BAB I
PENDAHULUAN
Berakhirnya kekuasaan khalifah
Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasaan yang berpola Dinasti atau
kekerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan
pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan musyawarah aka
terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti˗dinasti yang
berkembang sesudahnya.
Dinasi Umayyah merupakan kerajaan
Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti
ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib,
kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan
strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah
juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (keompok yang membangkang dari
Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun tapuk kekuasaan dipegang oleh putranya
Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya
kepemimpinannya pun hanya bertahan beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan
menyerahkan kepemimpinannya kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa
pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian
tersebut dibuat pada tahun 661M / 41 H dan dikenal dengan am jama’ah karena
perjanjian ini mempersatukan umat Islam menjadi satu kepemimpinan , namun
secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya
Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan peradaban Islam.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Berdirinya Dinasti
Umayyah
1.1. Asal Mula Dinasti Bani Umayyah.
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan
kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdu Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah
Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni
keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra. Orang
yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai
jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayyah selalu bersaing
dengan Pamannya yaitu Hasyim bin Abdu Manaf dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan[2].
Sesudah datang Agama Islam persaingan
yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani
Umayah dengan tegas menentang Rosululloh, sebaliknya Bani Hasim menjadi
penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau yang
belum.
Nama Dinasti Bani Umayyah diambil
dari Umayyah bin Abd Al- Syam, kakek Abu Sofyan. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sofyan berasal
dari keturunan Bani Umayyah , yang berasal dari suku Quraisy[3].
Proses terbentuknya kekhalifahan
Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh
tikaman pedang Humran bin Sudan pada
tahun 35 H/656 M, saat khalifah Utsman bin Affan membaca Al-qur’an. Pada saat
itu khalifah Utsman bin Affan dianggap terlalu Nepotisme (mementingkan kaum
kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah
kekuasaan Islam.
Awal kedaulatan bagi Dinasti Bani
Umayyah adalah sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan, lalu dipimpin kholifah
Ali bin Abi Thalib, dan Hasan bin Ali. Barulah Dinasti Bani Umayyah muncul,
dengan dipimpin oleh khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan yang dulunya gubenur Syam
dan tampil sebagai pemimpin Islam yang kuat.
Sebelum Dinasti Bani Umayyah
muncul sebagai khalifah. Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar
seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi Ali bin Abi
Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan
itu di pertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan pada akhirnya Ali bin Abi
Thalib mau menerima tawaran tersebut. Kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin
Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tahun 656 M/18
Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap
kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang
paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin
Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah keempat oleh masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat
pendukung dari Kuffah, ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa
dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus dan Syiria, serta
Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Khalifah Utsman bin Affan, menjabat
sebagai sekretaris khalifah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan
dan sekutunya terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang
berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di
Shiffin dan dikenal dengan perang Siffin, Pertempuran ini terjadi di antara dua
kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dengan Ali
bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1
Shafar tahun 37 H/657 M. Ada peristiwa tahkim. Setelah terbunuhnya Utsman bin
Affan, Muawiyah bin Abu Sufyan beserta sejumlah sahabat lainnya angkat bicara
di hadapan manusia dan mendorong mereka agar menuntut darah Utsman dari
orang-orang yang telah membunuhnya[4]
Beberapa saat setelah wafatnya
khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah,
Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan
ini membuat Muawiyah tidak punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah
Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Tetapi Muawiyah menolak
kepemimpinan tersebut karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan
baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan pada waktu
itu.
Akibat dari penanganan kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi
Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk
keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib
berada di balik kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan. Sementara faktanya
Utsman terbunuh oleh massa yang mengamuk karena kebijakannya mengganti gubernur
Mesir dengan orang yang diduga saudara Utsman.
Ada beberapa gubernur yang
diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib, antara lain Muawiyah
bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif.
Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat
Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan
gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang
terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur
lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya.
Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan
karena kelalaian mereka.
1.2. Usaha Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi
Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan
pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kuffah, oleh kelompok khawarij
yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi
kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia khalifah Ali bin Abi Thalib
yaitu Syi’ah. Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para
pengikut Ali bin Abi Thalib (Syi’ah) melakukan sumpah setia (bai’at) atas Hasan
bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib.
Namun Hasan bin Ali sosok yang
jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi
pemimpin Negara (khalifah). Sehingga banyak terjadi permasalahan politik,
termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi
Sufyan.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah
bapak pendiri Dinasti Umayyah. Dialah tokoh pembangunan yang besar. Namanya
disejajarkan dalam deretan Khulafaur Rasyidin. Bahkan kesalahanya yang
menghianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat (demokrasi) dengan
diganti sistem Monarchi[5],
dapat dilupakan orang karena jasa-jasanya[6]
dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan[7].
Mu’awiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan bin Ali bin Abi Thalib
berdamai denganya pada tahun 41 H[8].
Umat Islam sebagianya membaiat Hasan setelah Ayahnya itu wafat. Namun, Hasan menyadari kelemahanya sehingga ia berdamai dan
menyerahkan kepemimpinan umat kepada Mu’awiyah sehingga tahun itu dinamakan
‘amul jama’ah (Tahun Persatuan).
Menghadapi situasi yang demikian
kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak
mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu
maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan
perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin
Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah
bin Abi Sufyan dengan syarat antara lain:
1. Agar Muawiyah menyerahkan Harat Baitulmal
kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2. Agar Muawiyah tak lagi melakukan cacian
dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
3. Agar Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari
Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan bin Ali setiap tahun.
4. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah
lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdis Syams[9]
5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatu
apapun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi
kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan,
Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin
Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah
sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan
mengutus orang-orang kepercayaannya
seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan
Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran
Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin
Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama
Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah
berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam
menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Dengan demikian berdirilah
Dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya
kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan Raja-Raja Persia dan
Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun.
Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang
didasari asas “demokrasi” (Musyawaroh) untuk menentukan pemimpin umat Islam
yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara
dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai
gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani
Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein bin Ali, Putra kedua
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin
Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah
dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ah yang ada di Irak. Umat
islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai
Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di
dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh.
Pola Pemerintahan Dinasti Umayyah
Dinasti Bani Umayyah berkuasa
selama kurang lebih 90 tahun (41- 132 H/661-750 M). Setelah Muawiyah
memindahkan pusat pemerintahan dari kota Madinah (Kuffah ke Damaskus), maka
pemerintahan Muawiyah berubah bentuk dari Demokrasi menjadi Monarchi
(kerajaan/dinasti) hal ini berlaku semenjak ia mengangkat putranya Yazid
sebagai putra mahkota.
Setelah Muawiyah meninggal dunia orang-orang
keterunan Umayyah mengangkat Yazid bin Muawiyah menjadi Khalifah sebagai
pengganti ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan Bani umayyah memakai sistim
turun-temurun[10]
sampai kepada Khalifah Marwan bin Muhammad. Marwan bin Muhammad[11]
tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abas
pada tahun 750 M. Dengan demikian berakhir Dinasti Bani Umayyah dan diganti
oleh Dinasti Bani Abbasiyah setelah memerintah lebih kurang 90 tahun.
Adapun khalifah-khalifah terbesar
Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sofyan
(661-680 M), Abd Al-Malik bin Marwan (685-750 M), Al-Walid bin Abdul
Malik (705-715), Umar bin Abdul Azis (717-720 M), Hasyim bin Abdul Malik
(720-743 M), puncak kejayaan Dinasti Bani Umayyah terjadi pada masa Umar bin
Abdul Aziz (717-720 M), setelah itu merupakan masa keruntuhannya.
Karena proses berdirinya
pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya
dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan
mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya,
terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat
mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan
khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya
dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk
putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazid bin
Muawiyah[12].
Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani
Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal
ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan/Dinasti
dengan menunjuk. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin
Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam
seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Selain terjadi perubahan dalm
sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat
perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur
Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap
warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak
pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi
harta kekayaan keluarga Raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar
bin Abdul Aziz (717-720 M).
Berikut nama-nama ke 14 khalifah
Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa :
1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680
M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705
M)
6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717
M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M).
Para Sejarawan umumnya sependapat
bahwa para khalifah terbesar dari Daulah Bani Umayyah adalah Mu’awiyah, Abdul
Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.
Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah
Ekspansi/perluasan yang terhenti
pada masa khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dilanjutkan kembali
oleh Dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah
timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan
Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke
Ibukota Binzantium, dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan
Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh kekhalifahan Abd al-Malik. Ia mengirim
tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balakh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Markhand[13].
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan.
Pada masa pemerintahan Muawiyyah terkenal sebagai era yang agresif karena
perhatian terpusat kepada perluasan wilayah, dan kemajuan besarpun hadir dengan
berhasilnya perluasan wilayah tersebut.
Ekspansi ke barat secara
besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan
Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan kurang
lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara
menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah
al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan
Islam, menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa,
dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal
Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi
sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai.
Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu
kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova[14].
Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz,
serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin
oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers.
Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Ghafii
terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah
tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di
zaman Bani Umayyah[15].
Dengan keberhasilan ekspansi ke
beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani
Umayyah sangat luas. Dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata
angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak,
sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, dan negeri-negeri yang sekarang
dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan, Pakistan, Purkmenia, dan Kirgiztan yang
termasuk sovyet (Rusia). Sampai akhirnya Dinasti ini dijuluki Dinasti Adi
Kuasa.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi[16],penaklukan
militer di Zaman Umayyah mencakup 3 Front penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Front melawan bangsa
Romawi di Asia Kecil dengan sasaran utama pengepungan ke Ibu kota
Konstantinopel, dan penyerangan ke Pulau-pulau dilaut tengah.
Kedua, Front Afrika Utara. Selain
menundukkan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga menyebrangi Selat
Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, Front Timur menghadapi
wilayah yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua
arah. Yang satu menuju utara ke daerah-daerah disebrang sungai jihun (Ammu
Darya), sedangkan lainya ke arah selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian
Barat.
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti
Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu
membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial,
politik, ekonomi, teknologi, maupun sosial kebudayaan. Berikut Prestasi bagi
peradaban Islam dimasa kekuasaan Dinasti Bani Umayyah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
Bidang Politik : Bani Umayyah
menyusun tata pemerintahan yang sama sekali baru, untuk memenuhi tuntutsn
perkembangan wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain
mengangkat Majelis Penasehat sebagai pendamping, Khalifah Bani Umayyah dibantu
oeh beberapa orang sekertaris untuk membantu pelaksanaan tugas, yang meliputi :
a. Katib Ar-Rasa’il, sekertaris yang
bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan para pembesar
setempat.
b. Katib Al-Kharraj, sekertaris yang
bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
c. Katib Al-Jundi, sekertaris yang bertugas
menyelenggarakan berbagai hal yang berkaitan dengan ketentraman.
d. Katib Asy-Syurtah, sekertaris yang
bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
e. Katib Al-Qudat, sekertaris yang bertugas
menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat[17]
Bidang Sosial Budaya : Bani
Umayyah telah membuka terjadinya kontak antar bangsa-bangsa muslim (Arab)
dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisin yang luhur
seperti ; Persia, Mesir, Eropa, dan sebagainya. Hubungan tersebut lalu melahirkan
kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni dan ilmu pengetahuan. Di Bidang
Seni terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah mencatat suatu
pencapaian yang gemilang, seperti Home Of The Rock (Qubah Ash-Shakhra) di Yerussalem
menjadi monumen terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya dikagumi orang.
Perhatian terhadap seni sastra juga meningkat dizaman ini, terbukti dengan
lahirnya tokoh-tokoh besar seperti Al-Ahtal, Farazdag, Jurair, dll.
Pada masa itu Abul Aswad Ad-Duali
(w. 681 M/62 H) Ulama’ (Bukan Sahabat), menyusun gramatika Arab dengan memberi
titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak bertitik 9 (Wadi’un Nuqod
‘Alal Qulub). Usaha ini besar artinya dalam mengembangkan dan memperluas bahasa Arab,
serta memudahkan orang membaca, mempelajari, dan menjaga barisan yang
menentukan gerak kata dan bunyi suara serta ayunan iramanya, hingga dapat
diketahui maknanya. Kerajaan inipun telah mulai menempatkan dirinya dalam ilmu
pengetahuan dengan mementingkan buku-buku bahasa Yunani dan Kopti (Kristen
Mesir)[18].
Sudah ada titiknya tapi masih
banyak orang non-Arab yang masih belum bisa membaca, maka Imam Kholil bin Ahmad
Al-Farohidi membuat Sakl, Fathah, kasroh, dhommah, fathahtein, sukun,dll, (w.
165 H).
Abu ‘Ubaid Qosim bin Salam (w.
224 H), membuat Tajwid.
Dalam Bidang Peradaban Dinasti
Umayyah telah menemukan jalan yang lebih luas ke arah pengembangan dan
perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media
utamanya.
Menurut Jurji Zaidan (George
Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan antara
lain sebagai berikut:
1. Pengembangan Bahasa Arab.
Para Penguasa Dinasti Umayyah
telah menjadikan Islam sebagai Daulah (Negara), kemudian dikuatkanya dan
dikembangkanlah Bahasa Arab dalam wilayah Kerajaan Islam. Upaya tersebut
dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai Bahasa Resmi dalam tata usaha
negara dan pemerintah sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan
bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia di
daerah-daerah bekas jajahan mereka dan di Persia sendiri.
2. Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu.
Dinasti Umayyah juga mendirikan
sebuah Kota kecil sebagai pusat kegiatan IlmuPengetahuan dan Kebudayaan. Pusat
kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan Marbad, kota satelit dari Damaskus.
Di Kota Marbad inilah berkumpul para pejangga, filsuf, ulama, penyair, dan
cendikiawan lainya, sehingga kota ini diberi gelar Ukadz-nya Islam.
3. Ilmu Qiraat.
Ilmu Qiraat adalah ilmu seni baca
Al-Qur’an. Ilmu Qiraat merupakan ilmu Syariat tertua, yang telah dibina sejak
Zaman Khulafaur Rasyidin. Kemudian pada Masa Dinasti Umayyah dikembangluaskan
sehingga menjadi Cabang ilmu Syariat yang sangat penting. Pada masa ini lahir
para Ahli Qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w. 120 H) dan Ashim bin
Abi Nujud (w. 127 H).
4. Ilmu Tafsir.
Untuk memahami Al-qur’an sebagai
kitab Suci diperlukan interprestasi peahaman secara komprehensif.
5. Ilmu Hadits.
Ketika Kaum Muslimin telah berusaha
memahami Al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka butuhkan,
yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut Hadits. Oleh karena itu timbullah usaha
untuk mengumpulkan Hadits, menyelidiki asal-usulnya, sehingga akhirnya menjadi
satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan Ilmu Hadits. Diantara para Ahli
Hadits pada Masa Dinasti Umayyah adalah Al-Auzai Abdurrahman bin Amru (w. 159
H), Hasan Basri (w. 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan Asya’bi Abu Amru Amir
bin Syurahbil (w. 104 H).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
memanggil salah satu orang yang bernama Shihabuddin Romahurmuuzi, untuk membuat
ilmu yang digunakan untuk menyeleksi Hadits, namanya : ilmu Mustholahul Hadits,
6. Ilmu Fiqh.
Setelah Islam menjadi Daulah,
maka para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi
pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka kembali kepada Al-Qur’an
dan Hadits dan mengeluarkan Syariat dari kedua sumber tersebut untuk mengatur
pemerintahan dan memimpin rakyat. Al-qur’an adalah dasar Fiqh Islam, dan pada
zaman ini ilmu Fiqh telah menjadi satu cabang ilmu Syariat yang berdiri
sendiri. Diantara ahli Fiqh yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin
Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
7. Ilmu Nahwu.
Pada Masa Dinasti Umayyah karena
wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab, maka ilmu
Nahwu sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula bertambahnya orang-orang
Ajam (Non-Arab) yang masuk Islam, sehingga keberadaan Bahasa Arab sangat
dibutuhkan. Oleh karena itu, dibukukanlah ilmu Nahwu dan berkembanglah satu
cabang ilmu yang penting untuk mempelajari berbagai ilmu Agama Islam[19]
Contoh, membaca : Innallaha
barii’um minal musyriki wa Rosuulih, (Salah), yang artinya: “sesungguhnya Allah
tidak melindungi orang Musyrik dan tidak melindungi Rosulullah”. Yang benar: “Innallaha Barii’um
minal Musyriki wa Rosuuluh”, yang artinya: sesungguhnya Allah tidak melindungi
Orang Musyrik, dan Rosulullah pun tidak melindungi (Kata: wa Rosuuluh).
8. Ilmu Jughrafi dan Tarikh.
Jughrafi dan Tarikh pada Masa
Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu
Tarikh (ilmu Sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya.
Adanya pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh
menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu Jughrafi (Ilmu Bumi atau Geografi),
demikian pula ilmu tarikh. Ilmu Jughrafi dan Ilmu Tarikh lahir pada masa
Dinasti Umayyah, barulah berkembang menjadi suatu ilmu yang betul-betul berdiri
sendiri pada masa ini.
9. Usaha Penerjemahan.
Untuk kepentingan pembinaan
Dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah dimulai pula penerjemahan buku-buku
ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian,
jelaslah bahwa gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru
berkembang secara pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah. Adapun yang mula-mula
melakukan usaha penerjemahan yaitu Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang
sangat cerdas dan ambisius.
- Masa kepemimpinan Muawiyah telah
mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan
peralatannya di sepanjang jalan.
- Menertibkan angkatan bersenjata. Masa
pemerintahan Muawiyah tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan
dalam negeri dengan membasmi para pemberontak.
- Muawiyah bin Sufyan berhasil mengantarkan
negara dan rakyatnya mencapai kemakmuran dan kekayaan yang melimpah.
- Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik,
mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan
tulisan Arab.
- Jabatan khusus bagi seorang Hakim (
Qodli) menjadi profesi sendiri.
- Keberhasilan kholifah Abdul Malik
melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan
memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M)
yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
- Membangun panti-panti untuk orang cacat.
Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh
Negara pada waktu itu.
- Membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya.
- Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
- Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu (Abu
Aswat Ad-du’aili), Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya.
Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam)
dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan As-sunnah).
Pada masa Bani Umayah ini
merupakan peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani
Abasiyah merupakan puncak dari peradaban Islam. Perkembangan yang lebih
menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadist. Khalifah Umar Bin Abdul Azis
sangat menaruh perhatian yang besar kepada pengumpulan Hadist. Pengumpulan
hadist dilaksanakan oleh ‘Asim al-Anshari. Pada masa ini muncul ahli-ahli
hadist seperti Abu bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah al-Zuhri dan Hasan
Basri. Disamping itu muncul pula ilmu tata bahasa Arab (Nahwu), Sibaweih
menyusun Kitab tersebut untuk mempelajari bahasa Arab bagi orang yang tidak
mengerti bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam telah berkembang ke luar
Jazirah Arab. Orang belum mengenal bahasa Arab, apalagi khalifah Abdul Malik
bin Marwan mengerakkan Politik Arabisasi.
Ilmu Aqliyah pada masa ini mulai
dikenalkan. Khalifah Muawiyah memerintahkan supaya diterjemahkan karya-karya
Bangsa Grek (Yunani) yang mengandung bermacam-macam ilmu. Dengan demikkian
orang Islam pada masa ini mulai mengetahui ilmu kedokteran, ilmu Kalam, Seni
bangun dan sebagainya. Ilmu Aqliyah pada masa Khalifah Muawiyah baru bertingkat
permulaan dan pengenalan. Tingkat perkembangan adalah pada masa khalifah Abdul
Malik[20]
Kemajuan dalam system militer.
Selama peperangan melawan kakuatan musuh, pasukan arab banyak mengambil
pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka memadukannya dengan
system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, sehingga pasukan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami
perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam
system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap
kekuasaannya hingga ke Eropa.
PENUTUP
Nama Disnati Umayyah dinisbatkan
kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh
penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abd
Manaf selalu bertarung dalam merebutkan kekuasaan dan kedudukan.
Dinasti Umayyah didirikan oleh
Muawiyah bin Abu Sufyan,dengan adanya perang Shiffin dan perjanjian damai yang
semakin menguatkan posisi dan kekuasaanya. Kemudian kepemimpinan berlangsung
dengan sistem monarki hingga khalifah terakhir.
Masa pemerintahan Bani Umayyah
terkenal sebagai suatu era agresif, dimana perhatian tertumpu pada usaha
perluasan wilayah dan penaklukan, yang terjadi sejak zaman khulafaur rasyidin terakhir.
Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa diempat penjuru mata angin
beramai-ramai masuk ke salam kekuasaan islam ,yang meliputi tanah
Spanyol,seluruh wilayah Afrika Utara,Jazirah Arab, Syiria,Palestina,sebagian
wilayah Anatolia,Irak, Persia, Afganistan, India, Turkmenistan, Uzbekistan, dan
Kirgistan yang termasuk Uni Soviet Rusia.
Peradaban Islam pada saat mulai
berkembang dengan pesat dan sangat baik hampir disemua bidang,terutama ilmu
pengetahuan.
Meskipun kejayaan telah diraih
oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan lebih lama, dikarenakan
kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari pihak luar.
Adapun kehancuran dinasti ini
disebabkan oleh faktor internal, seperti sistem pergantian khalifah yang tidak
jelas,sikap hidup mewah di lingkungan keluarga istana,serta faktor eksternal
yakni serangan dari keturunan Al-Abbas ibn Abdul Al-Muthalib (didukung Bani
hasyim, Syi’ah, dan Mawali).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Usyairi, Sejarah Islam
sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar, 2006, hal.181
Abd Chair, Dkk, Ensklopedi
Tematis Dunia Islam. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoseve, 2003) h. 67
Katsir,al-Bidayah wan Niahayah.
Mohammad Syafii
Antonio,Ensiklopedia Peradaban Islam Damaskus, 55.
Ahmad Syalabi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam 2(Jakarta,PT. Al Husna Zikra, 1995 ), 48.
Mufrodi, Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab, 73
Dr. Ali Mufrodi, Islam dan
Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997)Hal. 73.
Khoiriyah, 2012, Reorientasi
Wawasan Sejarah Islam,Yogyakarta,Teras.
[2]
Ahmad Al-Usyairi, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta:
Akbar, 2006, hal.181
[3]
Abd Chair, Dkk, Ensklopedi Tematis Dunia Islam. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoseve, 2003) h. 67
[4]
Katsir,al-Bidayah wan Niahayah,453
[5]
Mohammad Syafii Antonio,Ensiklopedia Peradaban Islam Damaskus, 55.
[6]
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2(Jakarta,PT. Al Husna
Zikra, 1995 ), 48.
[7]
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 73
[8]
Katsir,al-Bidayah wan Nahiyah,537.
[9]
Dr. Ali Mufrodi, Islam dan Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997)Hal.
73.
[10]
Khoiriyah, 2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam,Yogyakarta,Teras.70
[11]
Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindi
Persada, 2000)Hal. 48-49.
[12]
Al-Imam Jalal uddin, Abd al-Rahman Abi Bakar l-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa,
editor Wail Mamud al-Sharqi. (beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah,2008), 128.
[13]
Khoiriyah, 2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam,Yogyakarta,Teras.71
[14]
Hassan Ibrahim Hassan, op. Cit., 91
[15]
Khoiriyah, 2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam,Yogyakarta,Teras.76
[16]
Prof. Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1983)Hal. 124-139.
[17]
Joesoef Soe’yb, Sejarah Daulat Umayyah I, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 234.
[18]
Dr. Fuad Mohd. Fachrudin. Perkembangan Kebudayaan Isam, Jakarta: Bulan Bintang,
1985. Hal 46.
[19]
Kitab Al-Kaamil Fit-taarikh lil Imam Ibnil Atsiir-13 jilid, wa Tarikh Ibnu
Kholdun-14 Jilid, Tariikhul Umaamil wal Muluk li Abii ja’far Ibni At-thobari-10
Jilid,
[20]
Jurji Zaidan, Tarikh Adab Lughah Al-Arabiyah, jilid II, Cairo: Darul Hilal,
hal. 236-259.
No comments:
Post a Comment