Search This Blog

sponsor

Monday, May 14, 2018

Sumber Hukum Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan
Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy.Istilah ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum dimaksud adalah hukum islam.Sebabkajiannya dalam perspektif hukum islam,maka yang dimaksudkan  pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh islam.Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti syari’at islam yang dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara,baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia,istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam. [1] 





B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin diajukan penulis pada makalah ini yaitu :
  1. Apa Pengertian Sumber Hukum Islam?
  2. Bagaimana Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam?
  3. Bagaimana Al-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam?
  4. BagaimanaAl-Ra’yu Sebagai Sumber Hukum Islam?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini yaitu :
  1. Untuk mengetahui Pengertian Sumber Hukum Islam
  2. Untuk mengenal Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
  3. Untuk mengenal Al-Sunnah sebaga Sumber Hukum Islam
  4. Untuk mengenal Al-Ra’yu sebagai Sumber Hukum Islam

D. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan makalah ini diharapkan mempunyai manfaat teoritis dan manfaat praktif, sebagai berikut :
  1. Menjadi bahan tambahan untuk perkuliahan mahasiswa dan dosen pengajar
  2. Sebagai literatur materi khusus Sejarah Ilmu Kalam
  3. Bermanfaat bagi pembaca dan memberi pengetahuan











BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Sumber Hukum Islam
            Pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu: ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.[2]

2. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu 105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[347].
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup yang pertama dan utama bagi umat islam. Pada masa rasulullah s.a.w. setiap persoalan solusinya selalu di kembalikan kepada al-Qur’an. Rasulullah sendiri dalam perilakunya sehari-hari selalu mengacu pada al-Qur’an. Oleh karena itu kita sebagai seorang muslim kita harus menggunakan al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
Sepeti dalam firman-Nya yang berarti
:
 “Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal,8:20).



 Ayat tersebut mengandung dua perintah yang pertama adalah perintah untuk taat kepada allah, taat berarti kita harus menjalankan smua perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Dan perintah-perintah Allah itu ada dalam al-Qur’an, jadi kalau kita taat kepada Allah kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada dalam al-Qur’an. Perintah yang kedua adalah taat kepada Rasulullah, artinya kita harus taat kepada sunnah dan hadits-haditsnya. Baik perintah maupun larangannya.
A. Pengertian Al-Qur’an
 Sebelum membahas lebih jauh tentang al-qur’an sebagai sumber hukum islam, mari kita kaji terlebih dahulu pengertian dari al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an Secara bahasa, al-Qur’an adalah bentuk masdar yang bermakna qiraa’ah (bacaan), yang dalam pengertian lebih jauh diungkapkan sebagai kumpulan dari kalam Allah swt. yang dibaca dengan lisan makhluk. Sedang menurut terminologi, al-Qur’an adalah kalam Allah swt. yang berbahasa arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai mu’jizat melalui perantara malaikat Jibril yang kemudian tertulis di lembaran-lembaran yang teriwayatkan secara mutawatir serta membacanya merupakan sebuah ibadah.
Al-Qur’an ini turun pada sekitar tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran nabi Muhammad SAW. Telah kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam dan merupakan pedoman hidup yang abadi. Dikatakan abadi karena kemurniannya sejak diturunkan sampai di akhir zaman senantiasa terpelihara. Allah s.w.t. menjamin pasti kemurnian al-Qur’an, seperti dalam firmannya yang berarti:
“Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya”.(QS. Al-Hijr,15:9).[3]
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan beberapa cara dan keadaan,antara lain, yaitu :
1.      Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW.
2.      Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-katanya.
3.      Wahyu datang seperti gemirincing lonceng.
4.      Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana rupanya yang asli.


Ayat-ayat yang diturunkan tadi dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1.      Ayat-ayat Makkiyah
2.      Ayat-ayat Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqih.Pengertian bahasa arab “Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan secara ibarat (tamsil) adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqih.Pada umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan Qiyas.[4]
B. Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
1.    Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2.    Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3.    Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:[5]
1.    Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
2.    Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
a.    Hukum munakahat (pernikahan).
b.    Hukum faraid (waris).
c.    Hukum jinayat (pidana).

d.   Hukum hudud (hukuman).
e.    Hukum jual-beli dan perjanjian.
f.     Hukum tata Negara/kepemerintahan
3. Al-Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
            Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali.
A.  Pengertian Al-Sunnah
            As-Sunnah ialah semua perkataan Nabi dan perbuatannya dan pengakuan Rasulullah saw yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’. Pengertian tersebut menunjukkan 3 bentuk sunnah, masing-masing Qauliyah ( berupa perkataan ),fi’liyah ( berupa perbuatan ) dan Ta’ririyah ( berupa pengakuan/persetujuan terhadap perkataan atau perbuatan orang lain ).
B.  Peran dan Kedudukan Hadits/As-Sunnah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/sedua setelah Al-Qur’an:
1.    Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum. Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
a.    Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah:92)
b.    Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah:5, An-Nisa:15)
c.    Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama
.
2.    Hubungan Al-Hadist/Sunnah dengan Al-Qur’an Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:
a)    Bayan Tafsir: yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah”(kerjakan shalat)
b)   Bayan Taudhih: yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”[6]
3.    Dapatkah As-sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini.
4.    Perbuatan Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai Sumber Hukum. Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau.


·      Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Misal: puasa Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya, Boleh beristri lebih dari empat wanita.
·      Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya. Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya yaitu: shalat Dhuha, Bersiwak, Bermusyawarah.
·      Yang Haram Bagi Nabi tapi Boleh bagi Umatnya yaitu:menerima harta zakat, makan makanan yang berbau, Haram menikahi wanita ahlulkitab.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
C.  Pembagian As-Sunnah
Sunnah itu dibagi menjadi 3 macam:
1.    Sunnah Qauliyah ( sabda- sabda Rasulullah ) Yaitu perkataan Nabi saw yang menerangkan hukum-hukum agama  dan maksud isi Al-Qur’an serta berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan akhlak yang mulia. Sunnah Qauliyah ( ucapan ) ini dinamakan juga Hadist Nabi saw.
2.    Sunnah fi’liyah ( perbuatan Rasulullah )Yaitu perbuatan Nabi saw yang menerangkan cara melaksanakan ibadah, misalnya cara berwhudu’, shalat, puasa dan sebagainya.
3.    Sunnah Taqririyah ( diamnya Rasulullah atas perbuatan sahabat ) Yaitu bila Nabi saw mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan atau melihat mereka memperbuat sesuatu perbuatan., lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh Nabi saw, dan tiada ditegurnya dan dilarangnya. Maka yang dinamakan sunnah ketetapan Nabi ( taqriri ).[7]
D.  Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
Golongan Ahlu As-Sunnah wal jamaah , yakni golongan terbesar dari ummat Islam, yang umumnya terdiri dari pengikut imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Mereka mengatakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan sunnah sebagai sumber syaria’t yang kedua.
Jadi, sunnah merupakan pelengkap dari Al-Quran.Konsekuensinya adalah bahwa Al-Qur’an tidak dapat di tiadakan oleh sunnah, artinya bila terdapat suatu ketentuan yang berlawanan antara Al-Qur’an dan sunnah, Al-Qur’an yang dibenarkan.[8]
Disamping pendapat ini ada juga pendapat lain, yaitu sementara pendapat Ahli Hadist( Muhadditsin ). Menurut paramuhadditsin,  hadist adalah lebih utama dari Al-Qur’an sebagai sumber syariat didalam hal amal-amaliyah. Hal ini disebabkan walaupun Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang langsung dan dalam kualitas lebih tinggi dari hadist. Namun dalam segi praktis, hadist lebih terperinci dan konkrit sesuai dengan asas lex specialis derogat lex generalis.
            Al-Qur’an juga mengandung ketentuan-ketentuan yang bersifat ijmali ( umum ) yang tidak langsung dapat dipraktekkan dan hadist yang bersifat tafsili ( terperinci ) dan praktis. Misalnya, dalam ketentuan ibadat, Al-Qur’an hanya memerintahkan shalat, puasa, dll. Tetapi tidak menjelaskan bagaimana caranya melakukan shalat itu tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Secara terperinci dan konkrir. Ia hanya terdapat dalam hadist.
1. Sebagai Bayan ( menerangkan ayat-ayat yang sangat umum).
2. Sebagai Taqrir ( memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an ).
3. Sebagai Bayan Tawdih ( menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ).
E. Perbedaan Al-Qur’an Dan As-Sunnah / Hadits Sebagai Sumber Hukum
Sekalipun al-Qur’an dan as-Sunnah sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut :
1.    Al-Qur’an bersifat Qath’i ( mutlak ) kebenarannya,sedangkan As-Sunnah bersifat Dzhanni ( relatif ), kecuali Hadits Mutawatir.
2.    Seluruh ayat al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup,sedangkan Tidak seluruh Hadits dapat dijadikan pedoman hidup karena disamping ada Hadits Shahih, ada pula Hadits yang Dhaif .
3.    Al-Qur’an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya,sebaliknya As-Sunnah belum tentu autentik lafadz dan maknanya.
4.    Apabila al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya,sedangkan Apabila as-Sunnah berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim tidak diharuskan mengimaninya seperti halnya mengimani al-Qur’an.
5.    Berdasarkan perbedaan tersebut, maka :
a)      Penerimaan seorang muslim terhadap al-Qur’an hendaknya didasarkan pada keyakinan yang kuat, sedangkan;
b)      Penerimaan seorang muslim terhadap as-Sunnah harus didasarkan atas keragu-raguan ( dugaan-dugaan ) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah Hadits itu benar-benar berasal dari Nabi atau tidak karena adanya proses sejarah kodifikasi hadits yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan sebagaimana jaminan keyakinan ter Macam-macam As-Sunnah.[9]
4.      Al-Ra’yu sebagai Sumber Hukum Islam
Keabsahan al-ra’yu sebagai sumber hukum Islam bersumber dari riwayat hadis tentang diutusnya Muaz bin Jabal ke Yaman oleh Nabi saw. Ketika sahabat Mu’az bin Jabal diutus oleh Nabi saw ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau diizinkan oleh Nabi saw untuk menggunakan ra’yu. Hal ini dijelaskan dalam riwayat sebagai berikut :
أَنَّرَسُولَاللَّهِ e لَمَّاأَرَادَأَنْيَبْعَثَمُعَاذًاإِلَىالْيَمَنِقَالَكَيْفَتَقْضِيإِذَاعَرَضَلَكَقَضَاءٌقَالَأَقْضِيبِكِتَابِاللَّهِقَالَفَإِنْلَمْتَجِدْفِيكِتَابِاللَّهِقَالَفَبِسُنَّةِرَسُولِاللَّهِ e قَالَفَإِنْلَمْتَجِدْفِيسُنَّةِرَسُولِاللَّهِ e وَلَافِيكِتَابِاللَّهِقَالَأَجْتَهِدُرَأْيِيوَلَاآلُوفَضَرَبَرَسُولُاللَّهِ e صَدْرَهُ[4]
Terjemahnya : “Ketika Rasulullah saw hendak mengutus Mu’az ke Yaman, maka Rasulullah saw bertanya: Apa yang kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan ? Jawabnya: Aku memutuskannya berdasarkan Alquran. Ditanya lagi, bagaimana jika tidak ada (kau) temukan dalam Alquran ?. Jawabnya: Dengan Sunnah Rasulullah saw. Ditanya lagi, bagaimana jika tidak terdapat dalam al-Sunnah ? Jawabnya : aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara pun tanpa putusan. (dengan jawab-jawaban itu), maka Rasulullah saw menepuk dadanya (Mu’az).”
Berdasarkan riwayat di atas, dipahami bahwa yang dilakukan Mu’az dalam menetapkan hukum adalah secara terstruktur mulai dari Alquran, hadis, lalu al-ra’yu (akal pikirannya).Dalam perkembangan ilmu Islam, dikenal tiga kelompok yang meng-gunakan ra’yu,[10] yaitu para ahli fikir teologi (mutakallimun), para ahli fikir bidang hukum (fuqaha), dan para ahli fikir filsafat murni (filosof). Ketika kelompok tersebut sama-sama memfungsikan akal untuk melakukan kegiatan berfikir dan menalar. Namun karena bidang garapannya berbeda, maka masing-masing kelompok memounyai dan mengembangkan metode yang berbeda.
Metode penalaran para ahli fikir di bidang hukum disebut ijtihad. sementara itu, para ahli fikir di bidang teologi disebut nazar yang sasarannya memantapkan akidah tentang Allah, alam ghaib, rasul dan wahyu yang merupakan sendiri dasar keimanan, untuk menjauhkan keraguan yang sewaktu-waktu menggoda pikiran manusia.
Pertanyaan yang muncul kemudian, sampai dimana peranan akal (al-ra’yu) dalam hukum Islam ? Jawabannya menurut H. Minhajuddin adalah peranan akal ditetapkan secara khusus kepada hal-hal yang berhbungan dengan kehidupan perorangan dan masyarakat dalam segenap lapangan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan berbegai aktivitsanya. Adapun hal-hal yang sudah nasnya dengan jelas atau qat’iy, maka hal itu kita wajib terima sebagai ta’abbudy.[11] Selanjutnya, Al-Gazāli berpendapat bahwa akal pikiran termasuk sandaran utama untuk mengeluarkan (menetapkan) hukum-hukum syariat. Sekiranya, hukum-hukum sesuatu tidak ada nashya dan tidak pula didapatkan dalam ijma’, maka akal lah yang memegang peranan penting.[12]
Sepeninggal Nabi saw, memang banyak sahabat yang menggunakan akal dalam menetapkan hukum. Khalifah Abū Bakar (w. 13 H) ketika meng-hadapi suatu kasus, beliau mencari pemecahannya dalam Alquran. Jika tidak terdapat dalamnya, maka dia mencari di hadis, dan jika dia tidak menemukan-nya maka dia kumpulkan beberapa tokoh ulama sahabat untuk diajak ber-musyawarah. Hal yang sama dilakukan juga oleh Umar, bahkan beliau pernah mengirin surat perintah ke Abū Mūsa al-Asyari ketika itu menjadi Qadhi di Basrah, sebagai berikut :
الفهم،الفهمفيماتلجلجفىصدركمماليسفىكتابولاسنة،إعرفالأشباهوالأمثالوقسالأمورعندذلك
Terjemahnya : “Pahamilah, pahamilah menurut apa yang ada dalam gejolak hatimu (pakailah rasio) tentang apa yang tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah. Kenalilah hal-hal yang serupa dan yang sama, dan ketika itu kiaskanlah dan bandingkanlah satu sama lain.”[13]


Praktek penggunaan al-ra’yu yang disebutkan terakhir, dikembangkan Abdullah bin mas’ud yang pindah ke Irak kemudian mengajar ulama-ulama di sana, dan ulama-ulama di tempat lain juga selalu menggunakan ra’yu mereka ketika dalam persoalan hukum tidak ditemukannya dalam sumber pokok hukum Islam, yakni Alquran dan hadist.
v Pengertian al-Ra’yu
Kata al-ra’yu berasal dari kata ra’a, yarā’ ra’yan yang berarti memperlihatkan, kemudian dari kata tersebut terbentuk kata ra’yun yang jamaknya arā’u artinya pendapat pikiran. Dalam Maqāyis dikatakan bahwa ahl al-ra’yu adalah orang yang berpegang kepada akal.[14] Istilah al-ra’yu dalam Ilmu Ushul adalah mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syara’ yang bersifat zanni, dengan menggunakan rasio yang kuat dan yang bersangkutan merasa tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari itu.[15]
Berkenaan dengan batasan definisi al-ra’yu di atas, maka dipahami bahwa hanyalah hukum-hukum syara’ yang praktis dan zhanni yang dapat dimasuki al-ra’yu. Selain itu, dalam definisi tersebut juga diketahui al-ra’yu adalah mencurahkan segala kemampuan berdasarkan rasio yang hanya dapat dilakukan oleh seorang muslim yang kuat akal dan aqidahnya, mulia akhlaknya, menguasai bahasa Alquran dan hadis, mengetahui usul fikih, ilmu fikih dan maqāshid al-syari’ah.[16] Jadi penggunaan ra’yu menurut ajaran Islam tidak sama dengan berpikir lieberal yang hanya mengutamakan rasio saja, dan mengesampingkan aqidah, akhlak, pengetahuan yang mendalam tentang Alquran dan hadis, serta kaidah-kaidah fikih.











BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.
As-Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, dan menjadi sebagai pelengkap dalam memperinci kata-kata yang telah diwajibkan Allah kepada ummatnya. Dan begitu pula dengan As-Sunnah pengertiannya semua perkataan Nabi dan perbuatannya dan pengakuan Rasulullah saw yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’.
Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber hukum islam tertinggi. Al-Qur’an sendiri merupakan kitab peraturan tertinggi islam dimana as-Sunnahlah yang berperan untuk memberikan penjelasan lebih konkret mengenai maksud dari al-Qur’an.
Olehnya takdapat kita sangsikan bahwa kedua sumber hukum ini memiliki hubungan, dari kedua sumber hukum ini sudah dapat memberi kita kejelasan terhadap suatu hukum, meski dalam hal ini masih ada sumber-sumber hukum dalam islam lainnya.Sumber-sumber hukum islam selain al-Qur’an dan as-Sunnah sendiri dapat dikatakan mengambil ketetapan sesuai dengan konsep hukum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Al-ra’yu sebagai sumber hukum Islam bersumber dari riwayat hadis tentang diutusnya Muaz bin Jabal ke Yaman oleh Nabi saw.Al-ra’yu adalah mencurahkan segala kemampuan berdasarkan rasio yang hanya dapat dilakukan oleh seorang muslim yang kuat akal dan aqidahnya, mulia akhlaknya, menguasai bahasa Alquran dan hadis, mengetahui usul fikih, ilmu fikih dan maqāshid al-syari’ah.








B.  SARAN
Akhirnya selesailah makalah saya yang membahas tentang Sumber-Sumber Hukum Islam. Sungguh, masih banyak kekurangan yang harus saya perbaiki dalam penyusunan makalah ini. Apabila terdapat kesalahan penulisan saya mohon maaf, kritik dan saran dari pembaca akan saya tunggu.
Semoga makalah ini menjadi acuan untuk kita lebih berfikir luas dalam mengkaji ilmu fiqih ini, semoga kita lebih mengetahui makna ushul fiqih dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan sempit bahkan lingkungan yang luas. Sebagaimana yang telah di contohkan oleh nabi kita Muhammad SAW.
Dan kami mohom maaf jika makalah ini masih banyak kerancauan dan kesalahan di dalamnya, dan kami berharap semoga rasa tidak puas dalam mengkaji ilmu untuk selalu dipupuk sebagai motivasi kita untuk menjadi lebih baik.Jazakumulloh khoiron katsiron
















DAFTAR PUSTAKA

Abū Husayn Ahmad Ibn Fāris bin Zakāriyah, Mu’jam Maqāyis al-Lughah (Mesir: Isā al-Bāb al-Halab wa Awlāduh, 1972)
H. Minhajuddin, Filasafat Hukum Islam (Cet.I; Ujungpandang: Yayasan Ahkam, 1994)
Harun Nasution dalam bukunya, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah dan Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Pres, 1986)
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- Gazāli, al-Musytashfā min ‘Ilm al-Ushūl, jilid II (Bairut: Dār al-Fikr, t.th.)
Rifa’i moh, ilmu fiqh islam lengkap, ( semarang : karya toha putra, 19967 )
Syahar saidus, asas-asas hukum islam,( Bandung : Talumni, 1996 )
http://kanal3.wordpress.com/2010/12/23/makalah-pengertian-sumber-hukum-islam


[1]http://www.scribd.com/doc/24838751/Makalah-Sumber-Hukum-Islam pada tanggal 21 Februari 2018 pukul 13:14
[5]http://ini-makalahku.blogspot.co.id/2016/09/makalah-sumber-sumber-ajaran-islam.html pada tanggal 21 Februari 2018 pukul 13:33
[6]http://ini-makalahku.blogspot.co.id/2016/09/makalah-sumber-sumber-ajaran-islam.html pada tanggal 21 Februari 2018 pukul 13:33
[7]Rifa’i moh, ilmu fiqh islamlengkap, ( semarang : karya toha putra, 19967 ) h. 27
[8]Syahar saidus, asas-asas hukum islam( Bandung : Talumni, 1996 ) h.  60  
9http://ini-makalahku.blogspot.co.id/2016/09/makalah-sumber-sumber-ajaran-islam.html pada tanggal 21 Februari 2018 pukul 13:34
[10] Harun Nasution dalam bukunya, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah dan Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Pres, 1986), h. 79-145
[11] H. Mihajuddin, op. cit., h. 15
[12] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- Gazāli, al-Musytashfā min ‘Ilm al-Ushūl, jilid II (Bairut: Dār al-Fikr, t.th.), h. 351
[13] Minhajuddin, op. cit., h. 20
[14] Abū Husayn Ahmad Ibn Fāris bin Zakāriyah, Mu’jam Maqāyis al-Lughah (Mesir: Isā al-Bāb al-Halab wa Awlāduh, 1972), h. 147
[15] H. Minhajuddin, Filasafat Hukum Islam (Cet.I; Ujungpandang: Yayasan Ahkam, 1994), h. 7.
[16] Ibid., h. 8

No comments:

Post a Comment

sponsor