Syekh
Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani
(Arab: محمد نووي الجاوي البنتني) atau Syekh
Nawawi al-Bantani (lahir di Tanara, Serang, 1230 H/1813 M - meninggal di Mekkah,
Hijaz 1314 H/1897 M) adalah seorang ulama
Indonesia bertaraf Internasional yang menjadi
Imam Masjidil Haram. Ia bergelar al-Bantani karena berasal dari Banten,
Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan
intelektual yang sangat produktif menulis kitab, jumlah karyanya tidak kurang
dari 115 kitab yang meliputi bidang ilmu fiqih, tauhid,
tasawuf, tafsir,
dan hadis.
Karena kemasyhurannya, Syekh Nawawi
al-Bantani kemudian dijuluki Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama
Hijaz), al-Imam al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq (Imam yang
Mumpuni ilmunya), A'yan Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah (Tokoh
Ulama Abad 14 Hijriyah),
hingga Imam Ulama al-Haramain, (Imam 'Ulama Dua Kota Suci).
Biografi
Syekh Nawawi lahir dalam tradisi
keagamaan yang sangat kuat di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang,
Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, Desa
Padaleman,
Kecamatan Tanara, Serang) pada tahun 1230 Hijriyah
atau 1815 Masehi,
dengan nama Muhammad Nawawi bin 'Umar bin 'Arabi al-Bantani. Dia adalah sulung
dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihabudin, Tamim, Said, Abdullah, Tsaqilah
dan Sariyah. Ia merupakan generasi ke-12 dari Sultan
Maulana Hasanuddin,
raja pertama Banten Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon.
Nasabnya melalui jalur Kesultanan Banten ini sampai kepada Nabi Muhammad
.

Ayah Syekh Nawawi merupakan seorang
Ulama lokal di Banten,
Syekh Umar bin Arabi al-Bantani, sedangkan ibunya bernama Zubaedah, seorang ibu
rumah tangga biasa.
Syaikh Nawawi menikah dengan Nyai
Nasimah, gadis asal Tanara, Serang dan dikaruniai 3 orang anak: Nafisah, Maryam, Rubi'ah. Sang
istri wafat mendahului dia.[1]
Silsilah
- Syekh Nawawi al-Bantani bin
- Syekh Umar al-Bantani bin
- Syekh Arabi al-Bantani bin
- Syekh Ali al-Bantani bin
- Syekh Jamad al-Bantani bin
- Syekh Janta al-Bantani bin
- Syekh Masbuqil al-Bantani bin
- Syekh Maskun al-Bantani bin
- Syekh Masnun al-Bantani bin
- Syekh Maswi al-Bantani bin
- Syekh Tajul Arsy al-Bantani (Pangeran Sunyararas) bin
- Sultan Maulana Hasanuddin bin
- Sultan Syarif Hidayatullah bin
- Syarif Abdullah Umdatuddin Azmatkhan bin
- Sayyid Ali Nurul Alam Azmatkhan bin
- Sayyid Jamaluddin Akbar Azmatkhan al-Husaini (Syekh Jumadil Kubro) bin
- Sayyid Ahmad Jalal Syah Azmatkhan bin
- Sayyid Abdullah Azmatkhan bin
- Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
- Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadramaut) bin
- Sayyid Muhammad Shahib Mirbath (Hadramaut) bin
- Sayyid Ali Khali' Qasam bin
- Sayyid Alawi ats-Tsani bin
- Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
- Sayyid Alawi Awwal bin
- Sayyid al-Imam 'Ubaidillah bin
- Sayyid Ahmad al-Muhajir bin
- Sayyid 'Isa Naqib ar-Rumi bin
- Sayyid Muhammad an-Naqib bin
- Sayyid al-Imam Ali Uradhi bin
- Sayyidina Ja'far ash-Shadiq bin
- Sayyidina Muhammad al-Baqir bin
- Sayyidina Ali Zainal Abidin bin
- Sayyidina Husain bin
- Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti
- Sayyidina Muhammad
Pendidikan
Sejak berusia lima tahun, Syekh
Nawawi sudah mulai belajar ilmu agama Islam langsung dari ayahnya. Bersama
saudara-saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid,
al-Quran dan tafsir.
Pada usia delapan tahun bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi
berguru kepada K.H. Sahal, salah seorang ulama terkenal di Banten
saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu kepada Syekh
Baing Yusuf
Purwakarta.[3][4]
Di usianya yang belum genap lima
belas tahun, Syekh Nawawi telah mengajar banyak orang, sampai kemudian ia
mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya
yang kian hari bertambah banyak[3].
Baru setelah usianya mencapai lima belas tahun, Syekh Nawawi menunaikan haji
dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama masyhur di Mekah saat itu.
Guru-Gurunya
Berikut adalah para ulama yang
pernah ditimba ilmunya oleh Syekh Nawawi[5] :
- Syekh Umar bin Arabi al-Bantani (Ayahnya)
- K.H. Sahal al-Bantani
- Syekh Baing Yusuf Purwakarta
- Syekh Ahmad Khatib asy-Syambasi
- Syekh Ahmad Zaini Dahlan
- Syekh Abdul Ghani al-Bimawi
- Syekh Yusuf Sumbulaweni
- Syekh Abdul Hamid Daghestani
- Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi
- Syekh Ahmad Dimyati
- Syekh Muhammad Khatib Duma al-Hambali
- Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki
- Syekh Junaid al-Batawi
- Syekh Zainuddin Aceh
- Syekh Syihabuddin
- Syekh Yusuf bin Muhammad Arsyad al-Banjari
- Syekh Abdush Shamad bin Abdurahman al-Falimbani
- Syekh Mahmud Kinan al-Falimbani
- Syekh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani
- Dan lain sebagainya.
Peranan
dan Perjuangan
Nasionalisme
dan Pengabdian di Masjidil Haram
Setelah tiga tahun bermukim di Mekkah,
Syekh Nawawi pulang ke Banten
sekitar tahun 1828 Masehi.
Sampai di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan,
kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat. Tak ayal, gelora
jihad pun berkobar. Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap
prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi kemudian berdakwah
keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap
penjajah sampai pemerintah Belanda
membatasi gara-geriknya, seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid[6]. Bahkan belakangan dia dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda
(1825 - 1830 Masehi),
hingga akhirnya ia kembali ke Mekkah
setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda,
tepat ketika puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830. Begitu sampai di Mekkah dia segera
kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya.[7]
Syekh Nawawi mulai masyhur ketika
menetap di Syi'ib 'Ali, Mekkah. Dia mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula
muridnya cuma puluhan, tetapi semakin lama jumlahnya kian banyak. Mereka datang
dari berbagai penjuru dunia. Hingga jadilah Syekh Nawawi al-Bantani sebagai
ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid,
fiqih, tafsir,
dan tasawwuf. [6]
Nama Syekh Nawawi al-Bantani semakin
masyhur ketika dia ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram, menggantikan Syaikh
Achmad Khotib Al-Syambasi
atau Syekh Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi.
Tidak hanya di kota Mekkah
dan Madinah saja dia dikenal, bahkan di negeri Suriah,
Mesir, Turki, hingga Hindustan namanya begitu masyhur.[6]
Pemikiran
Penting
Syekh Nawawi memegang peran sentral
di tengah ulama al-Jawwi. Dia menginspirasi komunitas al-Jawwi untuk lebih
terlibat dalam studi Islam secara serius, tetapi juga berperan dalam mendidik
sejumlah ulama pesantren terkemuka. Bagi Syekh Nawawi, masyarakat Islam di Indonesia harus dibebaskan dari belenggu Kolonialisme. Dengan mencapai kemerdekaan,
ajaran-ajaran Islam akan dengan mudah dilaksanakan di Nusantara. Pemikiran ini mendorong Syekh Nawawi untuk selalu
mengikuti perkembangan dan perjuangan di tanah air dari para murid yang berasal
dari Indonesia serta menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat
Indonesia.[8]
Selain pelajaran agama, Syekh Nawawi
juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti Kolonialisme dan Imperialisme dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di
kemudian hari mampu menegakkan kebenaran. Perjuangan yang dilakukan Syekh
Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan
semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme.
Di samping itu, upaya pembinaan yang
dilakukan Syekh Nawawi terhadap komunitas al-Jawwi di Mekkah
juga menjadi perhatian serius dari pemerintahan Belanda
di Indonesia. Produktivitas komunitas al-Jawwi
untuk menghasilkan alumni-alumni yang memiliki integritas keilmuan agama dan
jiwa nasionalisme, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Belanda. Untuk
mengantisipasi ruang gerak komunitas al-Jawwi ini maka pemerintah Belanda
mengutus penasihat pemerintah, Christian
Snouck Hurgronje
untuk berkunjung ke Mekkah pada tahun 1884 - 1885. Kedatangan Snouck ini bertujuan
untuk meneliti lebih lanjut dan melihat secara langsung berbagai hal yang telah
dilakukan oleh ulama Indonesia yang tergabung dalam komunitas al-Jawwi.[4]
Pendapat
Penentangan di Arab Saudi
Meskipun saat itu Arab Saudi dikuasai oleh pemerintahan yang berfaham Wahabisme, namun Syekh Nawawi berani berbeda pendapat dalam hal
ziarah kubur. Kerajaan Arab Saudi melarang ziarah kubur dengan alasan bidah,
namun Syekh Nawawi tidak menentang praktik ini. Pendapat ini dilandasi temuan
Syekh Nawawi tentang ketentuan hukumnya dalam ajaran Islam. Syekh Nawawi bahkan
menganjurkan umat Islam untuk menghormati makam-makam orang yang berjasa dalam
sejarah Islam, termasuk makam Nabi
dan para sahabat. Menurut Syekh
Nawawi, Mengunjungi makam Nabi
adalah praktik ibadah yang identik
dengan bertemu muka (tawajjuh) dengan Nabi
dan mengingatkan kebesaran
perjuangan dan prestasi yang patut untuk diteladani.[4]



Murid-Muridnya
- Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi[9]
- Syekh Kholil al-Bangkalani, Madura[10]
- Syekh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri
- Syekh Tubagus Muhammad Asnawi al-Bantani, Caringin, Labuan, Pandeglang
- Syekh Arsyad Thawil al-Bantani - Pejuang Geger Cilegon 1888 dan Penyebar Islam di Sulawesi Utara[11]
- Syekh Abu al-Faidh Abdus Sattar bin Abdul Wahhab ad-Dahlawi, Delhi, India - Pengajar di Masjidil Haram[12]
- Sayyid Ali bin Ali al-Habsy - Pengajar di Masjidil Haram
- Syekh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
- Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani, Pattani, Thailand
- Syekh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani - Cucu Syekh Nawawi
- K.H. Saleh Darat as-Samarani
- K.H. Hasyim Asyari, Jombang - Pendiri Nahdlatul Ulama
- K.H. Ahmad Dahlan, Yogyakarta - Pendiri Muhammadiyah[13]
- K.H. Hasan Genggong - Pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong
- K.H. Mas Abdurahman - Pendiri Mathla'ul Anwar
- K.H. Raden Asnawi, Kudus
- Haji Abdul Karim Amrullah, Sumatera Barat
- K.H. Thahir Jamaluddin, Singapura
- K.H. Dawud, Perak, Malaysia
- K.H. Hasan Asyari, Bawean
- K.H. Najihun, Mauk, Tangerang
- K.H. Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang
- K.H. Ilyas, Kragilan, Serang
- K.H. Wasyid - Pejuang Geger Cilegon 1888
- K.H. Tubagus Ismail - Pejuang Geger Cilegon 1888
- K.H. Arsyad Qashir al-Bantani - Pejuang Geger Cilegon 1888
- K.H. Abdurrahman - Pejuang Geger Cilegon 1888
- K.H. Haris - Pejuang Geger Cilegon 1888
- K.H. Aqib - Pejuang Geger Cilegon 1888
- Dan lain sebagainya.
Kisah
Syekh Nawawi dan Murid-muridnya
K.H.
Hasyim Asyari
K.H. Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pondok
Pesantren Tebuireng
sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarib yang dikarang oleh Syekh
Nawawi. Kenangan terhadap sang gurunya itu amat mendalam di hatinya hingga haru
tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan kepada
para santrinya.[1]
Gelar-gelar
Di antara gelar kehormatan yang
disematkan kepada Syekh Nawawi al-Bantani adalah sebagai berikut:[9]
- al-Sayyid al-'Ulama al-Hijaz (tokoh ulama Hijaz) atau Sayyidul Hijaz (penjaga Hijaz)[7][14]
- Nawawi at-Tsani (Nawawi kedua). Orang pertama yang memberi gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani[7]
- al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam)
- A'yan 'Ulama al-Qarn ar-Ram 'Asyar Li al-Hijrah (tokoh ulama abad 14 Hijriyah)
- Imam 'Ulama Al-Haramain (Imam Ulama Dua Kota Suci)
- Doktor Ketuhanan (orang pertama yang memberikan gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Christiaan Snouck Hurgronje)
- asy-Syaikh al-Fakih (disematkan oleh kalangan pesantren)
- Bapak Kitab Kuning Indonesia (disematkan oleh para Ulama Indonesia).[4]
Karya-Karyanya
Kepakaran Syekh Nawawi tidak
diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syekh 'Umar 'Abdul Jabbar dalam kitabnya "al-Durus
min Madhi al-Ta'lim wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Haram” (beberapa kajian
masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis
bahwa Syekh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus
judul lebih yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang
berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik.
Sebagian dari karya-karya Syekh
Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut: [9]
- al-Tsamar al-Yani'ah syarah al-Riyadl al-Badi'ah
- al-'Aqd al-Tsamin syarah Fath al-Mubîn
- Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
- Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
- al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
- Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
- Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
- Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
- Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
- Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
- al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
- Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
- Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
- Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
- Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
- Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
- Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
- Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
- Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
- Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
- Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
- Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
- Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
- al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
- ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
- Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
- Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
- al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
- Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
- Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
- al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
- al-Riyâdl al-Fauliyyah
- Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
- Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
- al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
- Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
- al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
- Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.[15]
Karya tafsirnya, al-Munir, sangat
monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli yang sangat terkenal. Sementara
Kasyifah al-Saja merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safinatun Najah, karya Syekh Salim bin Sumeir al-Hadhramy.
Karya-karya dia di bidang Ilmu Akidah misalnya adalah Tijan ad-Darary, Nur
al-Dhalam, Fath al-Majid. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih
al-Qaul. Karya-karya dia di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munajah, Nihayah
al-Zain, Kasyifah al-Saja, dan yang sangat terkenal di kalangan para santri
pesantren di Jawa yaitu Syarah ’Uqud al-Lujain fi
Bayan Huquq al-Zaujain. Adapun Qami'u al-Thugyan, Nashaih al-'Ibad dan Minhaj
al-Raghibi merupakan karya tasawwuf.[16]
Karamah
Telunjuk
Bersinar dan Dapat Menjadi Lampu Penerang
Pada suatu waktu di sebuah
perjalanan dalam syuqduf (rumah-rumahan di punggung unta) Syekh Nawawi
pernah mengarang kitab dengan menggunakan telunjuknya sebagai lampu. Hal
tersebut terjadi karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yang ia tumpangi,
sementara aspirasi untuk menulis kitab tengah kencang mengisi kepalanya. Syekh
Nawawi kemudian berdoa kepada Allah agar telunjuk kirinya dapat menjadi
lampu, menerangi jari kanan yang akan digunakannya untuk menulis. Kitab yang
kemudian lahir dengan nama Maraqi al-'Ubudiyyah syarah Matan Bidayah
al-Hidayah itu harus dibayarnya dengan cacat pada jari telunjuk kiri,
karena cahaya yang diberikan Allah pada telunjuk kirinya itu membawa bekas yang
tidak hilang.[17]
Melihat
Ka'bah dari Tempat Lain yang Jauh
Karamah lain Syekh Nawawi juga
diperlihatkannya di saat ia mengunjungi Masjid Pekojan, Jakarta.
Masjid yang dibangun oleh Sayyid Utsman bin 'Agil bin Yahya al-'Alawi (mufti Betawi
keturunan Rasulullah
) itu ternyata memiliki kiblat yang
salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsman
sendiri[18].

Tak ayal, saat Syekh Nawawi yang
dianggapnya hanya seorang anak remaja tak dikenal menyalahkan penentuan kiblat,
Sayyid Utsman sangat terkejut. Diskusipun terjadi antara keduanya, Sayyid
Utsmân tetap berpendirian bahwa kiblat Mesjid Pekojan tersebut sudah benar,
sementara Syekh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat haruslah dibetulkan. Saat
kesepakatan tidak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya
dengan keras, Syekh Nawawi remaja menarik lengan baju Sayyid Utsmân dan
dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat, kemudian berkata:
“
|
"Lihatlah Sayyid!, itulah
Ka'bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka'bah itu
terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak ke kiri. Maka perlulah
kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke arah Ka'bah."
|
”
|
Sayyid Utsman termangu. Ka'bah yang
ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syekh Nawawi remaja memang terlihat jelas.
Sayyid Utsman merasa takjub dan menyadari bahwa remaja yang bertubuh kecil di
hadapannya itu telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah.
Yang dengan karamah itu, di manapun dia berada Ka'bah akan tetap terlihat.[19] Dengan penuh hormat Sayyid Utsman langsung memeluk tubuh
kecil Syekh Nawawi. Sampai saat ini di Masjid Pekojan akan terlihat kiblat
digeser dan tidak sesuai aslinya.[19]
Jasad
yang Tetap Utuh
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya
harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan
tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di
tempat lain di luar kota dan lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap
terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan
tersebut dijalankan tanpa pandang bulu hingga menimpa pula pada makam Syekh
Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari
pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang
tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti
biasanya, yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang
satu apapun, tidak lecet dan tidak ada tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya
jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain kafan penutup jasad Syekh Nawawi
tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.[17]
Terang saja kejadian tersebut
mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan
menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian
menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah
strategis lalu diambil, yaitu larangan dari pemerintah untuk membongkar makam
Syekh Nawawi. Jasadnya lalu dikuburkan kembali seperti sediakala, dan hingga
sekarang makam Syekh Nawawi tetap berada di Ma'la, Mekah.[20]
Shalat
di Dalam Mulut Ular Besar
Suatu hari ketika dalam perjalanan,
Syekh Nawawi istirahat di sebuah tempat untuk azan kemudian salat. Setelah ia
azan ternyata tidak ada orang yang datang, akhirnya ia qamat lalu salat
sendirian. Usai shalat Syekh Nawawi kembali melanjutkan perjalanan, tapi ketika
menengok ke belakang, ternyata ada seekor ular raksasa dan mulutnya sedang
menganga. Akhirnya ia tersadar bahwa ternyata ia salat di dalam mulut ular yang
sangat besar itu.[21]
Menghasilkan
Karya-karya yang Fenomenal
Karamah Syekh Nawawi yang paling
tinggi dapat dirasakan ketika membuka lembar demi lembar Tafsir Munir yang ia
karang. Kitab Tafsir fenomenal tersebut menerangi jalan siapa saja yang ingin
memahami firman Allah. Begitu juga dari kalimat-kalimat
lugas kitab fiqih, Kasyifah al-Saja yang menerangkan syariat. Dan ratusan
hikmah di dalam kitab Nashaih al-'Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan
terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan Syekh Nawawi
al-Bantani.[20]
Wafat
Syekh Nawawi wafat di Mekah pada
tanggal 25 Syawal
1314 Hijriyah atau 1897 Masehi.
Makamnya terletak di Jannatul Mu'alla, Mekah. Makam dia bersebelahan dengan
makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.[22]
Meski wafat di Jazirah Arab, namun hingga kini setiap tahunnya
selalu diadakan haul atau peringatan wafatnya Syekh Nawawi al-Bantani di tanah
air, tepatnya di Pondok
Pesantren An-Nawawi
Tanara, Serang, asuhan K.H. Ma'ruf Amin[23][24]. Haul Syekh Nawawi selalu ramai dihadiri para santri
Nusantara, bahkan mancanegara[25].
https://id.wikipedia.org/wiki/Nawawi_al-Bantani
Catatan
Kaki
2.
^
Machrus, Mohammad (2014). "Silsilah Syekh Nawawi Tanara al-Bantani". Yayasan
Pondok Pesantren Daarul Falah - Ciloang. Diakses tanggal 25 Mei 2017.
4.
^ a
b
c
d
e
Mahbib (3 Februari 2017). "Syekh Nawawi Banten dan Beberapa Pemikiran
Pentingnya".
nu.or.id. Diakses tanggal 25 Mei 2017.
5.
^ a
b
Khoirul, A. (1 Februari 2008). "Ulama Makkah Pun Berguru Kepadanya". nu.or.id. Diakses tanggal
25 Mei 2017.
7.
^ a
b
c
Maharani, Ardini (2 Desember 2015). "Imam Besar Masjidil Haram dari Banten, Keturunan Cucu
Rasulullah".
bintang.com. Diakses tanggal 25 Mei 2017.
8.
^
Solahudin, M. (2012). 5 Ulama Internasional dari Pesantren. Kediri: Nous Pustaka Utama. ISBN 9786029872026.
9.
^ a
b
c
"Biografi Sayyidi Asy-Syaikh Al-Faqih Nawawi Al-Bantani
Al-Jawi".
majeliswalisongo.com. 5 Maret 2016. Diakses tanggal 25 Mei 2017.
10. ^
"Biografi Singkat Syekh Kholil Bangkalan". dokumenpemudatqn.com. 6
April 2013. Diakses tanggal 25 Mei 2017.
12. ^
Nasrullah, Nasih (21 Februari 2017). "Terungkap Manuskrip Langka Ulama India Akui Kepakaran
Syekh Nawawi".
republika.co.id. Diakses tanggal 26 Mei 2017.
13. ^
Amin, Samsul Munir (2009). Sayyid Ulama Hijaz, Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
hlm. 96. ISBN 9789798452475.
14. ^
"Syekh Nawawi al-Bantani dengan Julukan Sayyidul
Hijaz".
santridayah.com. 28 Oktober 2014. Diakses tanggal 25 Mei 2017.
15. ^
Hadzami,
Muhammad Syafi'i
(2006). Majmu'ah Tsalatsa Kutub Mufidah (dalam bahasa Arab). Jakarta:
Maktabah al-Arba'in.
17. ^ a
b
Wicaksono, Bayu Aji (17 Juni 2015). "Kisah Syekh Nawawi: Kaki Bisa Menyala, Jasadnya Tetap
Utuh".
viva.co.id. Diakses tanggal 25 Mei 2017.
21. ^
Abdullah (11 Januari 2016). "Kiai Nawawi kisahkan Karomah Syekh Nawawi". nu.or.id. Diakses tanggal
25 Mei 2017.
23. ^
Sofiyan (18 September 2012). "Wisata Ziarah Mengenal dan Mengenang Syekh Nawawi di Tanara". bantenraya.com. Diakses
tanggal 26 Mei 2017.
24. ^
"Haul Syaikh Nawawi al-Bantani". muslimedianews.com. 13
Agustus 2015. Diakses tanggal 26 Mei 2017.
25. ^
Joewono, Beny N (23 September 2011). "Presiden Hadiri Haul Syeikh Nawawi". nasional.kompas.com.
Diakses tanggal 26 Mei 2017.
Bibliografi
- Huda, Nurul (14 September 2003). Sekilas Tentang: Kiai Muhammad Nawawi al-Bantani. Majalah Alkisah (Jakarta: Alkisah). Diakses tanggal 26 Mei 2017.
- Kisah Wali. Majalah Alkisah (Jakarta: Alkisah). 15 Februari 2004. Diakses tanggal 26 Mei 2017.
- Agustian, Helldy (25 November 2013). Napak Tilas Salah Satu Pahlawan Geger Cilegon 1888 di Manado, Sulawesi Utara:Syekh Arsyad Thawil al-Bantani. BantenPos (Serang: BantenPos). Diakses tanggal 26 Mei 2017.
- al-Bantani, Rohimuddin Nawawi. 2017. Syekh Nawawi al-Bantani: Ulama Indonesia yang Jadi Imam Besar di Masjidil Haram. Jakarta: Mentari Media. ISBN 9786026940490
- Ulum, Amirul. 2015. Penghulu Ulama di Negeri Hijaz, Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani. Yogyakarta: Pustaka Ulama. ISBN 9786021483480
- Amin, Samsul Munir. 2009. Sayyid Ulama Hijaz, Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani. Yogyakarta: LKIS. ISBN 979845247
- Muplihin, Iin Yunus. 2008. Pengaruh Pemikiran Politik Syekh Nawawi al-Bantani (1230 H/1813 M) Terhadap Perjuangan Melawan Kolonialisme Belanda di Banten. Tangerang Selatan: UIN Syarif Hidayatullah.
- Siregar, Mhd. Ikhsan Kolba. 2011. Metode Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Menafsirkan al-Qur'an. Pekanbaru: UIN Sulthan Syarif Kasim Riau.
- Hanifah, Aini. 2014. Pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani Tentang Toleransi Antar Umat Beragama dan Implikasinya Terhadap Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Studi Analisis Ayat-ayat Toleransi dalam Tafsir al-Munir). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
No comments:
Post a Comment