Search This Blog

sponsor

Monday, May 14, 2018

IJMA DAN KIAS



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pada masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan oleh penulis bahwa mahasiswa belum memahami tentang:
1.      Definisi Ijma’
2.      Dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’
3.      Apa syarat-syarat Ijma’?
4.      Apa saja Tingkatan Ijma’
5.      Kemungkinan terjainya Ijma’
6.      Apa Pengertian Qiyas?
7.      Apa sajakah Rukun-rukun Qiyas?
8.      Apa sajakah Syarat-syarat Qiyas?
9.      Apa sajakah Macam-macam Qiyas?
10.  Qiyas sebagai salah satu Metode Istinbat Hukum Islam
C.  Tujuan Penulisan
Tujuan dibuat makalah agar mahasiswa dapat:
1.      Menjelaskan definisi Ijma’
2.      Menjelaskan dalil – dalil tentang Ijma’
3.      Menyebutkan syarat – syarat Ijma’
4.      Menjelaskan tingkatan Ijma’
5.      Menjelaskan kemungkinan terjainya Ijma’
6.      Menjelaskan pengertian Qiyas
7.      Menyebutkan rukun rukun qiyas
8.      Menyebutkan syarat – syarat Qiyas
9.      Menyebukan macam – macam Qiyas
10.  Menjelaskan Qiyas sebagai salah satu Metode Istinbat Hukum Islam





BAB II
PEMBAHASAN
A. IJMA’
1.   Definisi Ijma’
Ijma’ secara etimonologi adalah sepakat. Adapun Ijma’ secara istilah kesepakatan mujtahid setelah wafatnya Rasulullah Saw. [1]
2.   Dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’
a.       Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah juga baik”.
b.      Sabda Rasulullah Saw
لا تجمع امتى على ضلالة
Artinya : “UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.
            Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari sahabat Umar bin Khatab R.A :
 الا فمن سره بحجة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من الاثنين ابعد   
Artinya : “Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah (ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.
Firman Allah Swt :
ومن يشاقف الرسول من بعد ما تبين الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسأت مصيرا ( النساء :115 )

Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia k edalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin adalah harom. Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan ancaman neraka jahanam. Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib. Jika jama’ah orang mukmin mengatakan “ini halal” jika ada orang yang menyatakan hal tersebut sebagai suatu yang “haram” maka dia tidak mengikuti jalan orang mukmin.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-orang mukmin berati suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian Ijma’ dapat dijadikan hujjah yang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath) dari nash-nash Syara’.
3.   Syarat-syarat Ijma’[2]
a)         Yang bersepakat adalah para mujtahid
b)         Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
c)          Para mujtahid harus umat Muhammad Saw
d)        Dilakukan setelah wafatnya Nabi
e)         Kesepakatan mereka harus berupa syariat.
Dalam hal persyaratan Ijma’ ada ulama yang mengatakan bahwasannya zaman/masa sebagai syarat Ijma’.
4.   Tingkatan Ijma’
Ijma’ memiliki beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut :[3]
a.    Ijma’ sharih
Dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat yang disepakati tersebut.

b.   Ijma’ Sukuti
Dimana suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat itu diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid atas, tidak ada seorangpun mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam Syafi’i tidak memasukkan Ijma’ Sukuti dalam kategori Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah.
Ulama-ulama yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :
·         Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’ (oleh imam Syafi’i)
·         Memasukan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’, hanyasaja tingkat kekuatanya di bawah ijma’ sharih. (oleh fuqoha selain Syafi’i dan Hanafi)
·         Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) tapi bukan termasuk kategori ijma’. (Madzhab Hanafi)
Adapun organisasi ulama yang menganggap bahwa ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan hujjah sariyyah adalah sebagai berikut :[4]
1)      Orang diam tidak dapat dipandang sebagai orang berpendapat. Karena apa? Jika dianggap sebagai ijma’ ini diam dapat dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan pada seorang mujtahid.
2)      Diam tidak dapat di pandang sebagai setuju. Karena diamnya seorang mujtahid mungkin setuju/tidak, mungkin berijtihad dengan masalah tersebut/mungkin sudah tetapi belum memperoleh hasil yang mantap dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Segala kemungkinan tersebut di atas, maka diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid.
Sedangkan yang ke 2 memiliki alasan sebagai sebagai berikut :
1)      Pada dasarnya diam tidak bisa dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung dan berfikir.
2)      Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa memberikan keterangan pada suatu masalah.
3)      Diamnya seorang mujtahid setelah merenung dan berfikir terhadap hasil ijtihad orang lain yang bertentangan dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya adalah haram.

لا تجمع امتى على الضلالة
Artinya : “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan sesat”
5.      Kemungkinan terjadi Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma’ dan nilai argumentasinya. Diantaranya berpendapat bahwa :
a)   Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid pada setiap masa terhadap hukum syara’ jika demikian maka ijma’ tersebut tidak mungkin terjadi.
b)   ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid terhadap hukum-hukum syara tetap ditetapkan berdasarkan dalil nash yang qoth’i.Seperti: Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat menghadapi qiblat, kewajiban puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain. Maka hal tersebut mungkin terjadi.
 Dalam hal ini yang menjadi argumentasi (hujjah) bukan ijma’, melainkan dalil-dalil nash qoth’i. Dengan demikian ijma’ tidak memiliki peran apa-apa karena ijma’ bisa di katakan berfungsi jika ia mampu meningkatkan hukum yang bersifat dhonny menuju Qoth’i. Hukum-hukum seperti disebutkan di atas seperti wajibnya shalat, puasa dan sebagainya pada dasarnya sudah bersifatqoth’i. Kemudian siapakah orang-orang yang ijma’nya bisa diterima? Dan bagaimana kriteria mujtahid yang ijma’nya dapat diterima? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini beliau imam Syafi’i membuka dialog dalam kitab Jima’ul Ilmu : “Siapakah diantara ulama ijma’nya dapat dijadikan hujjah ialah orang-orang yang diakui (diangkat) oleh penduduk suatu Negara sebgai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya dapat diterima oleh penduduk tersebut dengan senang hati. Akan tetapi jawaban tersebut diangkat oleh imam Syafi’i, karena tidak ada ulama’ yang memiliki sifat-sifat diatas walaupun ada ahli fiqh yang diakui sebagian penduduk dalam suatu negara namun dianggap orang bodoh yang tidak berhak memberikan fatwa oleh sebagian penduduk lain. Apalagi ulama’ yang fatwanya diterima secara bulat oleh seluruh penduduk antar Negara.[5]
Dengan adanya pernyataan-pernyataan diatas beliau Imam Syafi’i cenderung menolak ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1)      Para Fuqoha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan, sehingga mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2)      Terjadinya perbedaan pendapat diantara para fuqoha yang tersebar diberbagai daerah diseluruh Negara-negara Islam.
Tidak ada kesepakatan ulama’ tentang orang-orang yang diterima ijma’nya. Dengan demikian ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan terjadinya ijma’. Akan tetapi pada masa tabi’in berhubung sudah berpencar di berbagai negara hingga sulit mengadakan pertemuan diantara mereka. Maka benarlah sesungguhnya jika ulama mengatakan bahwa tidak ada ijma’ yang dispakati dan diterima oleh semua ulama, kecuali ijma’nya para sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa masa sekarang ini tidak mungkin terjadinya ijma’.

B.QIYAS
1)   Pengertian Qiyas
Secara bahasa Qiyas berati mengukur, menyamakan, dan menghimpun atau ukuran, skala, bandingan, dan analogi.
Sadr Asy-Syari’ah (w.747 H/1346 M) seorang tokoh ushul fiqih Hanafi, mendefinisikan qiyas dengan:
اَلْقِيَاسُ هُوَ تَعَدِّيَّةُ الْحُكْمِ مِنَ الْأَصْلِ اِلَى الْفَرْعِ لِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ لَاتُدْرَكَ بِمُجَرَّدِ الْلُّغَةِ
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat dicapai melalui  pendekatan bahasa saja.”
Maksudnnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan ‘illat ini, maka  hukum dari kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Adapun mayoritas ulama Syafi’iyah mendefinisikan qiyas dengan:
حَمْلٌ غَيْرِمَعْلُوْمٍ عَلَى مَعْلُوْمٍ فِى اِتْبَاتِ اْلحُكْمِ لَهُمَا اَوْ نَفْيِهِ عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَامِعٍ   بَيْنَهُمَا مِنْ حُكْمٍ اَوْصِفَةٍ                                                                                                       
“Membawa hukum yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.”
Saifudin Al-Amidi, mendefinisikan qiyas dengan:
عِبَارَةٌ عَنِ اْلِإِسْتِوَاءِ بَيْنَ الْفَرْعِ وَالْأَصْلِ فِى الْعِلَّةِ اْلمُسْتَنْبِطَةِ مِنْ حُكْمِ اْلأَصْلِ      
“Mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal yang dinisbathkan dari hukum asal.”[6]
2)      Dalil Kehujjahan Qiyas
Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat. Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil Al-qur’annya adalah sebagai berikut:
ياايها الذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واول الامر منكم فإن تنازعتم فى سيء فردواه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر.
(النساء : 59)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat hukum yang dinamakan qiyas.
3)   Rukun-rukun Qiyas
1. Al-Ashl adalah masalah pokok yang sudah jelas status hukumnya dengan berlandaskan    nash syara’. Al-Ashl disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).
 2.  Al-Far’u adalah masalah yang tidak ditegaskan status hukumnya oleh nash syara’. Al-Far’u disebut juga maqis (yang diukur), atau mahmul (yang dibandinngkan), atau musyabbah (yanng diserupakan).
3.  Hukum Al-Ashl adalah status hukum yang ditetapkan nash syara’ terhadap al-ashl.
4. ‘Illat adalah suatu sifat (wasf) yang menjadi landasan keberadaan hukum al-ashl.[7]
4)   Syarat – syarat Qiyas
1. Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.
2. Asal serta hukumnya sudah ada ketentuan menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan Al-Qur’an dan hadits.
3. Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula qiyas, artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qiyas.
4. Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu pada hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illat-nya.
5.  Hendaklah sama ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal.
6. Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada ashal. Artinya tidak boleh hukum furu’ menyalahi hukum ashal.
7. Tiap-tiap ada ‘illat ada hukum dan tidak ada ‘illat tidak ada hukum. Artinya ‘illat itu selalu ada.
8. Tidak boleh ‘illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.[8]
5)      Macam-macam Qiyas
Para Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi, antara lain sebagai berikut: 
1.Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan dengan yang terdapat pada ashl.
(a) qiyas al-aulawi
(b) qiyas al-musawi:
(c) qiyas al-adna:
2.Dari segi kejelasan ‘illat yang terdapat  pada hukum,
(a) qiyas al-jaly     (b) qiyas al-khafy
3.Dilihat dari keserasian ‘illat dengan hukum
 (a) qiyas al-mu’atstsir; dan (b) qiyas al-mula’im.
4.Dilihat dari segi kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut,
(a) qiyas al-ma’na, (b) qiyas al-‘illat, (c) qiyas ad-dalalah.
5.Dilihat dari segi metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi:
a. Qiyas Al-Ikhalah (قِيَاسُ الإِخَالَة).
b.Qiyas Asy-Syabah (قِيَاسُ الشَّبَه) .
c. Qiyas As-Sabru (قِيَاسُ السَّبْر)
d.            Qiyas At-Thard (قِيَاسُ الطَرْد).[9]

6)   Qiyas sebagai salah satu Metode Istinbat Hukum Islam
Jumhur Ulama’ dari kalangan sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa qiyas itu bisa menjadi hujjah. Sedangkan Dawud Adh Dhohiry dan Ibnu Hazm, Ulama’-ulama’ Syi’ah dan sebagian Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas  tidak menjadi hujjah.
            Alasan Jumhur menerima qiyas  menjadi hujjah adalah mendasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
Firman Allah SWT yang artinya:
“Maka ambillah I’tibar (pelajaran) wahai orang-orang yangn mempunyai fikiran.”
 Demikian juga didukung oleh hadits Muadz bin Jabal tatkala di utus Nabi SAW ke Yaman, yang mana dasar hukum yang dipakai adalah Al-Qur’an, as-Sunnah dan  al-Ijtihad. Yang dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada Nash yakni dengan cara meng-qiyas. Dalam hadits Muadz tersebut tidaklah diterangkan secara spesifik tentang urusan ibadah ataupun mu’amalah.
Sedangkan alasan mereka yang menolak qiyas sebagai hujjah adalah, karena dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah semua peristiwa sudah ada ketentuan hukumnya baik tersurat maupun tersirat, oleh karenanya untuk memahami cukup dengan ijtihad. Apalagi dalam urusan ibadah makhdlah, tatacaranya telah dicontohkan oleh Nabi SAW, apalagi dalam urusan agama, Allah SWT telah mengingatkan bahwa:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ- ق- المائدة
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,”
Dalam hal duniawi Nabi SAW bersabda:
انتم اعلم بأمر دنياكم - رواه مسلم
"Kamu lebih tahu urusan duniamu."[10]



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dan uraian makalah di atas kita dapat mengetahui bahwasannya ijma’ yang disepkati/disetujui oleh ulama adalah hanya ijma’nya shahabat. Dan pada masa sekarang ini ijma’ sudah tidak terjadi, tetapi ijma’ berlaku sebagai dalil syara’ satu tingkat di bawah As-sunnah.
Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.



DAFTAR PUSTAKA

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2001),
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007
Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim,
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2003



[1] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 17
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 70.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 317.
[4] Ibid., hal. 318
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 311.
[6] [1] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih. (Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2009), hlm 270-272.
[7] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2001), hlm 96.
[8] [3] http://www.anekamakalah.com/2012/09/makalah-memahami-makna-qiyas.html, 14-05-2014, 19:52.
[9] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih. hlm 273
[10] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih. (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 100-101.

No comments:

Post a Comment

sponsor