BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik
dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa
bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka
hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan
tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit
kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya
tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan
yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
B. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah yang diajukan oleh penulis bahwa mahasiswa belum memahami tentang:
1.
Definisi Ijma’
2.
Dalil-dalil yang menunjukkan pada
kehujjahan Ijma’
3.
Apa syarat-syarat Ijma’?
4.
Apa saja Tingkatan Ijma’
5.
Kemungkinan terjainya Ijma’
6.
Apa Pengertian Qiyas?
7.
Apa sajakah Rukun-rukun Qiyas?
8.
Apa sajakah Syarat-syarat Qiyas?
9.
Apa sajakah Macam-macam Qiyas?
10. Qiyas
sebagai salah satu Metode Istinbat Hukum Islam
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
dibuat makalah agar mahasiswa dapat:
1.
Menjelaskan definisi Ijma’
2.
Menjelaskan dalil – dalil tentang Ijma’
3.
Menyebutkan syarat – syarat Ijma’
4.
Menjelaskan tingkatan Ijma’
5.
Menjelaskan kemungkinan terjainya Ijma’
6.
Menjelaskan pengertian Qiyas
7.
Menyebutkan rukun rukun qiyas
8.
Menyebutkan syarat – syarat Qiyas
9.
Menyebukan macam – macam Qiyas
10. Menjelaskan
Qiyas sebagai salah satu Metode Istinbat Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. IJMA’
1. Definisi Ijma’
Ijma’
secara etimonologi adalah sepakat. Adapun Ijma’ secara istilah kesepakatan
mujtahid setelah wafatnya Rasulullah Saw. [1]
2. Dalil-dalil yang menunjukkan pada
kehujjahan Ijma’
a.
Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :
مارأه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya
: “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah
juga baik”.
b.
Sabda Rasulullah Saw
لا
تجمع امتى على ضلالة
Artinya
: “UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.
Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh
Imam Syafi’i dari sahabat Umar bin Khatab R.A :
الا فمن سره بحجة الجنة فليلزم الجماعة فإن
الشيطان مع الفذ وهو من الاثنين ابعد
Artinya
: “Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah
(ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan
lebih jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.
Firman
Allah Swt :
ومن
يشاقف الرسول من بعد ما تبين الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله
جهنم وسأت مصيرا ( النساء :115
)
Artinya
: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia k edalam
neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Nash
di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin adalah harom. Karena
berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan ancaman neraka jahanam.
Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib. Jika jama’ah orang
mukmin mengatakan “ini halal” jika ada orang yang menyatakan hal tersebut
sebagai suatu yang “haram” maka dia tidak mengikuti jalan orang mukmin.
Oleh
karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-orang mukmin
berati suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian Ijma’ dapat
dijadikan hujjah yang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’
(istinbath) dari nash-nash Syara’.
3. Syarat-syarat Ijma’[2]
a)
Yang bersepakat adalah para mujtahid
b)
Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
c)
Para mujtahid harus umat Muhammad Saw
d)
Dilakukan setelah wafatnya Nabi
e)
Kesepakatan mereka harus berupa syariat.
Dalam
hal persyaratan Ijma’ ada ulama yang mengatakan bahwasannya zaman/masa sebagai
syarat Ijma’.
4. Tingkatan Ijma’
Ijma’
memiliki beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut :[3]
a. Ijma’
sharih
Dimana
setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat yang disepakati
tersebut.
b. Ijma’
Sukuti
Dimana
suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat itu diketahui
oleh mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid atas, tidak ada seorangpun
mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam Syafi’i tidak memasukkan
Ijma’ Sukuti dalam kategori Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah.
Ulama-ulama
yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :
·
Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam
kategori ijma’ (oleh imam Syafi’i)
·
Memasukan ijma’ sukuti dalam kategori
ijma’, hanyasaja tingkat kekuatanya di bawah ijma’ sharih. (oleh fuqoha selain
Syafi’i dan Hanafi)
·
Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi
(hujjah) tapi bukan termasuk kategori ijma’. (Madzhab Hanafi)
Adapun
organisasi ulama yang menganggap bahwa ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
hujjah sariyyah adalah sebagai berikut :[4]
1)
Orang diam tidak dapat dipandang sebagai
orang berpendapat. Karena apa? Jika dianggap sebagai ijma’ ini diam dapat
dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan pada seorang mujtahid.
2)
Diam tidak dapat di pandang sebagai
setuju. Karena diamnya seorang mujtahid mungkin setuju/tidak, mungkin
berijtihad dengan masalah tersebut/mungkin sudah tetapi belum memperoleh hasil
yang mantap dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Segala
kemungkinan tersebut di atas, maka diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah
untuk menerima pendapat seorang mujtahid.
Sedangkan
yang ke 2 memiliki alasan sebagai sebagai berikut :
1)
Pada dasarnya diam tidak bisa
dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung dan berfikir.
2)
Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa
memberikan keterangan pada suatu masalah.
3)
Diamnya seorang mujtahid setelah
merenung dan berfikir terhadap hasil ijtihad orang lain yang bertentangan
dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya adalah haram.
لا تجمع امتى على الضلالة
Artinya
: “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan sesat”
5.
Kemungkinan
terjadi Ijma’
Para ulama
berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma’ dan nilai argumentasinya.
Diantaranya berpendapat bahwa :
a)
Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid
pada setiap masa terhadap hukum syara’ jika demikian maka ijma’ tersebut tidak
mungkin terjadi.
b)
ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid
terhadap hukum-hukum syara tetap ditetapkan berdasarkan dalil nash yang
qoth’i.Seperti: Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat menghadapi
qiblat, kewajiban puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain. Maka hal tersebut
mungkin terjadi.
Dalam hal ini yang menjadi argumentasi
(hujjah) bukan ijma’, melainkan dalil-dalil nash qoth’i. Dengan demikian ijma’
tidak memiliki peran apa-apa karena ijma’ bisa di katakan berfungsi jika ia
mampu meningkatkan hukum yang bersifat dhonny menuju Qoth’i. Hukum-hukum
seperti disebutkan di atas seperti wajibnya shalat, puasa dan sebagainya pada
dasarnya sudah bersifatqoth’i. Kemudian siapakah orang-orang yang ijma’nya bisa
diterima? Dan bagaimana kriteria mujtahid yang ijma’nya dapat diterima? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini beliau imam Syafi’i membuka dialog dalam
kitab Jima’ul Ilmu : “Siapakah diantara ulama ijma’nya dapat dijadikan hujjah
ialah orang-orang yang diakui (diangkat) oleh penduduk suatu Negara sebgai ahli
fiqih yang fatwa-fatwanya dapat diterima oleh penduduk tersebut dengan senang
hati. Akan tetapi jawaban tersebut diangkat oleh imam Syafi’i, karena tidak ada
ulama’ yang memiliki sifat-sifat diatas walaupun ada ahli fiqh yang diakui
sebagian penduduk dalam suatu negara namun dianggap orang bodoh yang tidak
berhak memberikan fatwa oleh sebagian penduduk lain. Apalagi ulama’ yang fatwanya
diterima secara bulat oleh seluruh penduduk antar Negara.[5]
Dengan adanya
pernyataan-pernyataan diatas beliau Imam Syafi’i cenderung menolak ijma’ dengan
alasan-alasan sebagai berikut :
1)
Para Fuqoha berdomisili di berbagai
tempat yang saling berjauhan, sehingga mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2)
Terjadinya perbedaan pendapat diantara
para fuqoha yang tersebar diberbagai daerah diseluruh Negara-negara Islam.
Tidak
ada kesepakatan ulama’ tentang orang-orang yang diterima ijma’nya. Dengan
demikian ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) hanyalah ijma’ para
sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah dan
belum berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan terjadinya ijma’. Akan
tetapi pada masa tabi’in berhubung sudah berpencar di berbagai negara hingga
sulit mengadakan pertemuan diantara mereka. Maka benarlah sesungguhnya jika
ulama mengatakan bahwa tidak ada ijma’ yang dispakati dan diterima oleh semua
ulama, kecuali ijma’nya para sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa masa sekarang
ini tidak mungkin terjadinya ijma’.
B.QIYAS
1) Pengertian Qiyas
Secara
bahasa Qiyas berati mengukur, menyamakan, dan menghimpun atau ukuran, skala,
bandingan, dan analogi.
Sadr
Asy-Syari’ah (w.747 H/1346 M) seorang tokoh ushul fiqih Hanafi, mendefinisikan
qiyas dengan:
اَلْقِيَاسُ
هُوَ تَعَدِّيَّةُ الْحُكْمِ مِنَ الْأَصْلِ اِلَى الْفَرْعِ لِعِلَّةٍ
مُتَّحِدَةٍ لَاتُدْرَكَ بِمُجَرَّدِ الْلُّغَةِ
“Memberlakukan
hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan ‘illat yang tidak dapat
dicapai melalui pendekatan bahasa saja.”
Maksudnnya,
‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang
sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan ‘illat ini, maka hukum dari kasus yang sedang dihadapi
disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Adapun
mayoritas ulama Syafi’iyah mendefinisikan qiyas dengan:
حَمْلٌ
غَيْرِمَعْلُوْمٍ عَلَى مَعْلُوْمٍ فِى اِتْبَاتِ اْلحُكْمِ لَهُمَا اَوْ نَفْيِهِ
عَنْهُمَا بِأَمْرٍ جَامِعٍ بَيْنَهُمَا
مِنْ حُكْمٍ اَوْصِفَةٍ
“Membawa
hukum yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka
menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan
sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.”
Saifudin
Al-Amidi, mendefinisikan qiyas dengan:
عِبَارَةٌ
عَنِ اْلِإِسْتِوَاءِ بَيْنَ الْفَرْعِ وَالْأَصْلِ فِى الْعِلَّةِ
اْلمُسْتَنْبِطَةِ مِنْ حُكْمِ اْلأَصْلِ
“Mempersamakan
‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada ashal yang dinisbathkan
dari hukum asal.”[6]
2) Dalil Kehujjahan Qiyas
Tidak
diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat.
Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis
disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil
Al-qur’annya adalah sebagai berikut:
ياايها
الذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واول الامر منكم فإن تنازعتم فى سيء
فردواه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر.
(النساء :
59)
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu
benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Ayat
tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat ungkapan
“kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah perintah
supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah
dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat hukum yang
dinamakan qiyas.
3) Rukun-rukun Qiyas
1. Al-Ashl adalah
masalah pokok yang sudah jelas status hukumnya dengan berlandaskan nash syara’. Al-Ashl disebut juga maqis
‘alaih (yang menjadi ukuran), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan), atau
musyabbah bih (tempat menyerupakan).
2. Al-Far’u adalah masalah yang tidak ditegaskan
status hukumnya oleh nash syara’. Al-Far’u disebut juga maqis (yang diukur),
atau mahmul (yang dibandinngkan), atau musyabbah (yanng diserupakan).
3. Hukum Al-Ashl adalah status hukum yang ditetapkan
nash syara’ terhadap al-ashl.
4.
‘Illat adalah suatu sifat (wasf) yang menjadi landasan keberadaan hukum
al-ashl.[7]
4) Syarat – syarat Qiyas
1. Hendaklah hukum asalnya tidak
berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.
2. Asal serta hukumnya sudah ada
ketentuan menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan Al-Qur’an dan
hadits.
3. Hendaklah hukum yang berlaku pada asal
berlaku pula qiyas, artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada qiyas.
4. Tidak boleh hukum furu’ (cabang)
terdahulu pada hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada
illat-nya.
5. Hendaklah sama ‘illat yang ada pada furu’
dengan ‘illat yang ada pada ashal.
6. Hukum yang ada pada furu’ hendaklah
sama dengan hukum yang ada pada ashal. Artinya tidak boleh hukum furu’
menyalahi hukum ashal.
7. Tiap-tiap ada ‘illat ada hukum dan
tidak ada ‘illat tidak ada hukum. Artinya ‘illat itu selalu ada.
8. Tidak boleh ‘illat itu bertentangan
menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan
sunnah.[8]
5)
Macam-macam
Qiyas
Para
Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi,
antara lain sebagai berikut:
1.Dilihat dari segi
kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan dengan yang terdapat
pada ashl.
(a) qiyas
al-aulawi
(b) qiyas
al-musawi:
(c) qiyas
al-adna:
2.Dari
segi kejelasan ‘illat yang terdapat pada
hukum,
(a) qiyas
al-jaly (b) qiyas al-khafy
3.Dilihat
dari keserasian ‘illat dengan hukum
(a) qiyas al-mu’atstsir; dan (b) qiyas
al-mula’im.
4.Dilihat
dari segi kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut,
(a) qiyas
al-ma’na, (b) qiyas al-‘illat, (c) qiyas ad-dalalah.
5.Dilihat
dari segi metode (masalik) dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi:
a. Qiyas
Al-Ikhalah (قِيَاسُ الإِخَالَة).
b.Qiyas Asy-Syabah (قِيَاسُ الشَّبَه) .
c. Qiyas
As-Sabru (قِيَاسُ السَّبْر)
d.
Qiyas At-Thard (قِيَاسُ الطَرْد).[9]
6) Qiyas sebagai salah satu Metode
Istinbat Hukum Islam
Jumhur Ulama’
dari kalangan sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa qiyas itu bisa menjadi
hujjah. Sedangkan Dawud Adh Dhohiry dan Ibnu Hazm, Ulama’-ulama’ Syi’ah dan
sebagian Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas
tidak menjadi hujjah.
Alasan
Jumhur menerima qiyas menjadi hujjah
adalah mendasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
Firman Allah SWT yang artinya:
“Maka ambillah I’tibar (pelajaran)
wahai orang-orang yangn mempunyai fikiran.”
Demikian juga didukung oleh hadits Muadz bin
Jabal tatkala di utus Nabi SAW ke Yaman, yang mana dasar hukum yang dipakai
adalah Al-Qur’an, as-Sunnah dan
al-Ijtihad. Yang dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan
ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum
dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada Nash yakni dengan cara
meng-qiyas. Dalam hadits Muadz tersebut tidaklah diterangkan secara spesifik
tentang urusan ibadah ataupun mu’amalah.
Sedangkan alasan
mereka yang menolak qiyas sebagai hujjah adalah, karena dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah
semua peristiwa sudah ada ketentuan hukumnya baik tersurat maupun tersirat,
oleh karenanya untuk memahami cukup dengan ijtihad. Apalagi dalam urusan ibadah
makhdlah, tatacaranya telah dicontohkan oleh Nabi SAW, apalagi dalam urusan
agama, Allah SWT telah mengingatkan bahwa:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ- ق- المائدة
“Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu,”
Dalam hal duniawi Nabi SAW
bersabda:
انتم اعلم
بأمر دنياكم -
رواه مسلم
"Kamu
lebih tahu urusan duniamu."[10]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dan uraian
makalah di atas kita dapat mengetahui bahwasannya ijma’ yang
disepkati/disetujui oleh ulama adalah hanya ijma’nya shahabat. Dan pada masa
sekarang ini ijma’ sudah tidak terjadi, tetapi ijma’ berlaku sebagai dalil
syara’ satu tingkat di bawah As-sunnah.
Kalau untuk
qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad
ulama dalam pengambilan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,
Kamus Ilmu Ushul Fikih
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta:
Amzah,2001),
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta
: Pustaka Firdaus, 2007
Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh
Abdul hamid Hakim,
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung
: Pustaka Setia, 2003
[1]
Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 17
[2]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 70.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 317.
[4]
Ibid., hal. 318
[5]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 311.
[6]
[1] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih. (Jakarta:
Amzah Bumi Aksara, 2009), hlm 270-272.
[7]
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,2001), hlm 96.
[8]
[3] http://www.anekamakalah.com/2012/09/makalah-memahami-makna-qiyas.html,
14-05-2014, 19:52.
[9]
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih. hlm 273
[10]
Zen Amiruddin, Ushul Fiqih.
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 100-101.
No comments:
Post a Comment