pada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terjadi sejak zaman khulafaur rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa diempat penjuru mata angin beramai-ramai masuk ke salam kekuasaan islam ,yang meliputi tanah Spanyol,seluruh wilayah Afrika Utara,Jazirah Arab, Syiria,Palestina,sebagian wilayah Anatolia,Irak, Persia, Afganistan, India, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan yang termasuk Uni Soviet Rusia.
Peradaban Islam pada saat mulai berkembang dengan pesat dan sangat baik hampir disemua bidang,terutama ilmu pengetahuan.
Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.
Adapun kehancuran dinasti ini disebabkan oleh faktor internal, seperti sistem pergantian khalifah yang tidak jelas,sikap hidup mewah di lingkungan keluarga istana,serta faktor eksternal yakni serangan dari keturunan Al-Abbas ibn Abdul Al-Muthalib (didukung Bani hasyim, Syi’ah, dan Mawali).






















DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Usyairi, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar, 2006, hal.181
Abd Chair, Dkk, Ensklopedi Tematis Dunia Islam. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoseve, 2003) h. 67
Katsir,al-Bidayah wan Niahayah.
Mohammad Syafii Antonio,Ensiklopedia Peradaban Islam Damaskus, 55.
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2(Jakarta,PT. Al Husna Zikra, 1995 ), 48.
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 73
Dr. Ali Mufrodi, Islam dan Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997)Hal. 73.
Khoiriyah, 2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam,Yogyakarta,Teras.



[2] Ahmad Al-Usyairi, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar, 2006, hal.181
[3] Abd Chair, Dkk, Ensklopedi Tematis Dunia Islam. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoseve, 2003) h. 67
[4] Katsir,al-Bidayah wan Niahayah,453
[5] Mohammad Syafii Antonio,Ensiklopedia Peradaban Islam Damaskus, 55.
[6] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2(Jakarta,PT. Al Husna Zikra, 1995 ), 48.
[7] Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 73
[8] Katsir,al-Bidayah wan Nahiyah,537.
[9] Dr. Ali Mufrodi, Islam dan Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997)Hal. 73.
[10] Khoiriyah, 2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam,Yogyakarta,Teras.70
[11] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2000)Hal. 48-49.
[12] Al-Imam Jalal uddin, Abd al-Rahman Abi Bakar l-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, editor Wail Mamud al-Sharqi. (beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah,2008), 128.
[13] Khoiriyah, 2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam,Yogyakarta,Teras.71
[14] Hassan Ibrahim Hassan, op. Cit., 91
[15] Khoiriyah, 2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam,Yogyakarta,Teras.76
[16] Prof. Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983)Hal. 124-139.
[17] Joesoef Soe’yb, Sejarah Daulat Umayyah I, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 234.
[18] Dr. Fuad Mohd. Fachrudin. Perkembangan Kebudayaan Isam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985. Hal 46.
[19] Kitab Al-Kaamil Fit-taarikh lil Imam Ibnil Atsiir-13 jilid, wa Tarikh Ibnu Kholdun-14 Jilid, Tariikhul Umaamil wal Muluk li Abii ja’far Ibni At-thobari-10 Jilid,
[20] Jurji Zaidan, Tarikh Adab Lughah Al-Arabiyah, jilid II, Cairo: Darul Hilal, hal. 236-259.

No comments:

Post a Comment

sponsor