BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Hukum islam merupakan istilah
khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau
dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy.Istilah
ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam
Al-Qur’an dan Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak
ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian dalam
penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum
dimaksud adalah hukum islam.Sebabkajiannya dalam perspektif hukum islam,maka
yang dimaksudkan pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan
akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum islam sering
dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh islam.Apabila syari’at
islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti syari’at islam yang
dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain penyebutan hukum islam
selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara,baik yang sudah
terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy
mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk
menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di
Indonesia,istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan
islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah
laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat
untuk seluruh anggotanya.Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata
islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang
yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat
bagi semua pemeluk agama islam. [1]
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin diajukan penulis pada
makalah ini yaitu :
- Apa Pengertian Sumber Hukum Islam?
- Bagaimana Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam?
- Bagaimana Al-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam?
- BagaimanaAl-Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan
makalah ini yaitu :
- Untuk mengetahui Pengertian Sumber Hukum Islam
- Untuk mengenal Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
- Untuk mengenal Al-Sunnah sebaga Sumber Hukum Islam
- Untuk mengenal Al-Ra’yu sebagai Sumber Hukum Islam
D. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan makalah ini diharapkan mempunyai
manfaat teoritis dan manfaat praktif, sebagai berikut :
- Menjadi bahan tambahan untuk perkuliahan mahasiswa dan dosen pengajar
- Sebagai literatur materi khusus Sejarah Ilmu Kalam
- Bermanfaat bagi pembaca dan memberi pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Sumber
Hukum Islam
Pengertian
sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila
dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.Sumber Hukum Islam ialah
segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam
yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar
pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum
islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian
yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu: ijma’, ijtihad, istishab,
istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.[2]
2. Al-Qur’an Sebagai
Sumber Hukum Islam
Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan
syari’at islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu 105.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang-orang yang khianat[347].
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup yang pertama dan
utama bagi umat islam. Pada masa rasulullah s.a.w. setiap persoalan solusinya
selalu di kembalikan kepada al-Qur’an. Rasulullah sendiri dalam perilakunya
sehari-hari selalu mengacu pada al-Qur’an. Oleh karena itu kita sebagai seorang
muslim kita harus menggunakan al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
Sepeti dalam firman-Nya yang berarti:
Sepeti dalam firman-Nya yang berarti:
“Hai orang-orang beriman, taatlah
kepada Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya,
sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal,8:20).
Ayat tersebut
mengandung dua perintah yang pertama adalah perintah untuk taat kepada allah,
taat berarti kita harus menjalankan smua perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangannya. Dan perintah-perintah Allah itu ada dalam al-Qur’an, jadi
kalau kita taat kepada Allah kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada
dalam al-Qur’an. Perintah yang kedua adalah taat kepada Rasulullah, artinya
kita harus taat kepada sunnah dan hadits-haditsnya. Baik perintah maupun larangannya.
A. Pengertian
Al-Qur’an
Sebelum membahas lebih jauh tentang al-qur’an sebagai sumber hukum
islam, mari kita kaji terlebih dahulu pengertian dari al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an Secara bahasa, al-Qur’an adalah bentuk
masdar yang bermakna qiraa’ah (bacaan), yang dalam pengertian lebih
jauh diungkapkan sebagai kumpulan dari kalam Allah swt. yang dibaca dengan
lisan makhluk. Sedang menurut terminologi, al-Qur’an adalah kalam Allah swt.
yang berbahasa arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai mu’jizat
melalui perantara malaikat Jibril yang kemudian tertulis di lembaran-lembaran
yang teriwayatkan secara mutawatir serta membacanya merupakan
sebuah ibadah.
Al-Qur’an ini turun pada sekitar tanggal 17 Ramadhan
tahun ke-41 dari kelahiran nabi Muhammad SAW. Telah kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan kitab
suci umat islam dan merupakan pedoman hidup yang abadi. Dikatakan abadi karena
kemurniannya sejak diturunkan sampai di akhir zaman senantiasa terpelihara.
Allah s.w.t. menjamin pasti kemurnian al-Qur’an, seperti dalam firmannya yang
berarti:
“Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya kami
benar-benar menjaganya”.(QS. Al-Hijr,15:9).[3]
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan beberapa cara dan keadaan,antara lain, yaitu :
1. Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad
SAW.
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW
berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-katanya.
3. Wahyu datang seperti gemirincing lonceng.
4. Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana
rupanya yang asli.
Ayat-ayat yang
diturunkan tadi dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1. Ayat-ayat Makkiyah
2. Ayat-ayat Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu
hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqih.Pengertian
bahasa arab “Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan secara ibarat
(tamsil) adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqih.Pada
umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan Qiyas.[4]
B. Al-Quran mengandung tiga komponen dasar
hukum, sebagai berikut:
1.
Hukum I’tiqadiah, yakni
hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang
berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu
yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2.
Hukum Amaliah, yakni
hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara
manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum
amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun
ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3.
Hukum Khuluqiah, yakni
hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik
sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam
konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yakni:[5]
1.
Hukum ibadah, yaitu
hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa,
zakat, dan haji
2.
Hukum muamalat, yaitu
hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk
ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
a. Hukum
munakahat (pernikahan).
b. Hukum
faraid (waris).
c. Hukum
jinayat (pidana).
d. Hukum
hudud (hukuman).
e. Hukum
jual-beli dan perjanjian.
f. Hukum
tata Negara/kepemerintahan
3. Al-Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Dalam
tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan
Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian
hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan
hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan
dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”. Tidak semua
perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya,
seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya. Seperti
yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam.
Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit
sekali Al-Qur’an membicarakanya, Al-Qur’an membicarakan secara global saja,
atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali.
A.
Pengertian Al-Sunnah
As-Sunnah ialah semua perkataan Nabi dan perbuatannya dan
pengakuan Rasulullah saw yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’.
Pengertian tersebut menunjukkan 3 bentuk sunnah, masing-masing Qauliyah (
berupa perkataan ),fi’liyah ( berupa perbuatan ) dan Ta’ririyah ( berupa
pengakuan/persetujuan terhadap perkataan atau perbuatan orang lain ).
B.
Peran dan Kedudukan Hadits/As-Sunnah
sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/sedua setelah Al-Qur’an:
1.
Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum. Sunnah adalah
sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an.
Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum
Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
a.
Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan
kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32,
al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah:92)
b.
Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan
siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah:5, An-Nisa:15)
c.
Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda
orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama.
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama.
2.
Hubungan Al-Hadist/Sunnah dengan Al-Qur’an Dalam
hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, dan
penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi
As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:
a)
Bayan Tafsir: yaitu menerangkan ayat-ayat
yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa
ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah
merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah”(kerjakan shalat)
b)
Bayan Taudhih: yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat
Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan
supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih
(penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya
sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak
membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang
pedih”[6]
3.
Dapatkah As-sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini.
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini.
4.
Perbuatan Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai Sumber Hukum. Pada
dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga
umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam
hidupnya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi
ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan
Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi
kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah
khushushiyah beliau.
·
Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan
oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Misal: puasa Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat
Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya, Boleh beristri
lebih dari empat wanita.
·
Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya. Sedangkan dari sisi
kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah
SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya yaitu: shalat Dhuha, Bersiwak,
Bermusyawarah.
·
Yang Haram Bagi Nabi tapi Boleh bagi Umatnya yaitu:menerima harta
zakat, makan makanan yang berbau, Haram menikahi wanita ahlulkitab.
Semua
contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa
semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah
Nabi SAW. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus
diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum
kerasulannya.
C. Pembagian As-Sunnah
Sunnah itu dibagi menjadi 3
macam:
1.
Sunnah Qauliyah ( sabda- sabda Rasulullah )
Yaitu perkataan Nabi saw yang menerangkan hukum-hukum agama dan
maksud isi Al-Qur’an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga
menganjurkan akhlak yang mulia. Sunnah Qauliyah ( ucapan ) ini dinamakan juga
Hadist Nabi saw.
2.
Sunnah fi’liyah ( perbuatan Rasulullah )Yaitu
perbuatan Nabi saw yang menerangkan cara melaksanakan ibadah, misalnya cara
berwhudu’, shalat, puasa dan sebagainya.
3. Sunnah
Taqririyah ( diamnya Rasulullah atas perbuatan sahabat ) Yaitu bila Nabi saw
mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat sesuatu
perbuatan., lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh Nabi saw, dan tiada ditegurnya
dan dilarangnya. Maka yang dinamakan sunnah ketetapan Nabi ( taqriri ).[7]
D. Hubungan As-Sunnah dengan
Al-Qur’an
Golongan Ahlu As-Sunnah wal
jamaah , yakni golongan terbesar dari ummat Islam, yang umumnya terdiri dari
pengikut imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Mereka
mengatakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan sunnah sebagai
sumber syaria’t yang kedua.
Jadi, sunnah merupakan pelengkap
dari Al-Quran.Konsekuensinya adalah bahwa Al-Qur’an tidak dapat di tiadakan
oleh sunnah, artinya bila terdapat suatu ketentuan yang berlawanan antara
Al-Qur’an dan sunnah, Al-Qur’an yang dibenarkan.[8]
Disamping pendapat ini ada juga
pendapat lain, yaitu sementara pendapat Ahli Hadist( Muhadditsin ). Menurut
paramuhadditsin, hadist adalah lebih
utama dari Al-Qur’an sebagai sumber syariat didalam hal amal-amaliyah. Hal ini
disebabkan walaupun Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang langsung dan dalam
kualitas lebih tinggi dari hadist. Namun dalam segi praktis, hadist lebih
terperinci dan konkrit sesuai dengan asas lex specialis derogat lex generalis.
Al-Qur’an juga mengandung
ketentuan-ketentuan yang bersifat ijmali ( umum ) yang tidak langsung dapat
dipraktekkan dan hadist yang bersifat tafsili ( terperinci ) dan praktis.
Misalnya, dalam ketentuan ibadat, Al-Qur’an hanya memerintahkan shalat, puasa,
dll. Tetapi tidak menjelaskan bagaimana caranya melakukan shalat itu tidak
terdapat dalam Al-Qur’an. Secara terperinci dan konkrir. Ia hanya terdapat
dalam hadist.
1. Sebagai Bayan (
menerangkan ayat-ayat yang sangat umum).
2. Sebagai Taqrir (
memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an ).
3. Sebagai Bayan
Tawdih ( menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ).
E.
Perbedaan Al-Qur’an Dan As-Sunnah / Hadits Sebagai Sumber Hukum
Sekalipun
al-Qur’an dan as-Sunnah sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara
keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai
berikut :
1. Al-Qur’an bersifat Qath’i ( mutlak )
kebenarannya,sedangkan As-Sunnah bersifat Dzhanni ( relatif ), kecuali Hadits
Mutawatir.
2. Seluruh ayat al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman
hidup,sedangkan Tidak seluruh Hadits dapat dijadikan pedoman hidup karena disamping
ada Hadits Shahih, ada pula Hadits yang Dhaif .
3. Al-Qur’an sudah pasti autentik lafadz dan
maknanya,sebaliknya As-Sunnah belum tentu autentik lafadz dan maknanya.
4. Apabila al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah
aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya,sedangkan
Apabila as-Sunnah berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang
ghaib, maka setiap muslim tidak diharuskan mengimaninya seperti halnya
mengimani al-Qur’an.
5. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka :
a)
Penerimaan
seorang muslim terhadap al-Qur’an hendaknya didasarkan pada keyakinan yang
kuat, sedangkan;
b) Penerimaan seorang muslim terhadap as-Sunnah harus
didasarkan atas keragu-raguan ( dugaan-dugaan ) yang kuat. Hal ini bukan
berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah Hadits itu benar-benar berasal
dari Nabi atau tidak karena adanya proses sejarah kodifikasi hadits yang tidak
cukup memberikan jaminan keyakinan sebagaimana jaminan keyakinan ter
Macam-macam As-Sunnah.[9]
4.
Al-Ra’yu sebagai Sumber Hukum Islam
Keabsahan al-ra’yu sebagai sumber hukum Islam
bersumber dari riwayat hadis tentang diutusnya Muaz bin Jabal ke Yaman oleh
Nabi saw. Ketika sahabat Mu’az bin Jabal diutus oleh Nabi saw ke Yaman untuk
bertindak sebagai hakim, beliau diizinkan oleh Nabi saw untuk menggunakan
ra’yu. Hal ini dijelaskan dalam riwayat sebagai berikut :
أَنَّرَسُولَاللَّهِ e لَمَّاأَرَادَأَنْيَبْعَثَمُعَاذًاإِلَىالْيَمَنِقَالَكَيْفَتَقْضِيإِذَاعَرَضَلَكَقَضَاءٌقَالَأَقْضِيبِكِتَابِاللَّهِقَالَفَإِنْلَمْتَجِدْفِيكِتَابِاللَّهِقَالَفَبِسُنَّةِرَسُولِاللَّهِ e قَالَفَإِنْلَمْتَجِدْفِيسُنَّةِرَسُولِاللَّهِ e وَلَافِيكِتَابِاللَّهِقَالَأَجْتَهِدُرَأْيِيوَلَاآلُوفَضَرَبَرَسُولُاللَّهِ e صَدْرَهُ[4]
Terjemahnya
: “Ketika Rasulullah saw hendak mengutus Mu’az ke Yaman, maka Rasulullah saw bertanya:
Apa yang kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan
? Jawabnya: Aku memutuskannya berdasarkan Alquran. Ditanya lagi, bagaimana jika
tidak ada (kau) temukan dalam Alquran ?. Jawabnya: Dengan Sunnah Rasulullah
saw. Ditanya lagi, bagaimana jika tidak terdapat dalam al-Sunnah ? Jawabnya :
aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara
pun tanpa putusan. (dengan jawab-jawaban itu), maka Rasulullah saw menepuk
dadanya (Mu’az).”
Berdasarkan riwayat di atas, dipahami bahwa
yang dilakukan Mu’az dalam menetapkan hukum adalah secara terstruktur mulai
dari Alquran, hadis, lalu al-ra’yu (akal pikirannya).Dalam perkembangan ilmu
Islam, dikenal tiga kelompok yang meng-gunakan ra’yu,[10]
yaitu para ahli fikir teologi (mutakallimun), para ahli fikir bidang hukum
(fuqaha), dan para ahli fikir filsafat murni (filosof). Ketika kelompok
tersebut sama-sama memfungsikan akal untuk melakukan kegiatan berfikir dan
menalar. Namun karena bidang garapannya berbeda, maka masing-masing kelompok
memounyai dan mengembangkan metode yang berbeda.
Metode penalaran para ahli fikir di bidang
hukum disebut ijtihad. sementara itu, para ahli fikir di bidang teologi disebut
nazar yang sasarannya memantapkan akidah tentang Allah, alam ghaib, rasul dan
wahyu yang merupakan sendiri dasar keimanan, untuk menjauhkan keraguan yang
sewaktu-waktu menggoda pikiran manusia.
Pertanyaan yang muncul kemudian, sampai
dimana peranan akal (al-ra’yu) dalam hukum Islam ? Jawabannya menurut H. Minhajuddin
adalah peranan akal ditetapkan secara khusus kepada hal-hal yang berhbungan
dengan kehidupan perorangan dan masyarakat dalam segenap lapangan kehidupan
sosial, ekonomi, politik, dan berbegai aktivitsanya. Adapun hal-hal yang sudah
nasnya dengan jelas atau qat’iy, maka hal itu kita wajib terima sebagai
ta’abbudy.[11]
Selanjutnya, Al-Gazāli berpendapat bahwa akal pikiran termasuk sandaran utama
untuk mengeluarkan (menetapkan) hukum-hukum syariat. Sekiranya, hukum-hukum
sesuatu tidak ada nashya dan tidak pula didapatkan dalam ijma’, maka akal lah
yang memegang peranan penting.[12]
Sepeninggal Nabi saw, memang banyak sahabat
yang menggunakan akal dalam menetapkan hukum. Khalifah Abū Bakar (w. 13 H)
ketika meng-hadapi suatu kasus, beliau mencari pemecahannya dalam Alquran. Jika
tidak terdapat dalamnya, maka dia mencari di hadis, dan jika dia tidak
menemukan-nya maka dia kumpulkan beberapa tokoh ulama sahabat untuk diajak
ber-musyawarah. Hal yang sama dilakukan juga oleh Umar, bahkan beliau pernah
mengirin surat perintah ke Abū Mūsa al-Asyari ketika itu menjadi Qadhi di
Basrah, sebagai berikut :
الفهم،الفهمفيماتلجلجفىصدركمماليسفىكتابولاسنة،إعرفالأشباهوالأمثالوقسالأمورعندذلك
Terjemahnya
: “Pahamilah, pahamilah menurut apa yang ada dalam gejolak hatimu (pakailah
rasio) tentang apa yang tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah. Kenalilah
hal-hal yang serupa dan yang sama, dan ketika itu kiaskanlah dan bandingkanlah
satu sama lain.”[13]
Praktek penggunaan al-ra’yu
yang disebutkan terakhir, dikembangkan Abdullah bin mas’ud yang pindah ke Irak
kemudian mengajar ulama-ulama di sana, dan ulama-ulama di tempat lain juga
selalu menggunakan ra’yu mereka ketika dalam persoalan hukum tidak ditemukannya
dalam sumber pokok hukum Islam, yakni Alquran dan hadist.
v Pengertian
al-Ra’yu
Kata
al-ra’yu berasal dari kata ra’a, yarā’ ra’yan yang berarti memperlihatkan,
kemudian dari kata tersebut terbentuk kata ra’yun yang jamaknya arā’u artinya
pendapat pikiran. Dalam Maqāyis dikatakan bahwa ahl al-ra’yu adalah orang yang
berpegang kepada akal.[14]
Istilah al-ra’yu dalam Ilmu Ushul adalah mencurahkan segala kemampuan dalam
mencari hukum syara’ yang bersifat zanni, dengan menggunakan rasio yang kuat
dan yang bersangkutan merasa tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu.[15]
Berkenaan
dengan batasan definisi al-ra’yu di atas, maka dipahami bahwa hanyalah
hukum-hukum syara’ yang praktis dan zhanni yang dapat dimasuki al-ra’yu. Selain
itu, dalam definisi tersebut juga diketahui al-ra’yu adalah mencurahkan segala
kemampuan berdasarkan rasio yang hanya dapat dilakukan oleh seorang muslim yang
kuat akal dan aqidahnya, mulia akhlaknya, menguasai bahasa Alquran dan hadis,
mengetahui usul fikih, ilmu fikih dan maqāshid al-syari’ah.[16]
Jadi penggunaan ra’yu menurut ajaran Islam tidak sama dengan berpikir lieberal
yang hanya mengutamakan rasio saja, dan mengesampingkan aqidah, akhlak,
pengetahuan yang mendalam tentang Alquran dan hadis, serta kaidah-kaidah fikih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber Hukum Islam ialah
segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam
yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar
pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum
islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
As-Sunnah
merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, dan menjadi sebagai pelengkap
dalam memperinci kata-kata yang telah diwajibkan Allah kepada ummatnya. Dan
begitu pula dengan As-Sunnah pengertiannya semua perkataan Nabi dan
perbuatannya dan pengakuan Rasulullah saw yang berposisi sebagai petunjuk dan
tasyri’.
Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber hukum islam tertinggi. Al-Qur’an
sendiri merupakan kitab peraturan tertinggi islam dimana as-Sunnahlah yang
berperan untuk memberikan penjelasan lebih konkret mengenai maksud dari
al-Qur’an.
Olehnya takdapat kita sangsikan bahwa kedua sumber
hukum ini memiliki hubungan, dari kedua sumber hukum ini sudah dapat memberi
kita kejelasan terhadap suatu hukum, meski dalam hal ini masih ada
sumber-sumber hukum dalam islam lainnya.Sumber-sumber hukum islam selain
al-Qur’an dan as-Sunnah sendiri dapat dikatakan mengambil ketetapan sesuai
dengan konsep hukum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Al-ra’yu
sebagai sumber hukum Islam bersumber dari
riwayat hadis tentang diutusnya Muaz bin Jabal ke Yaman oleh Nabi saw.Al-ra’yu
adalah mencurahkan segala kemampuan berdasarkan rasio yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang muslim yang kuat akal dan aqidahnya, mulia akhlaknya,
menguasai bahasa Alquran dan hadis, mengetahui usul fikih, ilmu fikih dan
maqāshid al-syari’ah.
B.
SARAN
Akhirnya
selesailah makalah saya yang membahas tentang Sumber-Sumber Hukum Islam.
Sungguh, masih banyak kekurangan yang harus saya perbaiki dalam penyusunan
makalah ini. Apabila terdapat kesalahan penulisan saya mohon maaf, kritik dan
saran dari pembaca akan saya tunggu.
Semoga
makalah ini menjadi acuan untuk kita lebih berfikir luas dalam mengkaji ilmu
fiqih ini, semoga kita lebih mengetahui makna ushul fiqih dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam lingkungan sempit bahkan lingkungan yang luas.
Sebagaimana yang telah di contohkan oleh nabi kita Muhammad SAW.
Dan
kami mohom maaf jika makalah ini masih banyak kerancauan dan kesalahan di
dalamnya, dan kami berharap semoga rasa tidak puas dalam mengkaji ilmu untuk selalu
dipupuk sebagai motivasi kita untuk menjadi lebih baik.Jazakumulloh khoiron
katsiron
DAFTAR PUSTAKA
Abū Husayn Ahmad Ibn Fāris bin Zakāriyah, Mu’jam Maqāyis
al-Lughah (Mesir: Isā al-Bāb al-Halab wa Awlāduh, 1972)
H. Minhajuddin, Filasafat Hukum Islam (Cet.I; Ujungpandang:
Yayasan Ahkam, 1994)
Harun
Nasution dalam bukunya, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah dan
Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Pres, 1986)
Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al- Gazāli, al-Musytashfā min ‘Ilm al-Ushūl,
jilid II (Bairut: Dār al-Fikr, t.th.)
Rifa’i moh, ilmu
fiqh islam lengkap, ( semarang : karya toha putra, 19967 )
Syahar
saidus, asas-asas hukum islam,( Bandung : Talumni, 1996 )
http://kanal3.wordpress.com/2010/12/23/makalah-pengertian-sumber-hukum-islam
[1]http://www.scribd.com/doc/24838751/Makalah-Sumber-Hukum-Islam pada tanggal 21 Februari 2018 pukul 13:14
[2]http://kanal3.wordpress.com/2010/12/23/makalah-pengertian-sumber-hukum-islam pada tanggal 21 Februari 2018
[5]http://ini-makalahku.blogspot.co.id/2016/09/makalah-sumber-sumber-ajaran-islam.html
pada tanggal 21 Februari 2018 pukul 13:33
[6]http://ini-makalahku.blogspot.co.id/2016/09/makalah-sumber-sumber-ajaran-islam.html
pada tanggal 21 Februari 2018 pukul 13:33
[7]Rifa’i moh, ilmu fiqh
islamlengkap, ( semarang : karya toha putra, 19967 ) h. 27
[10] Harun Nasution dalam bukunya, Teologi Islam;
Aliran-aliran, Sejarah dan Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Pres,
1986), h. 79-145
[11] H. Mihajuddin,
op. cit., h. 15
[12] Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al- Gazāli, al-Musytashfā min ‘Ilm al-Ushūl, jilid II
(Bairut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 351
[13] Minhajuddin, op.
cit., h. 20
[14] Abū Husayn Ahmad
Ibn Fāris bin Zakāriyah, Mu’jam Maqāyis al-Lughah (Mesir: Isā al-Bāb al-Halab
wa Awlāduh, 1972), h. 147
[15] H.
Minhajuddin, Filasafat Hukum Islam (Cet.I; Ujungpandang: Yayasan Ahkam, 1994),
h. 7.
[16] Ibid., h. 8
No comments:
Post a Comment